Senin, 04 Maret 2013

Bersama Oeroeg

Catatan pendek (capen) setelah membaca buku Oeroeg karya Hella S. Haasse

Oleh Nanang Fahrudin

Pertama, aku menyukai gambar sampulnya: dua bocah berdiri di tengah rintik hujan, tangan kanan sama-sama memegang “payung”.  Gambar itu sangat menarik mataku karena dua bocah hadir berbeda. Yang satu bersepatu, berkaos dan memegang payung buatan pabrik. Sedang bocah satunya memegang daun pisang sebagai ganti payung, bertelanjang dada dan bertelanjang kaki. Kontras.

Ya, gambar sederhana tapi penuh makna itu ada di sampul buku yang baru saja selesai kubaca. Buku itu berjudul Oeroeg karya Hella S. Haasse. Penulisnya orang Belanda, yang sesuai keterangan di buku, telah banyak mendapatkan penghargaan atas karya-karyanya. Oeroeg adalah pribumi, sedang tokoh aku adalah bocah Belanda yang lahir di Hindia Belanda. Mungkin dua bocah itulah yang hendak digambarkan di sampul buku tersebut.

Buku ini selesai kubaca di sebuah sore yang diselimuti mendung hitam. Deru kendaraan menubruk pendengaranku. Secangkir kopi panas dicampur jahe membuat kisah dalam buku itu semakin hidup dan seakan bercerita kepadaku, seperti seorang kawan. Akrab sekali. “Aku berkisah tentang dua manusia yang berbeda. Setidaknya dianggap berbeda. Pribumi dan non pribumi,” begitu buku itu berkisah tentang dirinya. Maaf, tentu aku sedang mendramatisasi.

Oeroeg dan “aku” lahir  dalam waktu yang hampir bersamaan di daerah Pegunungan Priangan pada masa pra kemerdekaan. Masa-masa kecil sungguh menyenangkan; bermain bersama. Masa-masa itu tak kan terlupakan bagi “aku”, bahkan ketika dunia memaksa mereka harus berbeda. “Aku” adalah anak Administratur Kebon Jati, seorang Belanda. Sedang Oeroeg anak Deppoh, mandor Kebon Jati sekaligus jongos Administratur.  Masa kecil adalah masa-masa indah, ketika mereka dilihat sebagai bocah yang belum mengerti apa-apa.

Tapi, saat beranjak usia sekolah, “aku” dipaksa menjauhi Oeroeg oleh orang tuanya. Karena Oeroeg adalah orang yang “berbeda”. Dia pribumi yang tentu saja lebih rendah. Sedang “aku” adalah manusia yang tinggi. Hingga akhirnya keduanya bisa sekolah, meski dengan perlakuan berbeda. Cerita semakin mendebarkan ketika Oeroeg menjadi siswa kedokteran dan aktif di perkumpulan-perkumpulan pemuda penentang penjajah Belanda. Sedang “aku” tetap orang Belanda yang tak begitu peduli dengan urusan politik. “aku” hanya ingin dia dengan Oeroeg sebagai sesama manusia, sama-sama memiliki masa kecil yang indah.

Oeroeg berpakaian perlente, memakai peci, menyukai Amerika, tidak mau direndahkan hanya karena dia pribumi. Dia nasionalis, memperjuangkan kemerdekaan. Tapi sayang, setelah merdeka sedikit cerita tentang Oeroeg. Ia seperti hilang begitu saja. Kecuali saat “aku” mendatangi Kebon Jati, “aku” bertemu Oeroeg dengan kondisi yang mengenaskan; kulit hitam, kurus, pakaian compang-camping, menggenggam revolver dan menodongkannya ke “aku” seakan sudah tak mengenali “aku” lagi. Oeroeg sudah tak mau lagi kenal dengan “aku”. Padahal “aku” terlanjur  menyukai Jawa, menyukai negeri yang telah berubah nama menjadi Indonesia.

Ah, sudahlah. Buku ini memang hanya berkisah tentang “aku” dan Oeroeg. Cerita yang sederhana. Tapi aku, sebagai pembaca, begitu menyukainya. Dan sebagaimana ketika membaca buku, setumpuk dunia tiba-tiba hadir dalam diriku. Ketika sampai pada kisah Oeroeg bergaul dengan pemuda-pemuda meneriakkan nasionalisme, pikiranku tertuju pada sosok Soekarno. Dalam buku Soekarno Penjambung Lidah Rakjat, Bung Karno bercerita dia sangat marah ketika dianggap tak bisa main sepak bola hanya karena pribumi. Bung Karno juga suka berpakaian perlente, memakai peci, bersepatu dan menyukai film-film Holywood. Tapi apakah Oeroeg sama dengan Soekarno? Aku tidak tahu. Itu hanya pikiranku saja yang berusaha mengkonkritkan gambaran Oeroeg di penggalan sejarah bangsa ini.

***

Menyelesaikan membaca Oeroeg begitu menyenangkan bagiku. Buku-buku lain serupa sungai yang hanya kuarungi separuh saja, dan aku harus keluar sungai dengan berbagai alas an. Oeroeg seperti sebuah permohonan maaf pada sungai-sungai yang belum kusentuh pucuk hilirnya. Dan akhirnya, aku tahu bahwa membaca adalah sebuah kerja keras, seperti sedang mengarungi sungai dan hendak menemukan hilirnya.

Hassee juga membuatku rindu karya-karya penulis masa ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang ditulis oleh penulis Belanda. Dan bolehlah aku kini memegang buku Kuli karya Madelon Hermine Szekely-Lulofs terbitan Grafiti 1985.

Bojonegoro, 5 Maret  2013
Bersama pagi berkabut di kampung damai

1 komentar:

fatwa mengatakan...

Kisah Oeroeg memang mengharukan

 
© Copyright 2035 godongpring