Kamis, 26 Juli 2012

Kintaro, Sindikat Baca dan Bojonegoro

Oleh: Nanang Fahrudin



Sebagai kado tiga tahun Sindikat Baca, 14 Juli 2012

Kintaro. Jelas ini nama Jepang. Dan memang benar adanya. Kintaro lahir tahun 1787 di Kota Odawara, frefektur Kanagawa. Ia anak keluarga sangat miskin. Ayah ibunya meninggal ketika ia baru menginjak usia belasan tahun. Kintaro kecil lalu diasuh oleh pamannya.

Sejak kecil Kintaro sangat menyukai ilmu pengetahuan. Siang hari ia membantu pamannya bekerja, dan malam harinya ia membaca buku. Kebiasaannya membaca di malam hari ditentang oleh pamannya, karena hal itu bisa memboroskan minyak, yang waktu itu menjadi barang langka. Kemarahan pamannya tak menyurutkan semangat Kintaro untuk membaca. Ia terus membaca dan membaca. Ia pun membaca sambil berjalan dengan memikul kayu di punggung.

Semangat Kintaro inilah yang digenggam erat oleh pendidikan di Jepang. Anak-anak di sekolah dasar (SD) dikenalkan dengan Kintaro. Bahkan pada tahun 1924 sebuah SD di perfektur Aichi mendirikan patung Kintaro di depan sekolah. Dan sejak saat itu, 100 lebih SD memiliki patung yang sama. Selain sekolah, di taman-taman kota juga mudah ditemukan patung Kintaro. Kintaro adalah simbol gerakan mencintai ilmu pengetahuan di Jepang.

Dan semangat seperti yang dipunyai Kintaro, banyak ditemukan pada buku-buku Jepang. Musashi karya Eiji Yosikhawa adalah contoh lain. Sebelum dikenal dengan nama Miyamoto Musashi, ia memiliki nama Takezo. Takezo kecil adalah anak nakal, akhirnya ia dikurung oleh pendeta zen, Takuan Soho di ruang tertutup dengan hanya ditemani buku dan lilin. Di ruang tanpa sinar matahari berbulan-bulan ini, Takezo bergelut dengan buku-bukunya. Dan pada akhirnya lahirlah Musashi yang penuh kebijaksanaan dan semangat belajar berperang.

Jika masih kurang, mari kita buka buku Eiji lain berjudul Taiko. Dikisahkan Hideoyoshi kecil dihina di sana-sini. Tapi ia begitu kuat belajar untuk mengejar sesuatu yang besar. Ia pun diterima sebagai jongos, yang bertugas menyiapkan sandal bagi majikannya. Ia harus kelaparan dan diusir majikannya karena difitnah mencuri makanan. Tapi Hideoyosi akhirnya menjadi jenderal, dan menjadi kaisar Jepang.

Ya, Jepang penuh semangat besar. Ada Kintaro, Musashi, Hideoyoshi, dan seabrek tokoh-tokoh lain yang menginspirasi masyarakat Jepang. Bahkan, pasukan Kamikaze yakni pasukan berani mati dalam perang dunia kedua adalah bukti semangat besar Jepang untuk menjadi bangsa besar.

Sindikat Baca dan Bojonegoro

Ketika Sindikat Baca lahir pada 2009 dan menjadi sebuah kelompok kecil penggerak literasi di Bojonegoro, semangat besar untuk terus kampanye membaca hendak digenggamnya. Dan tiga tahun sesudahnya, semangat besar itu telah digenggam erat-erat. Kini Sindikat Baca boleh dibilang sedang merawat genggaman tersebut. Genggaman yang berisi semangat besar.

Titik yang hendak dikejar adalah Bojonegoro besar lewat orang-orang besar yang tumbuh berkembang di lingkungan membaca yang kuat. Semangat membaca inilah yang terus coba ditularkan kepada masyarakat umum. Sindikat Baca, sebagai salah satu bagian dari masyarakat Bojonegoro yakin, bahwa menjadi daerah dengan orang-orang besar di bidang keilmuan, bukan sesuatu yang mustahil.

Tapi, mungkinkah Bojonegoro bisa besar seperti Yogyakarta, Jakarta, Malang, Bandung, Surabaya atau Bali, dengan geliat keilmuan di kampus-kampusnya dan gerakan kebudayaannya?. Saya tetap yakin, tak ada yang tak mungkin. Sesuatu yang besar bisa diraih dengan semangat besar yang ditopang oleh pikiran-pikiran besar pula.

Dan pikiran besar itu sebenarnya banyak dimiliki oleh orang-orang di Bojonegoro. Orang-orang yang memiliki semangat seperti Kintaro, seperti Musashi, seperti Hideoyoshi. Andai semangat besar yang dimiliki orang-orang tersebut menular di sekelilingnya, maka betapa dahsyat “bom” yang berhasil diledakkan itu dirasakan di mana-mana.

Bojonegoro dikaruniai kekayaan alam berupa minyak dan gas bumi yang besar. Bojonegoro dengan “wajah” seperti itu bisa mendorong mimpi-mimpi besar itu menjadi kenyataan. Tapi potensi ekonomi yang besar yang dimiliki Bojonegoro itu pula, yang bisa menjadi kuburan bagi mimpi-mimpi besar itu.

Ekonomi Bojonegoro yang ditopang oleh industri migas akan menjadi sesuatu yang menggiurkan. Banyak orang akan mencari jalan masuk menjadi salah satu bagian dari putaran itu. Dan pintu masuk itu bisa apa saja, mulai bidang (pintu) ekonomi, politik, sosial, budaya, keamanan, agama, dan lain sebagainya. Dan itu adalah sesuatu yang wajar.

Akan tetapi, yang terpenting adalah bagaimana merawat semangat besar itu agar terus dimiliki oleh masyarakat Bojonegoro sampai kapanpun. Tak peduli sedang berpijak di bumi Bojonegoro manapun. Kita sebagai masyarakat Bojonegoro harus mulai ikut menggenggam semangat Kintaro yang selalu mencintai buku. Kita sedang membutuhkan semangat Kintaro untuk merawat mimpi besar menjadikan Bojonegoro sebagai daerah yang besar.

Saya menawarkan sebuah desain untuk Bojonegoro bergerak menjadi daerah besar. Pertama, masyarakat Bojonegoro harus mencintai membaca, mencintai buku, sebagaimana masyarakat mencintai sepiring nasi. Semangat Kintaro harus dimiliki oleh anak-anak sekolah di Kabupaten Bojonegoro. Karena dengan tradisi membaca yang kuat, maka Bojonegoro akan bisa besar.

Kedua, pemerintah kabupaten harus menghidupkan perpustakaan sekolah. Hidup, bukan berarti hanya dibuka pagi hari dan ditutup sore hari. Perpustakaan hidup adalah perpustakaan yang membangun nilai-nilai kecintaan akan ilmu pengetahuan. Buatlah hari berkunjung ke perpustakaan, buatlah perpustakaan senyaman mungkin, buatlah taman-taman di sekitar perpustakaan sekolah.

Sudah bukan saatnya sebenarnya kita berdebat soal berapa sekolah yang punya perpustakaan, melainkan bagaimana membangun perpustakaan sekolah yang hidup. Kita bayangkan saja, ketika sekolah sebagai lembaga pendidikan formal untuk usia anak-anak tak peduli perpustakaan, bagaimana masa depan pendidikan Bojonegoro kelak.

Ketiga, insan kampus harus menghidupkan tradisi keilmuan sesuai bidangnya masing-masing. Geliat diskusi-diskusi di kampus perlu disemarakkan. Press mahasiswa perlu berkembang sebagai wadah kreativitas intelektual. Dan di sisi lain, mahasiswa harus lebih berperan sebagai intelektual organik yang mampu menjembatani antara kepentingan elit dengan kepentingan masyarakat bawah.

Pada akhirnya, Bojonegoro harus menjadi daerah yang punya tradisi membaca kuat. Semangat itu harus dimiliki oleh banyak orang. Dan pada posisi inilah Sindikat Baca berusaha ikut andil. Sindikat Baca ingin menularkan semangat Kintaro untuk Bojonegoro. Salam!.

Minggu, 22 Juli 2012

Sastra dan Sebaris Pertanyaan Tentangnya

Oleh: Nanang Fahrudin

Kenapa menyukai sastra?. Seberapa pentingkah sastra bagimu?. Dua pertanyaan ini, beberapa waktu terakhir sengaja saya sodorkan kepada orang-orang dekat. Mereka ada yang sebelumnya memang sudah menyukai sastra, tapi ada juga yang tidak menyukai sastra sama sekali.

Jawaban mereka beragam. “Saya suka sastra karena bahasanya yang indah” jawab seseorang. “Saya tak suka sastra. Sastra itu hanya angan-angan, bukan kenyataan.” yang lain menjawab. Ada pula yang menjawab “Saya sejak dulu tak suka sastra. Sastra hanya pembodohan, karena bercerita tentang percintaan saja. Sangat menjemukan,” kata seorang kawan yang lain lagi.

Saya pun sebenarnya memiliki pertanyaan serupa untuk diri saya sendiri. Seberapa pentingkah sastra bagi saya?. Dan baru satu jawaban yang saya temukan, yakni sastra mampu membantu memahami gerak dunia. Dan sebagai pembaca sastra, saya lebih senang menyandingkan sastra dengan ilmu sosial-budaya masyarakat.

Tapi, apa sebenarnya sastra itu? Dalam buku “Kebenaran dan Dustra dalam Sastra”, Radhar Panca Dahana (2000) mengungkapkan sastra adalah dusta. Karena sastra lahir dari suatu kreasi imajinasi seseorang. Sastra menjadi “dusta” saat ia dinisbatkan harus memiliki standar logis. Tapi jangan lupa, dustra dalam sastra menjadi sebuah standar unik untuk menyingkap kebenaran.

Sastra memang bukan laporan jurnalistik yang selalu berpijak pada fakta dan wawancara. Tapi sastra adalah menyingkap kebenaran sosial-budaya masyarakat, dan menunjukkan kebenaran adanya ketidakadilan. Sastra terkadang bisa lebih tajam mengungkap borok penindasan. Bahkan, karya sastra bisa meneropong masa depan manusia, yang baru terbukti pada puluhan atau ratusan tahun setelahnya.

Ketika Multatuli menulis Max Havelaar, betapa marahnya ia sebagai penulis melihat penindasan pada masa penjajahan Belanda di bumi Banten Selatan. Gambaran penindasan itu tercermin salah satunya dari kisah Saijah dan Adinda yang ada dalam buku tersebut. Kesukaran hidup yang dialami Saijah dan Adinda bisa jadi lebih mengena, dibandingkan dengan catatan sejarah resmi tentang penjajahan Belanda di Indonesia.

Demikian juga ketika Jules Verne (lahir 1828) menulis “Berkeliling Dunia di Bawah Laut”. Saat itu belum ada penelitian tentang kapal selam yang mampu menembus laut es dan sampai ke kutub utara. Tapi karya Jules tentang kapal bernama Nautilus milik Kapten Nemo sudah mampu melewati semuanya. Dalam novelnya, kapal selam Nautilus itu dinilai terlalu canggih untuk masanya.

Dan hampir 100 tahun setelah novel itu terbit, angkatan laut Amerika Serikat akhirnya membuat sebuah kapal selam yang diberi nama Nautilus, lengkapnya USS Nautilus SSN-571. Kapal selam ini mulai diluncurkan pada 21 Januari 1954. Dan pada 3 Agustus 1958 USS Nautilus berhasil mencapai Greenland dengan waktu tempuh 96 jam dan berlayar sejauh 1.590 mil. Kapal selam ini pun dinyatakan sebagai kapal selam pertama kali berhasil berada pada titik 90ยบ, titik pusat Kutub Utara.

Lalu, pentingkah sastra?. Saya lebih senang menjawab “ya”. Dan anda boleh menjawab “tidak”. Tapi yang terpenting adalah, banyak kalangan yang belum mengetahui apa itu sastra. Para siswa sekolah banyak yang belum mengerti tentang sastra, terlepas nanti mereka menyukai sastra atau tidak.

Pada titik inilah sebenarnya peran penting guru mata pelajaran (mapel) Bahasa dan Sastra Indonesia untuk mengenalkan sastra kepada para siswa. Para siswa seyogyanya tak sekadar mengetahui sastra, melainkan memahami sastra sebagaimana ia memahami ilmu fisika, kimia, sejarah, matematika dan sederet mapel lainnya. Sastra bukan milik segelintir orang, tapi sastra adalah milik semua masyarakat.

Seberapa pentingkah sastra bagimu?. Mari kita sama-sama mencari jawabannya. Salam!.

Penulis adalah Redaktur Pelaksa (Redpel) blokBojonegoro.com dan Koordinator GusRis Foundation

Minggu, 01 Juli 2012

Kopi Warung Lubang Dinding

(Kopi oh Kopi Bagian 5)

Oleh: Nanang Fahrudin

Lama sekali aku tak masuk kampus. Setelah lulus dari Unmuh Malang tahun 2002, hanya satu dua kali saja aku masuk kampus. Paling saat tahun-tahun awal lulus, ketika hendak mengurus legalisir ijazah untuk melamar kerja. Dan setiap kali masuk kampus lagi, aku selalu merasa kampus adalah tempat yang sungguh menyenangkan.

Aku masih ingat ketika ikut di Teater Sinden, dan harus latihan malam-malam di lapangan basket. Semua duduk dengan posisi melingkar, bersila, diam, memejamkan mata, mendengarkan suara apa saja, merasakan angin yang menyapa kulit. Atau ketika ruang kuliah dipindah dari lantai tiga ke lantai enam, aku harus setengah berlari saat naik tangga agar tak ketinggalan. Nafas selalu ngos-ngosan saat berlari. Sesampai di kelas, aku masuk dan “Maaf pak saya terlambat”. Maklum waktu itu belum ada lift seperti yang sudah ada di kampus Unmuh sekarang.

Aku juga masih ingat, ketika selain jadi mahasiswa, aku dan beberapa teman membuka warung di kawasan Sengkaling, tak jauh dari lokasi wisata Sengkaling. Jam lima pagi, aku harus mengendarai motor meluncur dari tempat kos di Tirto Utomo menuju Pasar Dinoyo, samping kampus Unisma. Di pasar, aku belanja cabe, wortel, lele, brambang, telur, dan entah apa lagi, aku sudah lupa.

Semua belanjaan itu kami masak sendiri, dan saat warung buka, kami harus melayani pembeli. Melayani maksudnya kalau pesan es teh, aku harus menyiapkan. Kalau pesan telur penyet, aku akan menggoreng telur. Kalau pembeli minta nasinya dibungkus, maka aku membungkus nasi itu dengan kertas minyak. Dan semua terasa menjemukan saat itu, tapi menyenangkan diingat saat ini.

Semua ingatan itu tiba-tiba saja hadir kembali saat aku masuk ke kampus. Tapi, kali ini bukan masuk kampus Unmuh Malang, melainkan kampus IAIN Surabaya. Dan seperti sudah kubilang, bahwa aku menyukai masuk kampus. Bagiku kampus adalah tempat yang menyenangkan.

Dan sekarang, aku sedang duduk di salah satu sudut kampus IAIN. Aku tak tahu apa tempatku duduk ini bagian belakang, atau di bagian pojok kampus. Dan memang itu tak begitu penting. Karena yang penting, dan ingin kuceritakan kepada anda pembaca, bahwa aku duduk di kursi yang dipaku sekenanya. Di depanku ada meja triplek yang sudah bolong di sana-sini. Laptopku kutaruh di atasnya, dan aku mulai mengetik tulisan ini.

Aku duduk dengan santai sambil bersandar tembok. Di sebelah kananku, ada rumpun bambu yang kehilangan bambunya dan menyisakan tunas-tunasnya saja. Di tembok belakangku ada tulisan di papan kecil “Bambu Keramat”. Mungkin hendak menunjuk para bambu di sebelah kananku.

Aku duduk sendirian menunggu seorang kawan. Tapi sendirian terkadang beda dengan merasa sendirian. Orang yang merasa sendirian, akan selalu sendiri meski berada di kerumunan. Dan sebaliknya, aku selalu merasa tidak sendiri meski sedang tidak ada orang lain menemaniku. Memang dari tempatku duduk, ada mahasiswa yang berlalu lalang. Tapi tak ada yang kukenal, jadi tak ada yang kusapa.

Aku merasa tidak sendirian, karena aku ditemani kopi. Kopiku selalu indah. Awalnya aku tak melihat ada warung di sekelilingku, sampai akhirnya aku melihat ada seorang perempuan tua yang menyembulkan badan bagian atasnya dari lubang berbentuk kotak. Lubang itu posisinya agak tinggi karena berada sejajar di atas pagar kampus. Lubang itu adalah rumah yang bagian dindingnya sengaja dijebol, sepertinya khusus untuk melakukan transaksi. Dan rumah yang dindingnya dijebol itu berada di luar pagar kampus.

“Kalau piring atau gelasnya sudah selesai dipakai pembeli, Mak akan turun dengan tangga dan mengambilnya,” kata seorang kawan. Mak adalah perempuan tua tadi. Dia adalah pemilik “warung lubang dinding” itu.

Kopi mulai kunikmati. Enak rasanya. Aku lantas berpikir, kopi selalu punya cerita. Tak salah jika Multatuli menulis Max Havelaar dengan tokoh akunya adalah makelar kopi. Bukti lain adalah Filosofi Kopi buah karya Dee. Ya, kopi selalu inspiratif. Tapi aku bukan seperti penulis-penulis hebat itu, karena aku hanya menyukai kopi dan membuat catatan-catatan kecil tentangnya. Kalau aku bisa menulis puisi, mungkin aku akan menulis puisi yang khusus kupersembahkan untuk kopi. Sayang, aku tak begitu bisa menulis puisi.

Kalau aku menawarkan sebuah gagasan tentang kopi kepada anda, kira-kira menarik ndak ya?. Gagasan yang kumaksud begini. Bagaimana seandainya kita (aku dan anda pembaca), yang suka kopi tentunya, membuat sebuah tempat sentra kopi. Tapi bukan pabrik kopi, atau kebun kopi. Melainkan membuat sebuah “kampung” yang semua daya kreasi bertema kopi tumplek blek di sana. Ada warung kopi, ada outlet menjual kaos bertema kopi, gerai menyediakan souvenir tema kopi, hingga desain aristektur rumah bertemakan kopi. Ya, ibaratnya jika seseorang masuk ke kampung itu, maka serasa masuk ke kampung kopi. Kampung kopi yang semuanya bertema kopi.

Kenapa kopi?. Jawabanku sederhana saja. Karena kebetulan aku menyukai kopi. Soal apa dan bagaimana kopi, tak ada salahnya kita mampir ke http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_kopi. Di laman ini disebutkan kopi pernah diharamkan bagi agama Kristen, kopi dilarang oleh negara karena menjadi tempat makar, dan segudang cerita tentang kopi sejak tahun sebelum masehi.

Ah, lebih baik kuakhiri tulisan ini. Kawanku sudah menjemputku. Meski aku masih ingin melanjutkan menulis tentang kopi, tapi laptop ini harus segera kututup. Kopi yang tinggal sedikit kunikmati lagi. Kawanku membayar kopi dan nasi pecel kami. Perempuan tua kembali muncul di lubang dinding yang posisinya lebih atas dari kami. Sehingga, saat bicara dengannya, kami harus mendongakkan kepala. “Suwun mak,” kata kawanku. Dan kami pun meninggalkan gelas kopi itu sendirian.

Surabaya, 20 Juni 2012

Menikmati Secangkir Buku

Oleh: Nanang Fahrudin

Saya sering berpikir, bagaimana kondisi psikologi penulis saat menulis buku-bukunya. Apakah ia sedang marah, geram, tertekan, gembira, atau sedang memanggul rasa dendam yang membara?. Ketika dunia semiotika mengampanyekan “Matinya Sang Pengarang”, teks dipandang begitu bebas berdiri sendiri. Teks menjadi layang-layang yang diputus talinya, yang siapa saja bisa mengambilnya kalau mau. Dan di angkasa sana, puluhan atau bahkan ribuan layang-layang diputus dari talinya.

Mungkin anda tipe pembaca yang menyukai obyektivitas teks seperti itu. Melihat teks seperti layang-layang yang terputus dari orang yang menerbangkannya. Lalu kita menikmati layang-layang itu, bahwa layang-layang itu indah atau tidak indah, bagus atau tidak bagus.

Dan dalam soal menikmati layang-layang ini, saya mungkin orang yang kuno. Saya selalu ingin tahu siapa yang membuat dan menerbangkan layang-layang itu. Saya selalu berusaha yakin bahwa layang-layang itu tak putus dari talinya. Jadi, saya selalu tidak bisa mengiyakan “Matinya Sang Pengarang”. Karya, bagi saya, selalu tersambung dengan penulisnya.

Seperti ketika saya membaca buku-buku karya Ahmad Tohari, saya tergerak mencari tahu siapa dia. Ketika saya membaca novel Ziarah, Merahnya Merah dan kumpulan cerpen Tegak Lurus dengan Langit karya Iwan Simatupang, saya selalu ingin tahu siapa Iwan. Meski informasi tentang penulisnya sangat sedikit, saya pun selalu membayangkan bagaimana penulisnya.

Mencoba mengenal siapa penulisnya, membuat saya lebih bisa menikmati buku-buku yang saya baca. Mungkin anda berbeda dengan saya. Tapi perbedaan itu tak perlu dipersoalkan. Ibarat kita sama-sama menyukai kopi, dan saya lebih suka menikmatinya di warung kopi emperan toko, sedang anda mungkin lebih senang menikmati kopi di rumah.

Begitulah saya menikmati buku. Saya ingin mengenal penulis, lalu membaca karya-karyanya. Penulis “yang saya kenal” itu pun hadir pada “ruh” teks yang saya baca. Penulis itu melambai-lambaikan tangan, menyapa, dan berkisah tentang apa yang ditulis. Penulis itu berteriak-teriak, berpuisi indah, marah, tertawa, memaki, yang semuanya mambawa suasana membaca di diri saya lebih hidup. Membaca pun benar-benar seperti menikmati secangkir kopi. Ya seperti nyruput secangkir buku.

Pada saat itulah buku seperti bara api. Dan pada lain waktu buku seperti cokelat yang nikmat, dan pada waktu lain lagi buku seperti teman. Tapi sesekali buku juga menjadi musuh yang menjijikkan, buku menjadi senja yang indah, buku menjadi angin topan, buku menjadi gunung, buku menjadi gemericik air, dan buku menjadi dan menjadi, entah apa lagi.

Ketika membaca buku Max Havelaar karya Multatuli, saya seperti sedang memegang bara api, yang membara oleh kebencian. Kebencian akan ketidakadilan, kebencian akan penindasan. Coba kita membaca pada bagian kisah Saijah dan Adinda. Aduh, betapa menderitanya orang-orang pribumi di kala itu. Ketika membaca buku Keluarga yang Bahagia karya Leo Tolstoy, saya seperti sedang menggenggam senja yang indah, ada siluet rama dan sinta. Indah sekali. Pun demikian ketika saya membaca Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, ada kegetiran pada diri Guru Isa.

Ah, mungkin saya terlalu menikmati cara saya membaca. Padahal, saya di sini ingin berdiskusi dengan Anda bagaimana cara menikmati buku. Apakah Anda senang menikmati buku seperti cara saya menikmati buku?. Saya sangat berharap Anda mau menceritakannya kepada saya. Alangkah senangnya saya.

Saya yakin, ada seribu satu cara seseorang menikmati buku. Seperti ada seribu satu cara seseorang membuat kopi. Kopi bisa disajikan dengan cangkir atau gelas, bisa dengan cara memilih air yang dimasak dengan kompor atau dengan arang. Membaca buku adalah melihat kemarahan, kemuakan, kerinduan, kecintaan, kedamaian (dan lainnya), melalui teks yang ada. Yang teks itu lahir dari pergolakan pikiran, perasaan, jiwa, dan raga para penulis.

Ya, buku selalu memiliki jiwa. Dan ketika kita membaca buku, kita sedang bercengkrama dengannya. Salam!.

Bojonegoro, 1 Juli 2012
 
© Copyright 2035 godongpring