Catatan Pendek (Capen) setelah Membaca Buku “KULI” karya MH Szekely-Lulofs
Oleh Nanang Fahrudin
I
Ini kisah tentang buku. Buku yang bertahun-tahun berlarian kesana kemari membawa setumpuk kesuraman. Buku yang siapa saja bisa menjumputnya dari rak-rak buku usang. Buku yang mungkin sesesakali berteriak nyaring di kamar gelap, yang siapa saja yang mendengarnya akan berwajah muram. Mungkin semuram kisah di buku itu.
“Ada sejuta buku yang seperti itu”. Ya, mungkin saja. Tapi buku tetap saja buku, yang serupa kawan menemani duduk di teras rumah dengan guyuran sinar matahari yang panas. Buku yang hadir sekarang, akan membawa suasana yang berbeda pada saat datang esok. Waktu hanya datang sekali, tak akan bisa terulang lagi. Dan apa yang terjadi ketika dua kawan sedang duduk bercengkerama. Semua serba mungkin terjadi. Dua kawan itu adalah buku dengan aku, buku dengan anda, buku dengan kita, buku dengan kami dan buku dengan siapa saja.
Buku itu bernama: KULI
II
Dia bernama Ruki. Usianya masih belasan tahun ketika bersama kerbau, dia berada di sawah. Punggungnya menghitam dihantam sinar matahari. Tapi sinar matahari itu dirasanya seperti guyuran air hangat. Bukan sesuatu yang asing atau perlu dihindari.
Ruki adalah satu di antara jutaan anak Sunda. Tahun? Entah tahun berapa, karena Ruki dan tetangganya hanya melihat purnama. Waktu tidak dihitung dengan bulan dan tahun, melainkan berapa kali purnama. Ibu Ruki meninggal ketika Ruki masih kecil, dan ayahnya segera menikah lagi, memiliki anak lagi, dan lagi. Ruki pun harus tinggal bersama neneknya yang bungkuk. Karena kalau neneknya semakin renta, Ruki yang akan mengurus. Begitu alam mengajarkan.
Alam pedesaan menghidupi Ruki dan semua orang. Kerbau dan sawah seperti hadir begitu saja untuk mereka, entah dari mana asalnya. Ruki menyenangi hangat tubuh kerbau yang bercampur lumpur sawah ketika dia naik di punggungnya. Ruki pun tak tahu untuk apa ia ada di desa itu? Ia tak tahu karena tak pernah bertanya apa-apa. Hidup seperti sebuah pemberian cuma-cuma dari Tuhan. Cuma-cuma? Ah, Ruki tidak tahu juga.
Ruki tak pernah bertanya kenapa begini dan kenapa tidak begitu. Tiada tanya itu juga yang membuat Ruki bersama dua temannya (Sidin dan Karimun) kepincut untuk ikut bersama laki-laki asal Betawi yang malam-malam datang ke kampungnya. Bersama laki-laki itu mereka pergi meninggalkan desanya. Laki-laki itu datang membawa selangit mimpi, yang bahkan belum pernah terpikirkan warga kampung Ruki: rokok, bebas berjudi, punya emas, beristri wanita muda cantik lebih dari satu. Dan….dan….
Semua berawal dari halaman delapan…
III
Kuli lahir dari penggalan sejarah negeri ini tahun 1900 an, ketika negeri ini masih bernama Hindia Belanda. Penggalan sejarah itu dititipkan pada kata-kata yang diikat cukup kencang oleh M.H. Zhekely-Lulofs (1899-1958) dalam buku bersampul warna hijau lumut. Sebagaimana tertera dalam bagian akhir buku ini bahwa Lulofs menulis pada Juli-November 1931. Dan, hingga 2013 ini, ikatan itu masih cukup kencang.
“Dalam kamus sejarah penjajahan di tanah air, kuli kontrak identik dengan perbudakan. Masa yang menyedihkan di Deli itu sudah lama berlalu, namun secara polos dan memikat, Lulofs berhasil merekamnya dalam novel yang pendek ini”. Kalimat panjang ini ditulis oleh penerbit Grafiti (1985) di sampul belakang, seakan hendak mencuplik sekilas tentang isi Kuli.
Kuli tipis? Ya, hanya 115 halaman. Bandingkan dengan Musashi karya Eiji Yosikawa yang 1.000 halaman lebih, atau Tidak Ada Esok karya Mochtar Lubis yang punya 226 halaman. Tapi tebal tipis bukan ukuran bahwa sebuah buku bagus atau tidak bagus. Bahkan cerita pendek yang hanya empat halaman, atau satu halaman saja bisa sangat menarik.
Tapi jangan sekali-kali kau mencari Kuli di rak-rak toko buku modern. Kau pasti tak akan menemukannya. Karena Kuli hanya terselip di antara buku-buku berdebu, tertumpuk di antara buku-buku lain. Dan ketika buku itu posisi ditumpuk, kau pun sulit mengenalinya karena di punggungnya tak ada tulisan apapun. Polos.
IV
Halaman delapan menjadi pembatas antara Ruki yang dulu dengan Ruki yang akan datang. Semua adalah pemberian Tuhan. Nasib. Begitulah kelak Ruki memahami semua apa yang terjadi. Pada halaman 12, kehidupan Ruki seakan hendak berubah lebih baik. Tapi apa yang terjadi selanjutnya adalah sebaliknya.
Halaman selanjutnya hingga halaman 115 adalah kesengsaraan….
Ruki meninggalkan desanya naik kereta api. Dalam hidupnya baru kali itu ia merasakan naik besi besar yang bisa berjalan sambil menjerit-jerit. Ruki juga naik kapal menyeberangi selat Sunda menuju hutan Sumatra. Kemana mereka dibawa? Untuk apa naik kapal? Ruki terpisah dari Karimun dan Sidin. Ruki ingat neneknya di rumah yang ditinggal sendirian. Oh…
Di kapal, orang Betawi sudah tidak ada digantikan dengan orang-orang berwajah bengis. Ruki beberapa kali ditampar dan dipukul hanya gara-gara mempertahankan pendapatnya. Sejak saat itu Ruki tak berani menentang. Ia ingat kerbaunya. Ia ingat neneknya. Hidupnya yang damai telah ditukar menjadi orang kapal.
Orang-orang kapal lalu dibawa menggunakan gerbong kereta api masuk ke hutan belantara. Di sana ada banyak orang-orang yang lebih dulu menyandang sebagai kuli kontrak. Mereka sudah setahun, dua tahun, tiga tahun, dan ada yang sudah 10 tahun. Ruki memulai hidupnya yang baru, bekerja dan bekerja untuk orang asing. Di desa ia bekerja untuk dirinya sendiri. Ruki merindukan neneknya.
Sebagai kuli kontrak membuka lahan perkebunan, Ruki harus bekerja 14 hari dan sehari istirahat. Kerja pagi dimulai dari suara kentongan. Tidak ada kelelahan, tidak ada keluh kesah. Hidup mereka sudah dibeli. Apa mau dikata. Mereka hanya tahu, Tuhan menghendaki. Mereka pun pasrah.
Kehidupan kuli kontrak telah membentuk tatanan sosial baru yang berlaku hanya untuk para kuli kontrak. Tak ada ikatan suami istri, karena yang ada hanya persetubuhan dengan imbalan. Bagi laki-laki siapa membayar, dia mendapat perempuan. Sedang kuli kontrak perempuan berlaku siapa menjual diri dia mendapat uang. Semua berjalan apa adanya. Dan ketika waktu gajian, hiburan malam dibuka. Para kuli kontrak dibiarkan berjudi. Karena dengan demikian uangnya akan habis dan pasti akan memperpanjang kontrak lagi: 18 bulan. Tidak akan balik ke Jawa.
Ruki pun demikian. Ia membeli perempuan, berjudi, perempuan, berjudi dan begitu saja. Tentu semua dilakukan dalam waktu singkat karena waktu panjang sudah dijualnya untuk bekerja mencangkul ladang. Ruki berkenalan dengan Kromorejo, kuli kontrak yang lebih dulu bekerja. Dia berasal dari Bojonegoro. Lho Bojonegoro? Ya, Kromorejo berasal dari Bojonegoro. (Ssst….itu nama daerahku,yang sekarang juga banyak kuli-kuli)
Sepuluh tahun, dua puluh tahun, dan entah sudah berapa puluh tahun Ruki menjadi kuli kontrak. Keinginannya untuk pulang ke Jawa sudah pupus. Ia malu jika pulang ke Jawa dalam kondisi miskin. Apalagi usianya sudah tua. Orang-orang memanggilnya Pak Ruki. Ia mendapat perempuan untuk dijadikan istri bernama Wiryo. Wiryo sebelumnya istri Sentono, kawannya sesama kuli kontrak. Sentono pulang ke Jawa sehingga Wiryo, oleh mandor, diperbolehkan diambil Ruki. Mereka lalu tinggal serumah. Begitulah mereka mengatur hubungan suami istri.
Hingga para suatu hari, ketika Ruki dan Wiryo begitu tua mereka hendak pulang ke Jawa. Barang-barangnya dijual ke pasar agar pulang ke Jawa cukup membawa uang, bukan barang-barang. Dan terkumpullah uang yang cukup untuk beli sepetak tanah dan seekor kerbau di kampung. Tapi malam hari sebelum pulang ke Jawa, pasar malam begitu ramai. Arena judi dibuka besar-besaran. Ruki tak bisa tidur.
Lalu ia menyelinap keluar rumah membawa uang. Awalnya ia hanya ingin membeli oleh-oleh, tapi melihat meja judi hasratnya berjudi timbul. Ia lalu berjudi seperti orang kesetanan. Uangnya habis dan bajunya juga habis. Ia berjalan pulang dalam keheningan yang benar-benar hening. Wiryo, istrinya, berteriak histeris ketika tahu uangnya habis di meja judi. Meksi pada akhirnya Wiryo hanya pasrah dan meminta suaminya tidur.
Pagi harinya Ruki datang ke Tuan Besar. Ia bukan hendak berpamitan karena hendak berangkat ke Jawa, melainkan Ruki datang untuk meneken surat kontrak lagi sebagai kuli kontrak. Itu artinya ia akan bekerja 18 bulan lagi. Padahal, Ruki tak tahu lagi kapan usianya akan berakhir. Ia sudah terlalu tua.
Dan itulah halaman akhir…
V
Kuli telah memaksaku menengok jauh ke belakang. Jauh ketika negeri ini belum merdeka. Merdeka? Kapan negeri ini merdeka? Sejarah mencatat pada 17 Agustus 1945 negeri ini merdeka. Tidak ada lagi kuli kontrak sebagaimana dalam Kuli. Ada persamaan hak yang diberi nama hak azazi manusia (HAM).
Beberapa catatan sejarah menyebut gelombang kuli kontrak dari Jawa ke Deli-Sumatera sangat besar. Ini menyusul aturan beberapa negara yang melarang warganya dibawa ke Sumatera. Seperti China dan Inggris yang membuat persyaratan khusus untuk warganya yang hendak dibawa ke Sumatera. Alhasil, orang Jawa yang dikerahkan setelah dibujuk terlebih dahulu. Tercatat pada tahun 1905, ada 33.961 orang kuli kontrak Jawa. Sebanyak 6.290 orang adalah perempuan.
Para kuli tetap manusia, namun telah kehilangan kemanusiaannya. Kemanusiaan direnggut oleh keserakahan yang tak terkira. Manusia yang pekerja hanya dilihat sebagai alat reproduksi. Karl Marx? Ya, mungkin begitulah apa yang digambarkan oleh Marx dalam struktur dan suprastruktur. Pola produksi telah memengaruhi kesadaran manusia. Persis ketika melihat kehidupan para kuli yang “berbeda” dengan kehidupan masyarakat bebas. Mereka mengetahui bahwa dirinya telah terbeli, namun tak mampu keluar dari lingkaran itu.
Ah…waktu memang bergerak begitu cepat. Ketika aku membaca Kuli, waktu seakan berputar balik. Dan pada saat buku kututup, waktu seperti melompat lagi ke masa sekarang. Aku bukan Ruki, tapi aku seperti mengenal Ruki. Aku bukan Kromorejo, tapi aku seperti merasakan Kromorejo yang harus diamputasi gara-gara sakit yang tak dirasa.
Dan sekarang, aku duduk diam…
Aku hanya pembaca yang terlambat datang…
Bojonegoro, 12 Maret 2013
Terimakasih untuk buku-buku yang menemani...
0 komentar:
Posting Komentar