Tuhan Maha Baik. Saya selalu bersyukur bisa dipertemukan
dengan buku. Perjalanan hidup tak bisa ditebak. Terkadang kita ingin sekali
dekat dengan sesuatu, tapi oleh Tuhan malah dijauhkan. Tapi sebaliknya, kita
kadang tak ingin dekat dengannya, malah didekatkan kepada kita. Begitulah. Tapi
saya benar-benar bersyukur. Buku menjadi sesuatu yang selalu hadir. Benar-benar
menjadi pelepas, menjadi objek wisata, menjadi kawan. Padahal, di masa kecil saya,
buku hanyalah impian belaka.
Tapi kenapa harus buku-buku bekas dan tua? Saya tak bisa
menjawab pasti. Mungkin karena saya menyukai segala hal yang bernuansa tempo
doeloe. Saya menyukai mengumpulkan perabot rumah yang jadul-jadul. Meja jadul,
kursi tua, almari tua, setrika arang, dan barang-barang lain yang mungkin
usianya 100 tahun. Nah, mungkin itu kemudian juga terjadi pada buku.
Ketika menjadi redaktur koran Sindo tahun 2010 an di Jakarta,
saya sering ke Pasar Senen untuk mencari buku-buku bekas murah. Lapak-lapak
buku bekas saya sambangi hampir setiap hari. Berharap surprise ketika saya
menemukan satu buku langka dari tumpukan buku bekas tersebut. Seingat saya,
pertama kali ke Senen saya diantar oleh kawan Helmi Firdaus (almarhum), sesama
jurnalis Sindo yang kemudian pindah ke CNN Indonesia dan kemudian dipanggil
Tuhan lebih dulu.
Memang lapak buku bekas memiliki nilai lebih dibandingkan
dengan toko buku macam Gramedia atau Togamas. Di toko buku modern, kita tinggal
search di komputer untuk mencari buku yang kita cari. Tapi di lapak buku bekas,
kita harus mencari sendiri buku-buku yang cocok dengan kita. Terkadang, saya
sudah muter mencari, membongkar-bongkar, namun tetap saja tak mendapatkan “buku
bagus”. Kecewa, tapi mau bagaimana lagi. Saya meyakini hari itu bukan rejeki
saya.
Di Senen ada dua tempat lapak-lapak buku bekas. Yakni di
lantai 4 gedung Atrium Senen dan di pinggir terminal Senen. Jarak antara
keduanya tinggal jalan kaki saja. Ada buku-buku lawas yang saya dapatkan di dua
tempat ini. Saya tak bisa menyebutkan semuanya. Namun, salah satu yang saya
ingat adalah buku tertalogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Lumayan,
harganya cuma Rp50.000/eks.
Di Jakarta, saya juga jadi kecanduan belanja buku online.
Hampir tiap malam, selepas ngedit berita, saya berselancar mencari buku. Saya
membeli di Stalinebook, Bukukita, Khatulistiwa, Bukabuku, dan entah mana lagi.
Saya tak ingat semua. Siang, sering saya mencari-cari info, menelpon Solichan
Arif (wartawan Sindo di Blitar) dan teman-teman lain mengobrol tentang
buku-buku hits dan buku-buku langka yang berkualitas. Lalu, saya hunting
buku-buku yang kami obrolkan tersebut. Hampir semua buku Iwan Simatupang dan
Mochtar Lubis saya dapatkan dari berburu di lapak-lapak online tersebut.
Saya semakin sadar bahwa dunia buku sangat luas. Sangat sangat
luas. Kau hendak membaca buku apa, tinggal cari. Hanya duit yang bisa membatasi
kehendakmu. Kau pasti setuju kan?
Lalu, ketika pindah ke Kota Surabaya, intensitas saya berjumpa
dengan buku lawas semakin tinggi. Seperti sudah menjadi jadwal rutin, saya
setiap hari pergi ke Jalan Semarang dekat stasiun Pasar Turi, masuk ke Kampung
Ilmu dan memesan kopi di warkop tengah. Satu persatu tumpukan buku saya
sambangi, saya bongkar, lalu saya pilih-pilih. Tak butuh lama, buku-buku itu
tertumpuk di kamar kos. Manfaat lain berburu buku di Surabaya adalah saya kenal
hampir semua pedagang di Kampung Ilmu. Setidaknya kami saling menyapa saat
berpapasan dan kalau dia punya buku baggus pasti ditawarkan.
Lantaran banyak mendapatkan buku dan dipesan teman-teman,
akhirnya saya didorong seorang teman untuk sekalian berjualan buku. Saya pun
membuka lapak buku bekas online tahun 2011. Saya lebih banyak menjual via
blogspot: bukulawasonline.blogspot.com. Lantaran saya gaptek alias gagap
teknologi, blogspot dan template dibuatkan oleh seorang sahabat Sofian J. Anom.
Saya tahunya dapat pasword dan cara mengoperasikannya. Terimakasih Kang!
Seingat saya, waktu 2011 belum banyak penjual buku online yang
lawasan. Dan buku-buku di Jalan Semarang Surabaya dan Kampung Ilmu Surabaya
begitu banyak. Saya tiga kali mendapatkan buku Abangan, Santri dan Priyayi karya
Clifford Geertz terbitan Pustaka Jaya yang hard cover. Dua diantaranya saya
jual. Kalau tidak salah, saya menjual dibawah Rp100.000. Buku-buku Pramoedya
Ananta Toer banyak saya dapatkan dari hunting di Surabaya.
Sekitar tahun 2013, pedagang buku online sudah cukup ramai.
Saya mulai berjalan mundur, tak terlalu serius di online. Lalu membuka lapak
buku offline di Bojonegoro. Lapak buku itu bernama “Kobuku”, sebuah bangunan
kotak kecil ukuran sekitar 6 x 3 meter. Tapi, Kobuku tidak berumur panjang.
Mungkin hanya setahun saja, lalu tutup. Mengurus Kobuku, saya sangat dibantu
oleh seorang kawan, Mohamad Tohir. Meski Kobuku tutup, saya senang pernah
memilikinya. Dan masih menyimpan mimpi untuk membukanya kembali.
Punya Kobuku dan berada di Bojonegoro, tak lantas membuat saya
menutup toko online. Saya tetap mempertahankannya. Meski kalau soal persaingan,
saya tentu kalah dengan penjual-penjual online yang tinggal di kota besar.
Karena mereka lebih dekat dengan sumber buku. Kebanyakan buku berada di
Surabaya, Malang, Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Sedang saya berada di
Bojonegoro, 100 km dari Surabaya. Tapi, saya seperti tak mempedulikan itu. Saya
tetap lanjut saja. Karena hobi saja.
Dengan uang pas-pasan, saya sering ke Lamongan, menuju
lapak-lapak buku bekas di dekat kantor Samsat. Di sana, saya beberapa kali
menemukan buku bagus. Diantaranya buku Menunggu Godot terbitan Bentang sebanyak
10 eksemplar. Terkadang, hanya mengantongi uang Rp 300.000, saya nekat ke
Surabaya untuk mencari buku-buku lawas untuk saya jual kembali. Saya tidak tahu
hitung-hitungan bisnis, karena saya hanya tahu bahwa saya menyukai buku. Itu
saja.
Menulusuri lapak-lapak buku lawas di Jakarta, Lamongan, dan
Surabaya sepertinya kurang lengkap jika tak ke Malang. Beruntung saya mempunyai
keponakan yang mondok di Malang. Dan saat menjemput keponakan atau saat
mengambil raport, saya yang akan berangkat. Saya pun selalu menyempatkan mampir
di lapak-lapak buku di Jalan Wilis. Hampir semua pedagang buku bekas mempunyai
karakter sama, yakni harga tak ada patokan. Ada pedagang yang melepas bukunya
dengan harga murah, ada yang mematok harga selangit. Dan itu wajar di dunia
buku bekas.
Guna melengkapi jalan-jalan di lapak buku bekas, saya juga ke
Pusat Buku Taman Pintar. Orang-orang menyebutnya Shoping. Terlebih saat saya
banyak beraktivitas di Yogyakarta akhir-akhir ini. Bangunan Shoping hampir sama
dengan Pusat Buku Wilis di Malang. Yakni berupa toko-toko kecil mirip pasar
modern. Kebetulan sejak Februari 2016 saya bekerja di kawasan Umbulharjo, dan
lokasinya dekat dengan lokasi shoping.
Namun, dari semua tempat jualan buku bekas, sepertinya Surabaya
paling berkesan. Lokasinya yang luas dan penataan mirip taman membuat saya
betah berlama-lama di Kampung Ilmu. Ditambah pada waktu-waktu tertentu di
pendopo ada latihan tari, membuat suasana semakin memikat. Terkadang terbersit
keinginan untuk berumah di Kampung Ilmu. Alangkah indahnya.
(Haha....angan-angan tak kesampaian)
Ya, buku selalu menarik untuk dikunjungi. Di manapun saya
tinggal, saya selalu berusaha menemukan buku di daerah terdekat. Kalau lapak
buku bekas tidak ada, toko modern macam Gramedia pun tak apa-apa. Setidaknya
hal itu mengobati rasa ingin melihat buku. Seperti saat di Tangerang. Meski tak
lama singgah, namun entah kenapa dorongan melihat toko buku selalu lebih besar.
Saya pun ke Teras Kota dan masuk ke Gramedia. Buku berjudul Out of The Truck
Box karya Iqbal Aji Daryono saya beli di mall ini.
Ah, sudah dulu. Menelusuri buku dan membincangnya tak pernah
selesai. Saya menambahi sedikit saja sebagai akhir tulisan ini. Saya pernah
bekerja di tengah laut jawa hampir dua tahun. Hal itu membuat saya benar-benar
berhenti dari berjualan buku. Saya hanya menjadi konsumen, dan banyak membeli
buku via online. Buku-buku itu menumpuk di rumah, dan sebagian tak sempat saya
baca. Dan kini, ketika di Jogja, saya mencoba menata ulang berjualan buku via
blogspot maupun facebook: nun buku.
Dan ini bagian paling akhir. Begini, dari semua tempat lapak
buku yang saya datangi, Surabaya, Malang, Jakarta, Yogyakarta, ternyata saya
tetap menyukai Surabaya. Kenapa? Tempat ngopine luwih enak. Haha. (bersambung)
1 komentar:
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
Posting Komentar