Oleh Nanang
Fahrudin
Pertama, aku
menyukai gambar sampulnya: dua bocah berdiri di tengah rintik hujan, tangan
kanan sama-sama memegang “payung”.
Gambar itu sangat menarik mataku karena dua bocah hadir berbeda. Yang
satu bersepatu, berkaos dan memegang payung buatan pabrik. Sedang bocah satunya
memegang daun pisang sebagai ganti payung, bertelanjang dada dan bertelanjang
kaki. Kontras.
Ya, gambar
sederhana tapi penuh makna itu ada di sampul buku yang baru saja selesai
kubaca. Buku itu berjudul Oeroeg
karya Hella S. Haasse. Penulisnya orang Belanda, yang sesuai keterangan di
buku, telah banyak mendapatkan penghargaan atas karya-karyanya. Oeroeg adalah
pribumi, sedang tokoh aku adalah bocah Belanda yang lahir di Hindia Belanda.
Mungkin dua bocah itulah yang hendak digambarkan di sampul buku tersebut.
Buku ini
selesai kubaca di sebuah sore yang diselimuti mendung hitam. Deru kendaraan
menubruk pendengaranku. Secangkir kopi panas dicampur jahe membuat kisah dalam
buku itu semakin hidup dan seakan bercerita kepadaku, seperti seorang kawan.
Akrab sekali. “Aku berkisah tentang dua manusia yang berbeda. Setidaknya
dianggap berbeda. Pribumi dan non pribumi,” begitu buku itu berkisah tentang
dirinya. Maaf, tentu aku sedang mendramatisasi.
Oeroeg dan
“aku” lahir dalam waktu yang hampir
bersamaan di daerah Pegunungan Priangan pada masa pra kemerdekaan. Masa-masa
kecil sungguh menyenangkan; bermain bersama. Masa-masa itu tak kan terlupakan
bagi “aku”, bahkan ketika dunia memaksa mereka harus berbeda. “Aku” adalah anak
Administratur Kebon Jati, seorang Belanda. Sedang Oeroeg anak Deppoh, mandor
Kebon Jati sekaligus jongos Administratur.
Masa kecil adalah masa-masa indah, ketika mereka dilihat sebagai bocah
yang belum mengerti apa-apa.
Tapi, saat
beranjak usia sekolah, “aku” dipaksa menjauhi Oeroeg oleh orang tuanya. Karena
Oeroeg adalah orang yang “berbeda”. Dia pribumi yang tentu saja lebih rendah. Sedang
“aku” adalah manusia yang tinggi. Hingga akhirnya keduanya bisa sekolah, meski
dengan perlakuan berbeda. Cerita semakin mendebarkan ketika Oeroeg menjadi
siswa kedokteran dan aktif di perkumpulan-perkumpulan pemuda penentang penjajah
Belanda. Sedang “aku” tetap orang Belanda yang tak begitu peduli dengan urusan
politik. “aku” hanya ingin dia dengan Oeroeg sebagai sesama manusia, sama-sama
memiliki masa kecil yang indah.
Oeroeg
berpakaian perlente, memakai peci, menyukai Amerika, tidak mau direndahkan hanya
karena dia pribumi. Dia nasionalis, memperjuangkan kemerdekaan. Tapi sayang, setelah
merdeka sedikit cerita tentang Oeroeg. Ia seperti hilang begitu saja. Kecuali
saat “aku” mendatangi Kebon Jati, “aku” bertemu Oeroeg dengan kondisi yang
mengenaskan; kulit hitam, kurus, pakaian compang-camping, menggenggam revolver
dan menodongkannya ke “aku” seakan sudah tak mengenali “aku” lagi. Oeroeg sudah
tak mau lagi kenal dengan “aku”. Padahal “aku” terlanjur menyukai Jawa, menyukai negeri yang telah
berubah nama menjadi Indonesia.
Ah,
sudahlah. Buku ini memang hanya berkisah tentang “aku” dan Oeroeg. Cerita yang
sederhana. Tapi aku, sebagai pembaca, begitu menyukainya. Dan sebagaimana
ketika membaca buku, setumpuk dunia tiba-tiba hadir dalam diriku. Ketika sampai
pada kisah Oeroeg bergaul dengan pemuda-pemuda meneriakkan nasionalisme,
pikiranku tertuju pada sosok Soekarno. Dalam buku Soekarno Penjambung Lidah Rakjat, Bung Karno bercerita dia sangat
marah ketika dianggap tak bisa main sepak bola hanya karena pribumi. Bung Karno
juga suka berpakaian perlente, memakai peci, bersepatu dan menyukai film-film
Holywood. Tapi apakah Oeroeg sama dengan Soekarno? Aku tidak tahu. Itu hanya
pikiranku saja yang berusaha mengkonkritkan gambaran Oeroeg di penggalan
sejarah bangsa ini.
***
Menyelesaikan membaca Oeroeg begitu menyenangkan bagiku. Buku-buku
lain serupa sungai yang hanya kuarungi separuh saja, dan aku harus keluar
sungai dengan berbagai alas an. Oeroeg seperti sebuah permohonan maaf pada
sungai-sungai yang belum kusentuh pucuk hilirnya. Dan akhirnya, aku tahu bahwa
membaca adalah sebuah kerja keras, seperti sedang mengarungi sungai dan hendak
menemukan hilirnya.
Hassee juga
membuatku rindu karya-karya penulis masa ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda
yang ditulis oleh penulis Belanda. Dan bolehlah aku kini memegang buku Kuli karya Madelon Hermine
Szekely-Lulofs terbitan Grafiti 1985.
Bojonegoro, 5 Maret 2013
Bersama pagi berkabut di kampung damai
1 komentar:
Kisah Oeroeg memang mengharukan
Posting Komentar