Minggu, 16 Februari 2014

Buku Catatan Peri Kecil

Oleh Nanang Fahrudin

Pagi ini, embun bergelantungan di ujung dedaunan. Kata orang, embun itu dibawa oleh bulan purnama tadi malam. Kucoba mengenali embun dengan keakraban seorang anak. Lalu kucatat sebagaimana aku mencatat apa-apa yang kukenal sebelumnya.

Alam ini indah. Lalu aku mencatat tentang pagi, siang, dan malam. Tak lupa pula kucatat dalam bukuku, yang tebal ini, tentang senja jingga yang berhiaskan arak-arakan awan yang dilumuri sinar merah penghabisan. Senang sekali memenuhi bukuku dengan apa-apa yang ada di sekeliling.

"Kau harus mengenal tanahmu sendiri". Aku pun mencatat tentang tanah kampungku yang semakin hari semakin sempit. Bukan lantaran bumi ini yang menyempit, tapi tanah-tanah kampungku telah ditumbuhi tembok-tembok menjulang tinggi. Tembok itu bertumpuk-tumpuk serupa mainan puzzle yang tak selesai-selesai dibangun oleh anak seumuranku.

Di tanah yang menjulang tinggi, disebutnya dengan nama gunung. Lalu agak rendah sedikit disebutnya bukit. Tanah yang cekung, dinamainya jurang. Tapi tanah yang kuinjak sekarang, aku tak tahu. Apa ini bukit ataukah gunung. Aku belum mencoba mencari tahu dalam kamus ataupun pelajaran di sekolah.

Waw!  Dari atas tanah ini bisa kulihat pabrik yang terlihat mungil di kejauhan. Jika malam hari, pabrik itu akan berhias lampu gemerlap, seakan menantang kerling mata ribuan bintang di langit. Juga menantang bulan yang kusebut sebagai si Mata Besar. Terkadang, malam-malam seperti itu, bulan sabit bak secuil kue roti yang lezat. Sayang, ini masih pagi dan gambaran itu tak tampak.

Tapi aku sudah pernah merasakah malam seperti itu. Beberapa hari yang lalu aku berdiri di sini malam hari. Angin bertiup cukup kencang membuat dingin terasa begitu nyata. Kepala kututup dengan kain syal rajutan benang, sekadar mengusir dingin. Mataku kubiarkan bebas menyapu alam, terutama gemerlap lampu dari pabrik yang terlihat mungil di ujung sana. Di langit, bulan separoh menggantung di langit.  Tak lupa aku membawa buku catatanku.

Lalu mencatatlah aku tentang angin.

Angin. Kau bergerak dari ujung yang tak pernah diketahui. Menyapaku. Menepuk-nepuk kulitku. Kau akrab serupa sahabat lama yang tak bersua.  Lama waktu yang dinanti, bukan lama yang terbuang. Kau kunamai semilir dengan rasa kasih sayang yang penuh. Sebagaimana seorang ibu menyerahkan jiwa-raganya pada anak tercintanya. 

Terus terang, aku tak bisa menulis panjang. Tentang angin cukuplah aku menulis sampai di situ saja. Buku catatan kututup, lalu aku melangkahkan kaki meninggalkan tanah serupa bukit. Air sungai deras terdengar merdu di telinga. Belum pernah aku merasai suara merdu seindah kali ini.

Menuju rumahku, aku memang harus menyeberangi sungai. Semakin dekat ke sungai, merdu suara gemericik air semakin hilang digantikan deru air yang menabrak-nabrak batu besar. Ketika kaki menginjak batu di bibir sungai, yang kutemukan hanyalah kebisingan air yang menjerit-jerit, bukan merdu yang tadi.

“Hati-hatiii, airnya deras”. Suara berteriak itu beradu dengan air yang terus menjerit-jerit. Di sungai, kami memang harus saling berteriak. Di seberang sana, kulihat empat teman bermainku sedang menata sandalnya yang baru saja lepas. Mungkin teman-temanku baru pulang dari ladang. “Yaaa,” sahutku tak kalah keras. Tak lupa aku melemparkan senyum kepadanya.

Bagiku, menyeberangi sungai adalah sebuah pelajaran berharga tentang keseimbangan tubuh. Bagaimana tidak, jika sampai goyah sedikit, atau salah menginjak batu, maka tubuh kita akan tercebur ke air. Dan menyeberang sungai yang airnya deras juga serupa pelajaran mengarungi hidup yang serba keras. Nasihat itu kudapat dari seorang kakek yang menyelamatku saat aku terseret arus air sungai dan menabrak sebongkah batu.

Sesampai di seberang sungai, aku ingat dengan buku catatanku. Lalu mencatatlah aku tentang batu.

Batu. Di jalan, sebongkah batu akan membuat celaka orang yang melintas. Barang siapa menyingkirkan batu itu, maka dia akan mendapat kebaikan berlipat. Ketika batu berada di jari tangan, ia akan begitu berharga, digosok-gosok sampai mengkilap. Sama-sama batu kali, bisa punya nasib berbeda.

Di kampungku, batu seperti pohon. Tumbuh di sana-sini, menyembul dari tanah. Setahuku, batu-batu itu terlempar dari gunung. Tapi entah gunung apa, aku tak tahu. Aku menamai batu naga karena bentuknya mirip naga. Ada juga batu telur, karena bentuknya yang bulat seperti telur ayam. Lalu ada batu besar yang entah seperti apa bentuknya. Aku menamainya batu raksasa. Di atas batu itu, aku sering tiduran menikmati langit biru.

Aih, aku mulai mencatat lebih panjang. Itu berarti, aku mulai bisa mengenal alamku lebih akrab lagi. Senang sekali memikirkannya. Pengalaman pertama kali menulis di buku catatan, waktu itu tentang langit, aku hanya menulis satu kata: biru. Lalu beberapa hari kemudian, aku mencatat kalimat agak panjang tentang hujan. Kutulis begini: air tumpah dari langit, lalu disaring oleh malaikat, sehingga air yang turun ke bumi berupa rintik. Aku tersenyum.

Aku melangkah memunggungi sungai, melewati pematang sawah. Pematang itu berkelok-kelok serupa naga yang sedang terbang. Aku pun seperti berjalan di atas punggung naga. Kakiku berjingkat-jingkat, melompat-lompat kecil sambil bernyanyi tralala-trilili. Mendung mulai bergelantungan di langit, cahaya matahari meredup. Itu pertanda aku harus segera pulang. Kupegang buku catatanku dengan erat. Aku setengah berlari.

Sejujurnya, aku belum pernah melihat naga. Mungkin tidak akan pernah. Tapi aku selalu membayangkan naga itu gagah. Bunda beberapa kali berkisah tentang naga, ketika hendak menidurkanku. Naga yang setia menemani anak kecil menemukan mimpinya. Dengan kesabaran dan kerja keras, anak kecil itupun menggenggam mimpi itu, setelah melewati jembatan menuju langit. Ah, cerita yang menyenangkan, yang membuatku cepat terlelap.

“Hai peri kecil. Dari mana kamu?” Aku selalu suka dipanggil “peri kecil”.

Di penglihatanku, peri adalah bidadari cantik, memiliki tongkat ajaib, mengenakan baju yang indah-indah, dan juga bisa terbang.

“Ya Bunda. Aku dari atas”.  Yang kumaksud dengan “atas” adalah gundukan tanah yang dari sana aku bisa melihat cerobong pabrik dan rumah-rumah yang tampak mungil.

Lelah sekali rasanya berjalan-jalan menyusuri alamku. Kucium tangan Bunda. Lalu aku berjalan menuju kamarku yang mungil. Dari belakang, aku mendengar Bunda berteriak “kubuatkan teh panas ya”. Kusahut dengan suara tak kalah nyaring “Ya, Bunda”.

Rumah sering membuatku bosan. Satu ruangan yang paling kusuka adalah kamarku sendiri. Sejak masuk sekolah esde, aku mendapat hadiah sebuah kamar. Kasurnya empuk, bantal bergambar Hello Kity, ada boneka Mr Bean, dan…satu lagi, sebuah buku catatan berwarna biru laut.

Buku catatan itu selalu kubawa. Aku mendapatkan dari Ayahku yang tak pandai menulis dan membaca. “Tapi kau jangan seperti ayah ya. Kau harus pandai menulis, menyukai membaca,” kata Ayahku suatu siang sambil menyerahkan buku catatan itu. Ayahku adalah petani yang begitu mencintai tanah.

Aku betah berlama-lama di dalam kamar seorang diri. Mencatat nama-nama. Maklum saja, kegemaranku adalah memberi nama pada apa saja yang ada di sekitarku. Dengan nama, seakan-akan semua menjadi lebih dekat denganku. Burung perkutut yang digantung di teras rumah, kuberi nama si Suara Merdu, karena suaranya memang merdu sekali. Kucing yang sering menggangguku saat aku makan, kuberi nama si Pengganggu karena ulahnya itu. Bahkan bunga melati yang mekar kuberi nama si Cantik Putih.

Kubuka jendela kamar. Terlihat dari kamarku, pohon-pohon jati bergoyang-goyang dimainkan angin. Gerimis mulai mengguyur. Beberapa orang tetangga berlarian menghindari air dari langit itu. “Hujan semakin deraaasss,” kata mereka entah kepada siapa. Sedang yang lain kulihat berjalan seperti biasa, berpayung selembar daun pisang.

Aku ingat, saat berjalan di pematang sawah menuju rumah, aku ingin menulis tentang pohon. Lalu kutulis tentang pohon di buku catatanku.

Pohon. Di kampungku paling banyak tumbuh adalah pohon jati. Pohon-pohon itu berdiri kokoh seperti barisan prajurit siap perang. Orang-orang kampung menebang pohon untuk keperluan membuat rumah. Jangan heran kalau di kampungku semua rumah terbuat dari kayu jati. Meja dari kayu jati. Kursi dari kayu jati. Bahkan, lantai juga ada yang dibuat dari kayu jati.

Sayang, kini jati kampungku banyak berkurang. Kata Bunda, jati itu ditebang sembarangan oleh orang-orang yang tak mencintai alam. Orang-orang yang tak mencintai hujan ataupun senja. Kini, satu demi satu kayu ditebang, bukan untuk rumah. Karena tak kulihat ada rumah baru setiap hari. Pohon-pohon itu seperti raib begitu saja dari kampungku. Aku tak pernah tahu.

Oh ya, aku memiliki pohon jati yang kutanam dengan tanganku sendiri. Dia kuberi nama si Jagoan. Keren kan? Si Jagoanku ini memang akan tumbuh besar kelak. Mungkin sebesar menara masjid yang menjulang tinggi. Baik-baik ya Jagoanku!

Lembar demi lembar halaman buku catatanku terisi oleh tulisan tanganku. Lega rasanya. Kuamati lagi catatan-catatanku itu. Sahabatku sudah banyak, pikirku. Apalagi ya? Aku sudah mencatat tentang langit, tanah, angin, hujan, batu, mendung, bulan, dan matahari. Semua sahabat baikku. Aku juga sudah menulis tentang mimpiku, tentang naga, bidadari, istana pangeran, dan surga.

Ketika pikiranku sibuk mencari-cari sahabat yang belum kucatat, Bunda masuk ke kamarku membawa segelas teh hangat dan roti bulat seperti bulan purnama. Aku menutup lekas-lekas buku catatanku. Maklum, rasa malu sering hinggap di diriku saat apa yang kurahasiakan hendak diketahui orang, meski orang itu adalah Bunda. Tapi aku menyukai Bunda, karena tidak memaksa membaca apa yang kutulis.

“Kenapa kau sembunyikan, peri kecil?”

“Tidak apa Bunda.”

“Oh, kau malu ya. Ya sudah, minum dulu tehnya. Mumpung masih hangat. Biar segar badanmu.”

Aku menyelipkan buku catatanku di bawah bantal. Teh hangat selalu menggoda selera. Bunda lalu keluar kamar untuk berbincang dengan Ayah yang baru saja tiba dari ladang.

Tak butuh waktu lama memindahkan teh itu dari gelas ke perutku. Lalu kuambil lagi buku catatanku. Aku ingat, siang ini aku hendak bertemu dengan Elang, teman bermainku. Kulihat langit mulai cerah. Bau tanah basah masih wangi. Aku setengah berlari keluar rumah hendak bertemu Elang.

“Hati-hatiiii,” teriak Ayah.

Aku berteriak “ya” sambil berlari. Aku kembali melewati pematang sawah. Burung srikatan berkicau riang. Satu sayapnya ada yang lepas dan jatuh melayang-layang sebelum akhirnya menyentuh tanah. Di kejauhan, aku melihat Elang melambai-lambaikan tangannya. Di tangannya, kulihat ada buku catatan berwarna jingga.

Bojonegoro, 4 November 2013
: buat prawoto, bunda dan malaikat kecilnya

__________________________________________________________
Penulis adalah pegiat Sindikat Baca, tinggal di Bojonegoro
(dimuat di Jawa Pos Radar Bojonegoro)

Selasa, 11 Februari 2014

Untuk Apa Membaca Buku-buku Pramoedya?

(Dimuat di Jawa Pos Radar Bojonegoro, 10 Februari 2014)

Oleh Nanang Fahrudin

Ada satu jasa Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) bagi Bojonegoro yang tak bisa dibantah. Yakni Pram mengenalkan Tirto Adhie Soerjo, bapak pers nasional yang kelahiran Blora namun menghabiskan masa kecilnya di Bojonegoro. Tirto Adhie Soerjo adalah cucu Bupati Bojonegoro RM Tirtonoto I.

Pram menulis tentang Tirto Adhie Soerjo dalam beberapa bukunya, di antaranya empat buku yang  dikenal sebagai tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca). Juga menulis satu buku berjudul Sang Pemula yang merujuk pada tokoh pergerakan Tirto Adhie Soerjo. Lima buku karya Pram tersebut menunjukkan betapa ia mengagumi Sang Pemula itu.

Dari karya-karya itulah kita bisa mengetahui bahwa Bojonegoro memiliki hubungan erat dengan tokoh pergerakan nasional. Dan seandainya Pram tak menulis lima buku itu, kemungkinan besar masyarakat luas tak banyak yang mengetahui bahwa Tirto Adhie Soerjo adalah cucu Bupati Bojonegoro. Selain itu, Pram adalah kelahiranBlora-JawaTengah, yang dekat dengan Bojonegoro.

Namun, hubungan “akrab” antara Pram dan Bojonegoro bukanlah alasan satu-satunya bagi generasi sekarang di Bojonegoro untuk membacai karya-karya Pram. Namun, yang lebih penting adalah semangat keberanian Pram untuk menentang ketidakadilan. Yang itu dibuktikan dengan menghabiskan masa 18 tahun dalam “penjara”. Yakni 3 tahun di masa kolonial, 1 tahun masa Orde Lama dan 14 tahun pada masa Orde Baru. Apalagi Pram beberapa kali disebut sebagai kandidat peraih Nobel Sastra.

Sayang, Pramoedya sampai saat ini, belum begitu akrab bagi sebagian kalangan di Bojonegoro. Apalagi, bagi pembaca sastra yang masih saja dibayang-bayangi oleh sastra era 1965. Meski kita harus membuka mata, bahwa banyak pembaca sastra yang kritis, yang mampu menempatkan karya sastra pada tempatnya.

Buku-buku Pram

Bagi pembaca/kolektor buku-buku sastra Indonesia, karya Pramoedya masih menjadi salah satu buku yang banyak diburu. Tak hanya buku sastra karya Pram saja yang diburu, tapi buku-buku non fiksi pun banyak dicari. Tak heran jika harga buku karyanya selalu melambung, menyesuaikan tahun terbit. Semakin tua usia buku tersebut, semakin mahal harganya. Apalagi, sebagian karyanya tak lagi cetak ulang. Al hasil, buku bajakannya pun membanjiri pasar.

Sebagai ilustrasi saja, buku Arus Balik, Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara di Awal Abad 16, yang dicetak pertama kali tahun 1995, harganya berkisar ratusan ribu rupiah. Bahkan, ada penjual buku yang melelang buku ini dengan harga terakhir mencapai Rp550.000. Harga buku-buku Pram lain tak kalah mahalnya. Dan sebagian besar, harga-harga itu menjadi tidak wajar bagi sebuah “buku”dan sudah berubah menjadi “barang langka”. Saya beruntung mendapatkan buku Arus Balik dengan harga hanya Rp90.000. Buku Hoa Kiau di Indonesia yang dicetak Bintang Press tahun 1960, yang berisi tentang sejarah masyarakat Tionghoa di Indonesia ini, juga dijual di pasar buku kuno dengan harga lumayan tinggi. Saya mendapatkannya dengan harga “murah” yakni Rp150.000.

Tak hanya buku karya Pramodya sendiri yang harganya selangit. Beberapa buku karya penulis luar negeri yang diterjemahkan oleh Pram juga banyak diburu. Sebut saja buku Ibunda karya Maxim Gorki juga dipatok harga selangit, terutama sebelum diterbitkan oleh Kalyanamitra yakni sekitar Rp300.000. Beruntung buku Ibunda ini sekarang relatif mudah didapat dengan harga dibawah Rp100.000.

Energi Besar Pram

Lalu untuk apa membaca karya-karya Pram sekarang? Memang sulit jika hendak membuat alasan yang runtut guna memjawab pertanyaan itu. Dan terkadang alasan itu tidaklah begitu penting, yakni ketika banyak penulis sastra yang juga menggotong isu ketidakadilan. Ketidakadilan dalam rupa apapun, baik rupa negara, manusia, agama, ras, dan lain-lain.

Pram, melalui karya-karyanya, memang berupaya membuat sebuah kesadaran baru akan makna kemanusiaan. Karya-karya Pram, terutama yang non fiksi, banyak menggunakan kalimat-kalimat lugas yang langsung menyerang siapa saja yang dianggap tak adil. Sebut saja buku Hoa Kiau di Indonesia yang menyerang pajabat-pejabat orde lama yang menerbitkan PP nomor 10 tahun 1959.  Dalam buku itu Pram menunjukkan betapa besar kontribusi masyarakat Tionghoa mulai zaman Majapahit hingga masa Indonesia merdeka.

Dalam dunia literasi, Pram adalah energi besar yang tak pernah padam. Ia mencatat dan mengkliping guntingan koran dengan sangat telaten. Tak mengherankan jika Pram pernah merencanakan membuat eksiklopedi sejarah Indonesia. Namun, sayang usahanya itu kandas setelah banyak buku dan klipingan korannya dihilangkan.

Pada tahun 2011 silam, saya pernah bertemu dengan seorang teman Pram yang sama-sama berada di Pulau Buru, yakni Oei Hiem Hwie. Pak Hiem memiliki perpustakaan Medayu Agung di Surabaya. Dia menceritakan betapa energi besar Pram saat menyusun karya-karyanya di Pulau Buru, di sela-sela kerja paksa dan penyiksaan di pulau terpencil itu.

Pak Hiem sendiri ikut menyelamatkan naskah tulisan tangan Bumi Manusia yang sampai saat ini masih tersimpan di perpustakaan Medayu Agung. Menurut Pak Hiem, naskah itu dihadiahkan Pram kepadanya, sedang Pram sendiri mengambil fotocopiannya, sebalum akhirnya dicetak dalam bentuk buku.

Ah, sudahlah. Membincang sosok Pramoedya memang seperti tak ada habisnya. Meski demikian, tak perlu kita menjadi pecinta Pram yang membabi-buta. Tapi cukup menempatkannya sebagaimana mestinya. Bahkan, perlu juga kita membandingkannya dengan karya-karya sastrawan Indonesia yang tidak sejalan dengan Pram.

Dalam rangka ulang tahun hari kelahiran Pramoedya tanggal 6 Pebruari 1925, tak ada salahnya kita kembali menapaki karya-karyanya. Menggenggam semangatnya. Tulisan pendek ini sekadar usaha kecil untuk mengingatkan ada tokoh penting bernama Pramoedya Ananta Toer. Dan untuk apa membaca buku-buku Pram? Ada baiknya Anda membaca lebih dulu, lalu menjawabnya. Salam.

Penulis adalah pembaca karya Pramoedya, pegiat Sindikat Baca di Bojonegoro 

_________________
Foto Pramoedya diambil dari http://lindazuarnum.wordpress.com/

Jumat, 31 Januari 2014

Kisahkan Lagi padaku tentang Desa Po-on


Oleh Nanang Fahrudin

Pertemuanku dengan buku ini sekarang, bukanlah pertemua pertama. Dulu, ketika masih di Jakarta (sekitar 2011), aku melihatnya terselip di antara ribuan buku di salah satu rak toko buku TIM. Tapi, uang selalu membikin banyak perpisahan. Termasuk hubunganku dengan buku itu.

Hari itu, aku hanya memegangnya saja. Sebuah Desa Bernama Po-on. Begitulah judul buku yang dikarang F. Sionil Jose. Po-on adalah kata yang unik, yang tak kutahu apa maknanya. Aku hanya memahami Po-on adalah sebuah desa, sebuah tempat di bagian entah mana di negeri Filipina. Apa benar-benar ada? Tentu aku juga tak tahu. Seperti Dukuh Paruk, asal ronggeng bernama Srintil yang dikarang Ahmad Tohari.

Tapi, sebagaimana yang saya percayai bahwa buku akan selalu bertemu dengan jodohnya. Dan aku pun akhirnya berjodoh. Belum lama ini, seorang kawan memiliki buku itu. Sedang pemiliknya mengincar salah satu buku koleksiku. Maklum, kami sama-sama penjual buku bekas. Lalu, barter buku pun jadi. Buku Po-on berpindah ke tanganku. Jadilah kini ia dalam keluarga besarku. Keluarga besar? Oh maaf, seringkali aku memaknai buku tak sekadar “buku”. (Anda boleh mengatakan itu omong kosong).

****


Ok. Sekarang marilah kita menuju ke Desa Po-on, sebuah desa miskin yang dihuni oleh orang-orang yang buta huruf. Desa itu hanya didiami beberapa rumah saja, yang sebagian besar adalah keluarga Ba-ac. Penduduknya menggarap sawah milik seorang pastor, wakil Spanyol yang menguasai negeri Filipina. Tanah adalah milik negara,  yang sewaktu-waktu bisa diberikan kepada petani lain.

Di antara penduduk Po-on ada satu orang yang berbeda. Dia adalah Eustaquio Salvador atau Istak. Dia murid Romo Jose yang bijaksana dan menjadi pembantunya di gereja. Room Jose sangat menyayanginya, dan diajarinya ilmu botani, ilmu falak, dan juga diajarinya membaca dan menulis bahasa Spanyol dan Latin. Tapi Romo Jose terlalu tua untuk terus berada di gereja. Dia digantikan oleh pastor muda Romo Zarraga.

Tapi Istak pada suatu hari harus menerima kenyataan bahwa ia diusir dari “sekolah” nya. Itu setelah ia tak sengaja mengetahui hubungan romo muda itu dengan perempuan, anak Kapten Berong. Dan petaka itu barulah permulaan bagi Istak dan Po-on. Karena setelah itu, penduduk diusir dari Po-on karena dianggap tidak bisa menggarap sawahnya dengan baik.

Ba-ac, ayah Istak, yang merupakan orang paling tua di Po-on suatu hari mengharap pastor muda berkebangsaan Spanyol itu. Ia memohon agar warga tetap diizinkan tinggal. Tapi, orang tua itu ditendang oleh romo yang usianya sebaya anaknya itu. Ba-ac yang miskin itu pun heran, kenapa orang yang dianggapnya suci memiliki kebengisan yang begitu rupa.

Hanya dalam hitungan menit, Ba-ac merampas sesuatu dari tembaga yang dipegang romo itu. Dipukulkan berkali-kali ke  wajah romo hingga remuk. Dia lalu meninggalkan gereja itu sebagaimana dia berjalan tenang saat masuk gereja. Tapi, setelah jauh dari gereja, ia berlari kencang, kencang sekali hingga sampai ke Po-on. Di sini, dia langsung meminta seluruh penduduk untuk bersiap-siap untuk pindah. Pasukan keamanan Spanyol pasti sebentar lagi mengejar.

Dan itulah petaka selanjutnya. Mereka menggunakan beberapa cikar berjalan dan berjalan sebagai pelarian, untuk menemukan tanah baru, menghindari kematian. Dalam perjalanan Ba-ac mati dililit ularsanca, dan Manyang (istrinya) hanyut dibawa arus sungai saat berusaha menyeberang.

Dalam pelarian itulah tergambar bagaimana pendiduk dari Po-on itu bertahan hidup. Istak tertembak pasukan dan harus dirawat dalam perjalanan. Pengetahuannya tentang ilmu pengobatan dari Romo Jose membantu menyelamatkan nyawanya sendiri. Karena saat tak sadarkan diri, ia terus mengigau tentang apa yang harus dilakukan untuk menyembuhkan orang sakit seperti dirinya.

Dan…ah, aku tak kan mampu menceritakan ulang sebaik pengarangnya, tentang kelanjutan kisah Istak dan penduduk Po-on lainnya yang melarikan diri. Istak akhirnya menikah dengan Dalin, yang menyelamatkannya. Rombongan itu sampailah di tanah Rosales, setelah diberi kemurahan oleh Don Jacinto. Akhirnya sepuluh tahun mereka hidup tenang di tanah baru yang mereka beri nama Cabugawan. Bukan lagi bernama Po-on.

Singkat kisah, Istak menjadi dukun karena mampu menyembuhkan banyak warga Cabugawan dan warga desa lainnya.

Kisah kembali menegangkan ketika Istak diminta memberi pesan untuk Presiden dan pejuang Filipina ketika dalam pengejaran tentara Amerika. Amerika mengusir Spanyol, dan menjadi penjajah baru di tanah itu. Istak lalu ikut berperang di Gunung Tirad yang heroik. Dia akhirnya tak kembali ke Cabugawan, berkumpul dengan keluarganya.

Buku catatan Istak masih ada di medan perang bersama mayatnya dan mayat-mayat pejuang. Dan catatan itulah yang menjadikan cerita dalam buku ini “ada”.  Buku catatan yang ditulis Istak itu berbunyi: “Penaklukan dengan kekerasan tidaklah direstui oleh Tuhan. Orang Amerika itu tidak mempunyai hak untuk datang kemari. Kita akan mengalahkan mereka pada akhirnya, karena tanah yang mereka rampas adalah hak milik kami. Tuhan menciptakannya untuk kami. Sejarah umat manusia membuktikan iman adalah kekal, sedang besi baja habis dimakan karat”. (hal:427)

***

Kau mungkin akan membandingkan karya ini dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, terutama karya tertralogi Buru. Dan begitu juga denganku. Apalagi Sionil Jose adalah pemenang hadiah Ramon Magsaysay tahun 1980, dan Pramoedya menerima penghargaan serupa pada tahun 1995.

Dalam “Sebuah Desa Bernama Po-on” memang digambarkan bagaimana nasionalisme awal mulai terbentuk di kalangan masyarakat pribumi. Hal itu pun akan mudah kita bandingkan dengan karya-karya Pramoedya yang mengambil tema nasionalisme.

Dan jika kau sewaktu-waktu membaca karya ini, ceritakanlah padaku tentang desa Po-on sekali lagi dan sekali lagi. Aku tak kan pernah bosan mendengar kisahnya. Salam.

Bojonegoro, 1 Februari 2014

Jumat, 10 Januari 2014

Tak Sekadar Tentang Suku yang Musnah

Catatan Pendek Buku Suku Mohawk Tumpas karya Fenimore Cooper

Oleh Nanang Fahrudin

Mari iseng-iseng menyandingkan dua buku, meletakkannya di atas meja. Buku pertama Suku Mohawk Tumpas karya Fenimore Cooper.  Dan kedua adalah buku Pasang Naik Kulit Berwarna karya L. Stoddard. Ada satu hal yang sama-sama hendak ditunjukkan oleh dua buku itu, yakni tentang rasisme. Yakni bahwa ras manusia kulit putih menguasai ras kulit berwarna sejak zaman dulu.

Jika catatan ini nantinya dicap sebagai catatan rasis, tidak jadi masalah. Saya hanya menjaring apa yang sewajarnya saya jaring, setelah membaca buku itu.  Di buku Pasang Naik Kulit Berwarna, L. Stoddard ditempatkan beberapa bab sesuai dengan warna kulit manusia, yakni kulit kuning, coklat, hitam dan merah. Empat warna kulit itu di luar kulit putih yang dianggap ras paling hebat. Stoddrard mencatat hanya sedikit negara yang dibawah pemerintahan kulit berwarna. Sebagian besar dikuasai oleh orang-orang kulit putih.
Bab tentang orang kulit merah (yang edisi bahasa Indonesia) ditulis mulai halaman 110 hingga halaman 142. 

Dicatat, negeri orang kulit merah adalah bagian benua America antara Rio Grande dan daerah tropis Capricorn. Di sinilah ras Amer-Indian. Pada masa Colombus seluruh bumi bagian barat adalah milik ras kulit merah. Tapi orang-orang kulit putih mendesak mereka. Dan sekarang Amerika Serikat dan Kanada serta negara-negara bagian selatan Amerika Selatan dikuasai kulit putih. (hal: 110).

Nah, menyambung bab orang kulit merah itu, saya hendak mengajak Anda menelusuri jejak masyarakat Indian. Tapi bukan dari buku sejarah, melainkan dari sebuah karya sastra karya Fenimore Cooper. Dikisahkan perjalanan dua orang Suku Mohawk yang penghabisan. Dua orang itu adalah ayah-anak. Mereka tercerai berai akibat peperangan antara Inggris dan Prancis. Suku-suku di Indian banyak terpecah, sebagian memihak Inggris dan sebagian memihak Prancis.

Dari sekian banyak suku, fokus cerita adalah Suku Mohawk yang merupakan bagian Suku Delawar yang lebih dekat dengan Inggris. Dan orang-orang Huron lebih dekat dengan Prancis. Perselisihan antara Suku Huron dan Suku Mohawk menjadi kisah yang mendebarkan. Peperangan dan muslihat saling silang dalam kisah yang selalu mengundang rasa penasaran. Latar cerita yakni hutan, gunung, sungai, danau, bebatuan cadas, membuat pembaca benar-benar berada di alam tempo dulu.  Peperangan dua suku Indian di sungai, mendayung perahu dengan cepat untuk menghindari musuh, hingga kebiasaan orang Indian mengupas kulit kepala musuhnya, bisa membuat kita terheran-heran.

Jika disederhanakan kisahnya beginilah jadinya: Alice dan Cora hendak mengunjungi ayahnya Kolonel Munro, pimpinan prajurit Inggris yang berada di benteng William Henry, jauh di tengah hutan. Tapi sayang, rombongan yang dipimpin Mayor Heyward  dikelabuhi orang Huron, Migua. Mereka hendak ditumpas oleh orang-orang Huron, karena Migua memiliki dendam kepada Munro.

Beruntung mereka diselamatkan oleh dua orang Suku Mohawk, yakni Chingachgook dan anaknya, Uncas, dan seorang pemburu kulit putih bernama Hawk-eye. Orang-orang Huron yang terus berusaha menawan rombongan di satu sisi dan orang-orang Mohawk yang hendak melindungi rombongan, menjadi cerita mendebarkan. Jalan cerita agak rumit ketika Benteng William Henry takluk pada prajurit Prancis.

Kolonel Munro yang hendak pulang setelah prajuritnya takluk, harus mencari dua anak gadisnya. Pencarian dilakukan siang dan malam. Singkat cnnerita, peperangan suku meluas karena induk Mohawk yakni Suku Delawar ikut berperang. Cora akhirnya mati. Uncas juga mati di tangan Migua. Lalu Migua dibunuh oleh Hawk-eye. Kisah ditutup dengan penguburan Cora dan Uncas. Uncas ternyata adalah pemuda terakhir dari keturunan Suku Mohawk, yang di dadanya ada tato seekor penyu.

Hmm….tentu selalu lebih menarik membaca bukunya langsung kawan!

Buku terbitan tahun 1949 (masih ejaan lama) saya beli tidak sengaja di lapak buku bekas di Surabaya. Sebelumnya saya belum pernah mendengar, memegang, apalagi membaca buku ini. Maklum, pengetahuan saya tentang buku (apalagi buku lama) masih hijau. Saya baru tahu kalau buku itu masuk rak sastra setelah ada tulisan “terdjemahaan Abdoel Moeis”. Tetttt….langsung saja saya beli.

Membaca buku ini serasa bertanya kembali soal “rasisme” yang lama tak pernah saya pertanyakan lagi. Dalam perkembangan manusia, ternyata selalu ada yang tumpas. Salah satunya adalah ras manusia Suku Mohawk. Dan yang tersisa ternyata adalah (hanya) gaya rambutnya, gaya rambut Mohawk. Haduh…!!! Salam.

Bojonegoro, 6 Nopember 2013
 
© Copyright 2035 godongpring