Oleh: Nanang Fahrudin
Sebagai kado tiga tahun Sindikat Baca, 14 Juli 2012
Kintaro. Jelas ini nama Jepang. Dan memang benar adanya. Kintaro lahir tahun 1787 di Kota Odawara, frefektur Kanagawa. Ia anak keluarga sangat miskin. Ayah ibunya meninggal ketika ia baru menginjak usia belasan tahun. Kintaro kecil lalu diasuh oleh pamannya.
Sejak kecil Kintaro sangat menyukai ilmu pengetahuan. Siang hari ia membantu pamannya bekerja, dan malam harinya ia membaca buku. Kebiasaannya membaca di malam hari ditentang oleh pamannya, karena hal itu bisa memboroskan minyak, yang waktu itu menjadi barang langka. Kemarahan pamannya tak menyurutkan semangat Kintaro untuk membaca. Ia terus membaca dan membaca. Ia pun membaca sambil berjalan dengan memikul kayu di punggung.
Semangat Kintaro inilah yang digenggam erat oleh pendidikan di Jepang. Anak-anak di sekolah dasar (SD) dikenalkan dengan Kintaro. Bahkan pada tahun 1924 sebuah SD di perfektur Aichi mendirikan patung Kintaro di depan sekolah. Dan sejak saat itu, 100 lebih SD memiliki patung yang sama. Selain sekolah, di taman-taman kota juga mudah ditemukan patung Kintaro. Kintaro adalah simbol gerakan mencintai ilmu pengetahuan di Jepang.
Dan semangat seperti yang dipunyai Kintaro, banyak ditemukan pada buku-buku Jepang. Musashi karya Eiji Yosikhawa adalah contoh lain. Sebelum dikenal dengan nama Miyamoto Musashi, ia memiliki nama Takezo. Takezo kecil adalah anak nakal, akhirnya ia dikurung oleh pendeta zen, Takuan Soho di ruang tertutup dengan hanya ditemani buku dan lilin. Di ruang tanpa sinar matahari berbulan-bulan ini, Takezo bergelut dengan buku-bukunya. Dan pada akhirnya lahirlah Musashi yang penuh kebijaksanaan dan semangat belajar berperang.
Jika masih kurang, mari kita buka buku Eiji lain berjudul Taiko. Dikisahkan Hideoyoshi kecil dihina di sana-sini. Tapi ia begitu kuat belajar untuk mengejar sesuatu yang besar. Ia pun diterima sebagai jongos, yang bertugas menyiapkan sandal bagi majikannya. Ia harus kelaparan dan diusir majikannya karena difitnah mencuri makanan. Tapi Hideoyosi akhirnya menjadi jenderal, dan menjadi kaisar Jepang.
Ya, Jepang penuh semangat besar. Ada Kintaro, Musashi, Hideoyoshi, dan seabrek tokoh-tokoh lain yang menginspirasi masyarakat Jepang. Bahkan, pasukan Kamikaze yakni pasukan berani mati dalam perang dunia kedua adalah bukti semangat besar Jepang untuk menjadi bangsa besar.
Sindikat Baca dan Bojonegoro
Ketika Sindikat Baca lahir pada 2009 dan menjadi sebuah kelompok kecil penggerak literasi di Bojonegoro, semangat besar untuk terus kampanye membaca hendak digenggamnya. Dan tiga tahun sesudahnya, semangat besar itu telah digenggam erat-erat. Kini Sindikat Baca boleh dibilang sedang merawat genggaman tersebut. Genggaman yang berisi semangat besar.
Titik yang hendak dikejar adalah Bojonegoro besar lewat orang-orang besar yang tumbuh berkembang di lingkungan membaca yang kuat. Semangat membaca inilah yang terus coba ditularkan kepada masyarakat umum. Sindikat Baca, sebagai salah satu bagian dari masyarakat Bojonegoro yakin, bahwa menjadi daerah dengan orang-orang besar di bidang keilmuan, bukan sesuatu yang mustahil.
Tapi, mungkinkah Bojonegoro bisa besar seperti Yogyakarta, Jakarta, Malang, Bandung, Surabaya atau Bali, dengan geliat keilmuan di kampus-kampusnya dan gerakan kebudayaannya?. Saya tetap yakin, tak ada yang tak mungkin. Sesuatu yang besar bisa diraih dengan semangat besar yang ditopang oleh pikiran-pikiran besar pula.
Dan pikiran besar itu sebenarnya banyak dimiliki oleh orang-orang di Bojonegoro. Orang-orang yang memiliki semangat seperti Kintaro, seperti Musashi, seperti Hideoyoshi. Andai semangat besar yang dimiliki orang-orang tersebut menular di sekelilingnya, maka betapa dahsyat “bom” yang berhasil diledakkan itu dirasakan di mana-mana.
Bojonegoro dikaruniai kekayaan alam berupa minyak dan gas bumi yang besar. Bojonegoro dengan “wajah” seperti itu bisa mendorong mimpi-mimpi besar itu menjadi kenyataan. Tapi potensi ekonomi yang besar yang dimiliki Bojonegoro itu pula, yang bisa menjadi kuburan bagi mimpi-mimpi besar itu.
Ekonomi Bojonegoro yang ditopang oleh industri migas akan menjadi sesuatu yang menggiurkan. Banyak orang akan mencari jalan masuk menjadi salah satu bagian dari putaran itu. Dan pintu masuk itu bisa apa saja, mulai bidang (pintu) ekonomi, politik, sosial, budaya, keamanan, agama, dan lain sebagainya. Dan itu adalah sesuatu yang wajar.
Akan tetapi, yang terpenting adalah bagaimana merawat semangat besar itu agar terus dimiliki oleh masyarakat Bojonegoro sampai kapanpun. Tak peduli sedang berpijak di bumi Bojonegoro manapun. Kita sebagai masyarakat Bojonegoro harus mulai ikut menggenggam semangat Kintaro yang selalu mencintai buku. Kita sedang membutuhkan semangat Kintaro untuk merawat mimpi besar menjadikan Bojonegoro sebagai daerah yang besar.
Saya menawarkan sebuah desain untuk Bojonegoro bergerak menjadi daerah besar. Pertama, masyarakat Bojonegoro harus mencintai membaca, mencintai buku, sebagaimana masyarakat mencintai sepiring nasi. Semangat Kintaro harus dimiliki oleh anak-anak sekolah di Kabupaten Bojonegoro. Karena dengan tradisi membaca yang kuat, maka Bojonegoro akan bisa besar.
Kedua, pemerintah kabupaten harus menghidupkan perpustakaan sekolah. Hidup, bukan berarti hanya dibuka pagi hari dan ditutup sore hari. Perpustakaan hidup adalah perpustakaan yang membangun nilai-nilai kecintaan akan ilmu pengetahuan. Buatlah hari berkunjung ke perpustakaan, buatlah perpustakaan senyaman mungkin, buatlah taman-taman di sekitar perpustakaan sekolah.
Sudah bukan saatnya sebenarnya kita berdebat soal berapa sekolah yang punya perpustakaan, melainkan bagaimana membangun perpustakaan sekolah yang hidup. Kita bayangkan saja, ketika sekolah sebagai lembaga pendidikan formal untuk usia anak-anak tak peduli perpustakaan, bagaimana masa depan pendidikan Bojonegoro kelak.
Ketiga, insan kampus harus menghidupkan tradisi keilmuan sesuai bidangnya masing-masing. Geliat diskusi-diskusi di kampus perlu disemarakkan. Press mahasiswa perlu berkembang sebagai wadah kreativitas intelektual. Dan di sisi lain, mahasiswa harus lebih berperan sebagai intelektual organik yang mampu menjembatani antara kepentingan elit dengan kepentingan masyarakat bawah.
Pada akhirnya, Bojonegoro harus menjadi daerah yang punya tradisi membaca kuat. Semangat itu harus dimiliki oleh banyak orang. Dan pada posisi inilah Sindikat Baca berusaha ikut andil. Sindikat Baca ingin menularkan semangat Kintaro untuk Bojonegoro. Salam!.
Sebagai kado tiga tahun Sindikat Baca, 14 Juli 2012
Kintaro. Jelas ini nama Jepang. Dan memang benar adanya. Kintaro lahir tahun 1787 di Kota Odawara, frefektur Kanagawa. Ia anak keluarga sangat miskin. Ayah ibunya meninggal ketika ia baru menginjak usia belasan tahun. Kintaro kecil lalu diasuh oleh pamannya.
Sejak kecil Kintaro sangat menyukai ilmu pengetahuan. Siang hari ia membantu pamannya bekerja, dan malam harinya ia membaca buku. Kebiasaannya membaca di malam hari ditentang oleh pamannya, karena hal itu bisa memboroskan minyak, yang waktu itu menjadi barang langka. Kemarahan pamannya tak menyurutkan semangat Kintaro untuk membaca. Ia terus membaca dan membaca. Ia pun membaca sambil berjalan dengan memikul kayu di punggung.
Semangat Kintaro inilah yang digenggam erat oleh pendidikan di Jepang. Anak-anak di sekolah dasar (SD) dikenalkan dengan Kintaro. Bahkan pada tahun 1924 sebuah SD di perfektur Aichi mendirikan patung Kintaro di depan sekolah. Dan sejak saat itu, 100 lebih SD memiliki patung yang sama. Selain sekolah, di taman-taman kota juga mudah ditemukan patung Kintaro. Kintaro adalah simbol gerakan mencintai ilmu pengetahuan di Jepang.
Dan semangat seperti yang dipunyai Kintaro, banyak ditemukan pada buku-buku Jepang. Musashi karya Eiji Yosikhawa adalah contoh lain. Sebelum dikenal dengan nama Miyamoto Musashi, ia memiliki nama Takezo. Takezo kecil adalah anak nakal, akhirnya ia dikurung oleh pendeta zen, Takuan Soho di ruang tertutup dengan hanya ditemani buku dan lilin. Di ruang tanpa sinar matahari berbulan-bulan ini, Takezo bergelut dengan buku-bukunya. Dan pada akhirnya lahirlah Musashi yang penuh kebijaksanaan dan semangat belajar berperang.
Jika masih kurang, mari kita buka buku Eiji lain berjudul Taiko. Dikisahkan Hideoyoshi kecil dihina di sana-sini. Tapi ia begitu kuat belajar untuk mengejar sesuatu yang besar. Ia pun diterima sebagai jongos, yang bertugas menyiapkan sandal bagi majikannya. Ia harus kelaparan dan diusir majikannya karena difitnah mencuri makanan. Tapi Hideoyosi akhirnya menjadi jenderal, dan menjadi kaisar Jepang.
Ya, Jepang penuh semangat besar. Ada Kintaro, Musashi, Hideoyoshi, dan seabrek tokoh-tokoh lain yang menginspirasi masyarakat Jepang. Bahkan, pasukan Kamikaze yakni pasukan berani mati dalam perang dunia kedua adalah bukti semangat besar Jepang untuk menjadi bangsa besar.
Sindikat Baca dan Bojonegoro
Ketika Sindikat Baca lahir pada 2009 dan menjadi sebuah kelompok kecil penggerak literasi di Bojonegoro, semangat besar untuk terus kampanye membaca hendak digenggamnya. Dan tiga tahun sesudahnya, semangat besar itu telah digenggam erat-erat. Kini Sindikat Baca boleh dibilang sedang merawat genggaman tersebut. Genggaman yang berisi semangat besar.
Titik yang hendak dikejar adalah Bojonegoro besar lewat orang-orang besar yang tumbuh berkembang di lingkungan membaca yang kuat. Semangat membaca inilah yang terus coba ditularkan kepada masyarakat umum. Sindikat Baca, sebagai salah satu bagian dari masyarakat Bojonegoro yakin, bahwa menjadi daerah dengan orang-orang besar di bidang keilmuan, bukan sesuatu yang mustahil.
Tapi, mungkinkah Bojonegoro bisa besar seperti Yogyakarta, Jakarta, Malang, Bandung, Surabaya atau Bali, dengan geliat keilmuan di kampus-kampusnya dan gerakan kebudayaannya?. Saya tetap yakin, tak ada yang tak mungkin. Sesuatu yang besar bisa diraih dengan semangat besar yang ditopang oleh pikiran-pikiran besar pula.
Dan pikiran besar itu sebenarnya banyak dimiliki oleh orang-orang di Bojonegoro. Orang-orang yang memiliki semangat seperti Kintaro, seperti Musashi, seperti Hideoyoshi. Andai semangat besar yang dimiliki orang-orang tersebut menular di sekelilingnya, maka betapa dahsyat “bom” yang berhasil diledakkan itu dirasakan di mana-mana.
Bojonegoro dikaruniai kekayaan alam berupa minyak dan gas bumi yang besar. Bojonegoro dengan “wajah” seperti itu bisa mendorong mimpi-mimpi besar itu menjadi kenyataan. Tapi potensi ekonomi yang besar yang dimiliki Bojonegoro itu pula, yang bisa menjadi kuburan bagi mimpi-mimpi besar itu.
Ekonomi Bojonegoro yang ditopang oleh industri migas akan menjadi sesuatu yang menggiurkan. Banyak orang akan mencari jalan masuk menjadi salah satu bagian dari putaran itu. Dan pintu masuk itu bisa apa saja, mulai bidang (pintu) ekonomi, politik, sosial, budaya, keamanan, agama, dan lain sebagainya. Dan itu adalah sesuatu yang wajar.
Akan tetapi, yang terpenting adalah bagaimana merawat semangat besar itu agar terus dimiliki oleh masyarakat Bojonegoro sampai kapanpun. Tak peduli sedang berpijak di bumi Bojonegoro manapun. Kita sebagai masyarakat Bojonegoro harus mulai ikut menggenggam semangat Kintaro yang selalu mencintai buku. Kita sedang membutuhkan semangat Kintaro untuk merawat mimpi besar menjadikan Bojonegoro sebagai daerah yang besar.
Saya menawarkan sebuah desain untuk Bojonegoro bergerak menjadi daerah besar. Pertama, masyarakat Bojonegoro harus mencintai membaca, mencintai buku, sebagaimana masyarakat mencintai sepiring nasi. Semangat Kintaro harus dimiliki oleh anak-anak sekolah di Kabupaten Bojonegoro. Karena dengan tradisi membaca yang kuat, maka Bojonegoro akan bisa besar.
Kedua, pemerintah kabupaten harus menghidupkan perpustakaan sekolah. Hidup, bukan berarti hanya dibuka pagi hari dan ditutup sore hari. Perpustakaan hidup adalah perpustakaan yang membangun nilai-nilai kecintaan akan ilmu pengetahuan. Buatlah hari berkunjung ke perpustakaan, buatlah perpustakaan senyaman mungkin, buatlah taman-taman di sekitar perpustakaan sekolah.
Sudah bukan saatnya sebenarnya kita berdebat soal berapa sekolah yang punya perpustakaan, melainkan bagaimana membangun perpustakaan sekolah yang hidup. Kita bayangkan saja, ketika sekolah sebagai lembaga pendidikan formal untuk usia anak-anak tak peduli perpustakaan, bagaimana masa depan pendidikan Bojonegoro kelak.
Ketiga, insan kampus harus menghidupkan tradisi keilmuan sesuai bidangnya masing-masing. Geliat diskusi-diskusi di kampus perlu disemarakkan. Press mahasiswa perlu berkembang sebagai wadah kreativitas intelektual. Dan di sisi lain, mahasiswa harus lebih berperan sebagai intelektual organik yang mampu menjembatani antara kepentingan elit dengan kepentingan masyarakat bawah.
Pada akhirnya, Bojonegoro harus menjadi daerah yang punya tradisi membaca kuat. Semangat itu harus dimiliki oleh banyak orang. Dan pada posisi inilah Sindikat Baca berusaha ikut andil. Sindikat Baca ingin menularkan semangat Kintaro untuk Bojonegoro. Salam!.