Oleh Nanang Fahrudin
Pagi ini, embun bergelantungan di ujung dedaunan. Kata orang, embun itu dibawa oleh bulan purnama tadi malam. Kucoba mengenali embun dengan keakraban seorang anak. Lalu kucatat sebagaimana aku mencatat apa-apa yang kukenal sebelumnya.
Alam ini indah. Lalu aku mencatat tentang pagi, siang, dan malam. Tak lupa pula kucatat dalam bukuku, yang tebal ini, tentang senja jingga yang berhiaskan arak-arakan awan yang dilumuri sinar merah penghabisan. Senang sekali memenuhi bukuku dengan apa-apa yang ada di sekeliling.
"Kau harus mengenal tanahmu sendiri". Aku pun mencatat tentang tanah kampungku yang semakin hari semakin sempit. Bukan lantaran bumi ini yang menyempit, tapi tanah-tanah kampungku telah ditumbuhi tembok-tembok menjulang tinggi. Tembok itu bertumpuk-tumpuk serupa mainan puzzle yang tak selesai-selesai dibangun oleh anak seumuranku.
Di tanah yang menjulang tinggi, disebutnya dengan nama gunung. Lalu agak rendah sedikit disebutnya bukit. Tanah yang cekung, dinamainya jurang. Tapi tanah yang kuinjak sekarang, aku tak tahu. Apa ini bukit ataukah gunung. Aku belum mencoba mencari tahu dalam kamus ataupun pelajaran di sekolah.
Waw! Dari atas tanah ini bisa kulihat pabrik yang terlihat mungil di kejauhan. Jika malam hari, pabrik itu akan berhias lampu gemerlap, seakan menantang kerling mata ribuan bintang di langit. Juga menantang bulan yang kusebut sebagai si Mata Besar. Terkadang, malam-malam seperti itu, bulan sabit bak secuil kue roti yang lezat. Sayang, ini masih pagi dan gambaran itu tak tampak.
Tapi aku sudah pernah merasakah malam seperti itu. Beberapa hari yang lalu aku berdiri di sini malam hari. Angin bertiup cukup kencang membuat dingin terasa begitu nyata. Kepala kututup dengan kain syal rajutan benang, sekadar mengusir dingin. Mataku kubiarkan bebas menyapu alam, terutama gemerlap lampu dari pabrik yang terlihat mungil di ujung sana. Di langit, bulan separoh menggantung di langit. Tak lupa aku membawa buku catatanku.
Lalu mencatatlah aku tentang angin.
Angin. Kau bergerak dari ujung yang tak pernah diketahui. Menyapaku. Menepuk-nepuk kulitku. Kau akrab serupa sahabat lama yang tak bersua. Lama waktu yang dinanti, bukan lama yang terbuang. Kau kunamai semilir dengan rasa kasih sayang yang penuh. Sebagaimana seorang ibu menyerahkan jiwa-raganya pada anak tercintanya.
Terus terang, aku tak bisa menulis panjang. Tentang angin cukuplah aku menulis sampai di situ saja. Buku catatan kututup, lalu aku melangkahkan kaki meninggalkan tanah serupa bukit. Air sungai deras terdengar merdu di telinga. Belum pernah aku merasai suara merdu seindah kali ini.
Menuju rumahku, aku memang harus menyeberangi sungai. Semakin dekat ke sungai, merdu suara gemericik air semakin hilang digantikan deru air yang menabrak-nabrak batu besar. Ketika kaki menginjak batu di bibir sungai, yang kutemukan hanyalah kebisingan air yang menjerit-jerit, bukan merdu yang tadi.
“Hati-hatiii, airnya deras”. Suara berteriak itu beradu dengan air yang terus menjerit-jerit. Di sungai, kami memang harus saling berteriak. Di seberang sana, kulihat empat teman bermainku sedang menata sandalnya yang baru saja lepas. Mungkin teman-temanku baru pulang dari ladang. “Yaaa,” sahutku tak kalah keras. Tak lupa aku melemparkan senyum kepadanya.
Bagiku, menyeberangi sungai adalah sebuah pelajaran berharga tentang keseimbangan tubuh. Bagaimana tidak, jika sampai goyah sedikit, atau salah menginjak batu, maka tubuh kita akan tercebur ke air. Dan menyeberang sungai yang airnya deras juga serupa pelajaran mengarungi hidup yang serba keras. Nasihat itu kudapat dari seorang kakek yang menyelamatku saat aku terseret arus air sungai dan menabrak sebongkah batu.
Sesampai di seberang sungai, aku ingat dengan buku catatanku. Lalu mencatatlah aku tentang batu.
Batu. Di jalan, sebongkah batu akan membuat celaka orang yang melintas. Barang siapa menyingkirkan batu itu, maka dia akan mendapat kebaikan berlipat. Ketika batu berada di jari tangan, ia akan begitu berharga, digosok-gosok sampai mengkilap. Sama-sama batu kali, bisa punya nasib berbeda.
Di kampungku, batu seperti pohon. Tumbuh di sana-sini, menyembul dari tanah. Setahuku, batu-batu itu terlempar dari gunung. Tapi entah gunung apa, aku tak tahu. Aku menamai batu naga karena bentuknya mirip naga. Ada juga batu telur, karena bentuknya yang bulat seperti telur ayam. Lalu ada batu besar yang entah seperti apa bentuknya. Aku menamainya batu raksasa. Di atas batu itu, aku sering tiduran menikmati langit biru.
Aih, aku mulai mencatat lebih panjang. Itu berarti, aku mulai bisa mengenal alamku lebih akrab lagi. Senang sekali memikirkannya. Pengalaman pertama kali menulis di buku catatan, waktu itu tentang langit, aku hanya menulis satu kata: biru. Lalu beberapa hari kemudian, aku mencatat kalimat agak panjang tentang hujan. Kutulis begini: air tumpah dari langit, lalu disaring oleh malaikat, sehingga air yang turun ke bumi berupa rintik. Aku tersenyum.
Aku melangkah memunggungi sungai, melewati pematang sawah. Pematang itu berkelok-kelok serupa naga yang sedang terbang. Aku pun seperti berjalan di atas punggung naga. Kakiku berjingkat-jingkat, melompat-lompat kecil sambil bernyanyi tralala-trilili. Mendung mulai bergelantungan di langit, cahaya matahari meredup. Itu pertanda aku harus segera pulang. Kupegang buku catatanku dengan erat. Aku setengah berlari.
Sejujurnya, aku belum pernah melihat naga. Mungkin tidak akan pernah. Tapi aku selalu membayangkan naga itu gagah. Bunda beberapa kali berkisah tentang naga, ketika hendak menidurkanku. Naga yang setia menemani anak kecil menemukan mimpinya. Dengan kesabaran dan kerja keras, anak kecil itupun menggenggam mimpi itu, setelah melewati jembatan menuju langit. Ah, cerita yang menyenangkan, yang membuatku cepat terlelap.
“Hai peri kecil. Dari mana kamu?” Aku selalu suka dipanggil “peri kecil”.
Di penglihatanku, peri adalah bidadari cantik, memiliki tongkat ajaib, mengenakan baju yang indah-indah, dan juga bisa terbang.
“Ya Bunda. Aku dari atas”. Yang kumaksud dengan “atas” adalah gundukan tanah yang dari sana aku bisa melihat cerobong pabrik dan rumah-rumah yang tampak mungil.
Lelah sekali rasanya berjalan-jalan menyusuri alamku. Kucium tangan Bunda. Lalu aku berjalan menuju kamarku yang mungil. Dari belakang, aku mendengar Bunda berteriak “kubuatkan teh panas ya”. Kusahut dengan suara tak kalah nyaring “Ya, Bunda”.
Rumah sering membuatku bosan. Satu ruangan yang paling kusuka adalah kamarku sendiri. Sejak masuk sekolah esde, aku mendapat hadiah sebuah kamar. Kasurnya empuk, bantal bergambar Hello Kity, ada boneka Mr Bean, dan…satu lagi, sebuah buku catatan berwarna biru laut.
Buku catatan itu selalu kubawa. Aku mendapatkan dari Ayahku yang tak pandai menulis dan membaca. “Tapi kau jangan seperti ayah ya. Kau harus pandai menulis, menyukai membaca,” kata Ayahku suatu siang sambil menyerahkan buku catatan itu. Ayahku adalah petani yang begitu mencintai tanah.
Aku betah berlama-lama di dalam kamar seorang diri. Mencatat nama-nama. Maklum saja, kegemaranku adalah memberi nama pada apa saja yang ada di sekitarku. Dengan nama, seakan-akan semua menjadi lebih dekat denganku. Burung perkutut yang digantung di teras rumah, kuberi nama si Suara Merdu, karena suaranya memang merdu sekali. Kucing yang sering menggangguku saat aku makan, kuberi nama si Pengganggu karena ulahnya itu. Bahkan bunga melati yang mekar kuberi nama si Cantik Putih.
Kubuka jendela kamar. Terlihat dari kamarku, pohon-pohon jati bergoyang-goyang dimainkan angin. Gerimis mulai mengguyur. Beberapa orang tetangga berlarian menghindari air dari langit itu. “Hujan semakin deraaasss,” kata mereka entah kepada siapa. Sedang yang lain kulihat berjalan seperti biasa, berpayung selembar daun pisang.
Aku ingat, saat berjalan di pematang sawah menuju rumah, aku ingin menulis tentang pohon. Lalu kutulis tentang pohon di buku catatanku.
Pohon. Di kampungku paling banyak tumbuh adalah pohon jati. Pohon-pohon itu berdiri kokoh seperti barisan prajurit siap perang. Orang-orang kampung menebang pohon untuk keperluan membuat rumah. Jangan heran kalau di kampungku semua rumah terbuat dari kayu jati. Meja dari kayu jati. Kursi dari kayu jati. Bahkan, lantai juga ada yang dibuat dari kayu jati.
Sayang, kini jati kampungku banyak berkurang. Kata Bunda, jati itu ditebang sembarangan oleh orang-orang yang tak mencintai alam. Orang-orang yang tak mencintai hujan ataupun senja. Kini, satu demi satu kayu ditebang, bukan untuk rumah. Karena tak kulihat ada rumah baru setiap hari. Pohon-pohon itu seperti raib begitu saja dari kampungku. Aku tak pernah tahu.
Oh ya, aku memiliki pohon jati yang kutanam dengan tanganku sendiri. Dia kuberi nama si Jagoan. Keren kan? Si Jagoanku ini memang akan tumbuh besar kelak. Mungkin sebesar menara masjid yang menjulang tinggi. Baik-baik ya Jagoanku!
Lembar demi lembar halaman buku catatanku terisi oleh tulisan tanganku. Lega rasanya. Kuamati lagi catatan-catatanku itu. Sahabatku sudah banyak, pikirku. Apalagi ya? Aku sudah mencatat tentang langit, tanah, angin, hujan, batu, mendung, bulan, dan matahari. Semua sahabat baikku. Aku juga sudah menulis tentang mimpiku, tentang naga, bidadari, istana pangeran, dan surga.
Ketika pikiranku sibuk mencari-cari sahabat yang belum kucatat, Bunda masuk ke kamarku membawa segelas teh hangat dan roti bulat seperti bulan purnama. Aku menutup lekas-lekas buku catatanku. Maklum, rasa malu sering hinggap di diriku saat apa yang kurahasiakan hendak diketahui orang, meski orang itu adalah Bunda. Tapi aku menyukai Bunda, karena tidak memaksa membaca apa yang kutulis.
“Kenapa kau sembunyikan, peri kecil?”
“Tidak apa Bunda.”
“Oh, kau malu ya. Ya sudah, minum dulu tehnya. Mumpung masih hangat. Biar segar badanmu.”
Aku menyelipkan buku catatanku di bawah bantal. Teh hangat selalu menggoda selera. Bunda lalu keluar kamar untuk berbincang dengan Ayah yang baru saja tiba dari ladang.
Tak butuh waktu lama memindahkan teh itu dari gelas ke perutku. Lalu kuambil lagi buku catatanku. Aku ingat, siang ini aku hendak bertemu dengan Elang, teman bermainku. Kulihat langit mulai cerah. Bau tanah basah masih wangi. Aku setengah berlari keluar rumah hendak bertemu Elang.
“Hati-hatiiii,” teriak Ayah.
Aku berteriak “ya” sambil berlari. Aku kembali melewati pematang sawah. Burung srikatan berkicau riang. Satu sayapnya ada yang lepas dan jatuh melayang-layang sebelum akhirnya menyentuh tanah. Di kejauhan, aku melihat Elang melambai-lambaikan tangannya. Di tangannya, kulihat ada buku catatan berwarna jingga.
Bojonegoro, 4 November 2013
: buat prawoto, bunda dan malaikat kecilnya
__________________________________________________________
Penulis adalah pegiat Sindikat Baca, tinggal di Bojonegoro
(dimuat di Jawa Pos Radar Bojonegoro)
Pagi ini, embun bergelantungan di ujung dedaunan. Kata orang, embun itu dibawa oleh bulan purnama tadi malam. Kucoba mengenali embun dengan keakraban seorang anak. Lalu kucatat sebagaimana aku mencatat apa-apa yang kukenal sebelumnya.
Alam ini indah. Lalu aku mencatat tentang pagi, siang, dan malam. Tak lupa pula kucatat dalam bukuku, yang tebal ini, tentang senja jingga yang berhiaskan arak-arakan awan yang dilumuri sinar merah penghabisan. Senang sekali memenuhi bukuku dengan apa-apa yang ada di sekeliling.
"Kau harus mengenal tanahmu sendiri". Aku pun mencatat tentang tanah kampungku yang semakin hari semakin sempit. Bukan lantaran bumi ini yang menyempit, tapi tanah-tanah kampungku telah ditumbuhi tembok-tembok menjulang tinggi. Tembok itu bertumpuk-tumpuk serupa mainan puzzle yang tak selesai-selesai dibangun oleh anak seumuranku.
Di tanah yang menjulang tinggi, disebutnya dengan nama gunung. Lalu agak rendah sedikit disebutnya bukit. Tanah yang cekung, dinamainya jurang. Tapi tanah yang kuinjak sekarang, aku tak tahu. Apa ini bukit ataukah gunung. Aku belum mencoba mencari tahu dalam kamus ataupun pelajaran di sekolah.
Waw! Dari atas tanah ini bisa kulihat pabrik yang terlihat mungil di kejauhan. Jika malam hari, pabrik itu akan berhias lampu gemerlap, seakan menantang kerling mata ribuan bintang di langit. Juga menantang bulan yang kusebut sebagai si Mata Besar. Terkadang, malam-malam seperti itu, bulan sabit bak secuil kue roti yang lezat. Sayang, ini masih pagi dan gambaran itu tak tampak.
Tapi aku sudah pernah merasakah malam seperti itu. Beberapa hari yang lalu aku berdiri di sini malam hari. Angin bertiup cukup kencang membuat dingin terasa begitu nyata. Kepala kututup dengan kain syal rajutan benang, sekadar mengusir dingin. Mataku kubiarkan bebas menyapu alam, terutama gemerlap lampu dari pabrik yang terlihat mungil di ujung sana. Di langit, bulan separoh menggantung di langit. Tak lupa aku membawa buku catatanku.
Lalu mencatatlah aku tentang angin.
Angin. Kau bergerak dari ujung yang tak pernah diketahui. Menyapaku. Menepuk-nepuk kulitku. Kau akrab serupa sahabat lama yang tak bersua. Lama waktu yang dinanti, bukan lama yang terbuang. Kau kunamai semilir dengan rasa kasih sayang yang penuh. Sebagaimana seorang ibu menyerahkan jiwa-raganya pada anak tercintanya.
Terus terang, aku tak bisa menulis panjang. Tentang angin cukuplah aku menulis sampai di situ saja. Buku catatan kututup, lalu aku melangkahkan kaki meninggalkan tanah serupa bukit. Air sungai deras terdengar merdu di telinga. Belum pernah aku merasai suara merdu seindah kali ini.
Menuju rumahku, aku memang harus menyeberangi sungai. Semakin dekat ke sungai, merdu suara gemericik air semakin hilang digantikan deru air yang menabrak-nabrak batu besar. Ketika kaki menginjak batu di bibir sungai, yang kutemukan hanyalah kebisingan air yang menjerit-jerit, bukan merdu yang tadi.
“Hati-hatiii, airnya deras”. Suara berteriak itu beradu dengan air yang terus menjerit-jerit. Di sungai, kami memang harus saling berteriak. Di seberang sana, kulihat empat teman bermainku sedang menata sandalnya yang baru saja lepas. Mungkin teman-temanku baru pulang dari ladang. “Yaaa,” sahutku tak kalah keras. Tak lupa aku melemparkan senyum kepadanya.
Bagiku, menyeberangi sungai adalah sebuah pelajaran berharga tentang keseimbangan tubuh. Bagaimana tidak, jika sampai goyah sedikit, atau salah menginjak batu, maka tubuh kita akan tercebur ke air. Dan menyeberang sungai yang airnya deras juga serupa pelajaran mengarungi hidup yang serba keras. Nasihat itu kudapat dari seorang kakek yang menyelamatku saat aku terseret arus air sungai dan menabrak sebongkah batu.
Sesampai di seberang sungai, aku ingat dengan buku catatanku. Lalu mencatatlah aku tentang batu.
Batu. Di jalan, sebongkah batu akan membuat celaka orang yang melintas. Barang siapa menyingkirkan batu itu, maka dia akan mendapat kebaikan berlipat. Ketika batu berada di jari tangan, ia akan begitu berharga, digosok-gosok sampai mengkilap. Sama-sama batu kali, bisa punya nasib berbeda.
Di kampungku, batu seperti pohon. Tumbuh di sana-sini, menyembul dari tanah. Setahuku, batu-batu itu terlempar dari gunung. Tapi entah gunung apa, aku tak tahu. Aku menamai batu naga karena bentuknya mirip naga. Ada juga batu telur, karena bentuknya yang bulat seperti telur ayam. Lalu ada batu besar yang entah seperti apa bentuknya. Aku menamainya batu raksasa. Di atas batu itu, aku sering tiduran menikmati langit biru.
Aih, aku mulai mencatat lebih panjang. Itu berarti, aku mulai bisa mengenal alamku lebih akrab lagi. Senang sekali memikirkannya. Pengalaman pertama kali menulis di buku catatan, waktu itu tentang langit, aku hanya menulis satu kata: biru. Lalu beberapa hari kemudian, aku mencatat kalimat agak panjang tentang hujan. Kutulis begini: air tumpah dari langit, lalu disaring oleh malaikat, sehingga air yang turun ke bumi berupa rintik. Aku tersenyum.
Aku melangkah memunggungi sungai, melewati pematang sawah. Pematang itu berkelok-kelok serupa naga yang sedang terbang. Aku pun seperti berjalan di atas punggung naga. Kakiku berjingkat-jingkat, melompat-lompat kecil sambil bernyanyi tralala-trilili. Mendung mulai bergelantungan di langit, cahaya matahari meredup. Itu pertanda aku harus segera pulang. Kupegang buku catatanku dengan erat. Aku setengah berlari.
Sejujurnya, aku belum pernah melihat naga. Mungkin tidak akan pernah. Tapi aku selalu membayangkan naga itu gagah. Bunda beberapa kali berkisah tentang naga, ketika hendak menidurkanku. Naga yang setia menemani anak kecil menemukan mimpinya. Dengan kesabaran dan kerja keras, anak kecil itupun menggenggam mimpi itu, setelah melewati jembatan menuju langit. Ah, cerita yang menyenangkan, yang membuatku cepat terlelap.
“Hai peri kecil. Dari mana kamu?” Aku selalu suka dipanggil “peri kecil”.
Di penglihatanku, peri adalah bidadari cantik, memiliki tongkat ajaib, mengenakan baju yang indah-indah, dan juga bisa terbang.
“Ya Bunda. Aku dari atas”. Yang kumaksud dengan “atas” adalah gundukan tanah yang dari sana aku bisa melihat cerobong pabrik dan rumah-rumah yang tampak mungil.
Lelah sekali rasanya berjalan-jalan menyusuri alamku. Kucium tangan Bunda. Lalu aku berjalan menuju kamarku yang mungil. Dari belakang, aku mendengar Bunda berteriak “kubuatkan teh panas ya”. Kusahut dengan suara tak kalah nyaring “Ya, Bunda”.
Rumah sering membuatku bosan. Satu ruangan yang paling kusuka adalah kamarku sendiri. Sejak masuk sekolah esde, aku mendapat hadiah sebuah kamar. Kasurnya empuk, bantal bergambar Hello Kity, ada boneka Mr Bean, dan…satu lagi, sebuah buku catatan berwarna biru laut.
Buku catatan itu selalu kubawa. Aku mendapatkan dari Ayahku yang tak pandai menulis dan membaca. “Tapi kau jangan seperti ayah ya. Kau harus pandai menulis, menyukai membaca,” kata Ayahku suatu siang sambil menyerahkan buku catatan itu. Ayahku adalah petani yang begitu mencintai tanah.
Aku betah berlama-lama di dalam kamar seorang diri. Mencatat nama-nama. Maklum saja, kegemaranku adalah memberi nama pada apa saja yang ada di sekitarku. Dengan nama, seakan-akan semua menjadi lebih dekat denganku. Burung perkutut yang digantung di teras rumah, kuberi nama si Suara Merdu, karena suaranya memang merdu sekali. Kucing yang sering menggangguku saat aku makan, kuberi nama si Pengganggu karena ulahnya itu. Bahkan bunga melati yang mekar kuberi nama si Cantik Putih.
Kubuka jendela kamar. Terlihat dari kamarku, pohon-pohon jati bergoyang-goyang dimainkan angin. Gerimis mulai mengguyur. Beberapa orang tetangga berlarian menghindari air dari langit itu. “Hujan semakin deraaasss,” kata mereka entah kepada siapa. Sedang yang lain kulihat berjalan seperti biasa, berpayung selembar daun pisang.
Aku ingat, saat berjalan di pematang sawah menuju rumah, aku ingin menulis tentang pohon. Lalu kutulis tentang pohon di buku catatanku.
Pohon. Di kampungku paling banyak tumbuh adalah pohon jati. Pohon-pohon itu berdiri kokoh seperti barisan prajurit siap perang. Orang-orang kampung menebang pohon untuk keperluan membuat rumah. Jangan heran kalau di kampungku semua rumah terbuat dari kayu jati. Meja dari kayu jati. Kursi dari kayu jati. Bahkan, lantai juga ada yang dibuat dari kayu jati.
Sayang, kini jati kampungku banyak berkurang. Kata Bunda, jati itu ditebang sembarangan oleh orang-orang yang tak mencintai alam. Orang-orang yang tak mencintai hujan ataupun senja. Kini, satu demi satu kayu ditebang, bukan untuk rumah. Karena tak kulihat ada rumah baru setiap hari. Pohon-pohon itu seperti raib begitu saja dari kampungku. Aku tak pernah tahu.
Oh ya, aku memiliki pohon jati yang kutanam dengan tanganku sendiri. Dia kuberi nama si Jagoan. Keren kan? Si Jagoanku ini memang akan tumbuh besar kelak. Mungkin sebesar menara masjid yang menjulang tinggi. Baik-baik ya Jagoanku!
Lembar demi lembar halaman buku catatanku terisi oleh tulisan tanganku. Lega rasanya. Kuamati lagi catatan-catatanku itu. Sahabatku sudah banyak, pikirku. Apalagi ya? Aku sudah mencatat tentang langit, tanah, angin, hujan, batu, mendung, bulan, dan matahari. Semua sahabat baikku. Aku juga sudah menulis tentang mimpiku, tentang naga, bidadari, istana pangeran, dan surga.
Ketika pikiranku sibuk mencari-cari sahabat yang belum kucatat, Bunda masuk ke kamarku membawa segelas teh hangat dan roti bulat seperti bulan purnama. Aku menutup lekas-lekas buku catatanku. Maklum, rasa malu sering hinggap di diriku saat apa yang kurahasiakan hendak diketahui orang, meski orang itu adalah Bunda. Tapi aku menyukai Bunda, karena tidak memaksa membaca apa yang kutulis.
“Kenapa kau sembunyikan, peri kecil?”
“Tidak apa Bunda.”
“Oh, kau malu ya. Ya sudah, minum dulu tehnya. Mumpung masih hangat. Biar segar badanmu.”
Aku menyelipkan buku catatanku di bawah bantal. Teh hangat selalu menggoda selera. Bunda lalu keluar kamar untuk berbincang dengan Ayah yang baru saja tiba dari ladang.
Tak butuh waktu lama memindahkan teh itu dari gelas ke perutku. Lalu kuambil lagi buku catatanku. Aku ingat, siang ini aku hendak bertemu dengan Elang, teman bermainku. Kulihat langit mulai cerah. Bau tanah basah masih wangi. Aku setengah berlari keluar rumah hendak bertemu Elang.
“Hati-hatiiii,” teriak Ayah.
Aku berteriak “ya” sambil berlari. Aku kembali melewati pematang sawah. Burung srikatan berkicau riang. Satu sayapnya ada yang lepas dan jatuh melayang-layang sebelum akhirnya menyentuh tanah. Di kejauhan, aku melihat Elang melambai-lambaikan tangannya. Di tangannya, kulihat ada buku catatan berwarna jingga.
Bojonegoro, 4 November 2013
: buat prawoto, bunda dan malaikat kecilnya
__________________________________________________________
Penulis adalah pegiat Sindikat Baca, tinggal di Bojonegoro
(dimuat di Jawa Pos Radar Bojonegoro)