Ada satu jasa Pramoedya Ananta Toer (1925-2006) bagi Bojonegoro yang tak bisa dibantah. Yakni Pram mengenalkan Tirto Adhie Soerjo, bapak pers nasional yang kelahiran Blora namun menghabiskan masa kecilnya di Bojonegoro. Tirto Adhie Soerjo adalah cucu Bupati Bojonegoro RM Tirtonoto I.
Pram menulis tentang Tirto Adhie Soerjo dalam beberapa bukunya, di antaranya empat buku yang dikenal sebagai tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca). Juga menulis satu buku berjudul Sang Pemula yang merujuk pada tokoh pergerakan Tirto Adhie Soerjo. Lima buku karya Pram tersebut menunjukkan betapa ia mengagumi Sang Pemula itu.
Dari karya-karya itulah kita bisa mengetahui bahwa Bojonegoro memiliki hubungan erat dengan tokoh pergerakan nasional. Dan seandainya Pram tak menulis lima buku itu, kemungkinan besar masyarakat luas tak banyak yang mengetahui bahwa Tirto Adhie Soerjo adalah cucu Bupati Bojonegoro. Selain itu, Pram adalah kelahiranBlora-JawaTengah, yang dekat dengan Bojonegoro.
Namun, hubungan “akrab” antara Pram dan Bojonegoro bukanlah alasan satu-satunya bagi generasi sekarang di Bojonegoro untuk membacai karya-karya Pram. Namun, yang lebih penting adalah semangat keberanian Pram untuk menentang ketidakadilan. Yang itu dibuktikan dengan menghabiskan masa 18 tahun dalam “penjara”. Yakni 3 tahun di masa kolonial, 1 tahun masa Orde Lama dan 14 tahun pada masa Orde Baru. Apalagi Pram beberapa kali disebut sebagai kandidat peraih Nobel Sastra.
Sayang, Pramoedya sampai saat ini, belum begitu akrab bagi sebagian kalangan di Bojonegoro. Apalagi, bagi pembaca sastra yang masih saja dibayang-bayangi oleh sastra era 1965. Meski kita harus membuka mata, bahwa banyak pembaca sastra yang kritis, yang mampu menempatkan karya sastra pada tempatnya.
Buku-buku Pram
Bagi pembaca/kolektor buku-buku sastra Indonesia, karya Pramoedya masih menjadi salah satu buku yang banyak diburu. Tak hanya buku sastra karya Pram saja yang diburu, tapi buku-buku non fiksi pun banyak dicari. Tak heran jika harga buku karyanya selalu melambung, menyesuaikan tahun terbit. Semakin tua usia buku tersebut, semakin mahal harganya. Apalagi, sebagian karyanya tak lagi cetak ulang. Al hasil, buku bajakannya pun membanjiri pasar.
Sebagai ilustrasi saja, buku Arus Balik, Sebuah Epos Pasca Kejayaan Nusantara di Awal Abad 16, yang dicetak pertama kali tahun 1995, harganya berkisar ratusan ribu rupiah. Bahkan, ada penjual buku yang melelang buku ini dengan harga terakhir mencapai Rp550.000. Harga buku-buku Pram lain tak kalah mahalnya. Dan sebagian besar, harga-harga itu menjadi tidak wajar bagi sebuah “buku”dan sudah berubah menjadi “barang langka”. Saya beruntung mendapatkan buku Arus Balik dengan harga hanya Rp90.000. Buku Hoa Kiau di Indonesia yang dicetak Bintang Press tahun 1960, yang berisi tentang sejarah masyarakat Tionghoa di Indonesia ini, juga dijual di pasar buku kuno dengan harga lumayan tinggi. Saya mendapatkannya dengan harga “murah” yakni Rp150.000.
Tak hanya buku karya Pramodya sendiri yang harganya selangit. Beberapa buku karya penulis luar negeri yang diterjemahkan oleh Pram juga banyak diburu. Sebut saja buku Ibunda karya Maxim Gorki juga dipatok harga selangit, terutama sebelum diterbitkan oleh Kalyanamitra yakni sekitar Rp300.000. Beruntung buku Ibunda ini sekarang relatif mudah didapat dengan harga dibawah Rp100.000.
Energi Besar Pram
Lalu untuk apa membaca karya-karya Pram sekarang? Memang sulit jika hendak membuat alasan yang runtut guna memjawab pertanyaan itu. Dan terkadang alasan itu tidaklah begitu penting, yakni ketika banyak penulis sastra yang juga menggotong isu ketidakadilan. Ketidakadilan dalam rupa apapun, baik rupa negara, manusia, agama, ras, dan lain-lain.
Pram, melalui karya-karyanya, memang berupaya membuat sebuah kesadaran baru akan makna kemanusiaan. Karya-karya Pram, terutama yang non fiksi, banyak menggunakan kalimat-kalimat lugas yang langsung menyerang siapa saja yang dianggap tak adil. Sebut saja buku Hoa Kiau di Indonesia yang menyerang pajabat-pejabat orde lama yang menerbitkan PP nomor 10 tahun 1959. Dalam buku itu Pram menunjukkan betapa besar kontribusi masyarakat Tionghoa mulai zaman Majapahit hingga masa Indonesia merdeka.
Dalam dunia literasi, Pram adalah energi besar yang tak pernah padam. Ia mencatat dan mengkliping guntingan koran dengan sangat telaten. Tak mengherankan jika Pram pernah merencanakan membuat eksiklopedi sejarah Indonesia. Namun, sayang usahanya itu kandas setelah banyak buku dan klipingan korannya dihilangkan.
Pada tahun 2011 silam, saya pernah bertemu dengan seorang teman Pram yang sama-sama berada di Pulau Buru, yakni Oei Hiem Hwie. Pak Hiem memiliki perpustakaan Medayu Agung di Surabaya. Dia menceritakan betapa energi besar Pram saat menyusun karya-karyanya di Pulau Buru, di sela-sela kerja paksa dan penyiksaan di pulau terpencil itu.
Pak Hiem sendiri ikut menyelamatkan naskah tulisan tangan Bumi Manusia yang sampai saat ini masih tersimpan di perpustakaan Medayu Agung. Menurut Pak Hiem, naskah itu dihadiahkan Pram kepadanya, sedang Pram sendiri mengambil fotocopiannya, sebalum akhirnya dicetak dalam bentuk buku.
Ah, sudahlah. Membincang sosok Pramoedya memang seperti tak ada habisnya. Meski demikian, tak perlu kita menjadi pecinta Pram yang membabi-buta. Tapi cukup menempatkannya sebagaimana mestinya. Bahkan, perlu juga kita membandingkannya dengan karya-karya sastrawan Indonesia yang tidak sejalan dengan Pram.
Dalam rangka ulang tahun hari kelahiran Pramoedya tanggal 6 Pebruari 1925, tak ada salahnya kita kembali menapaki karya-karyanya. Menggenggam semangatnya. Tulisan pendek ini sekadar usaha kecil untuk mengingatkan ada tokoh penting bernama Pramoedya Ananta Toer. Dan untuk apa membaca buku-buku Pram? Ada baiknya Anda membaca lebih dulu, lalu menjawabnya. Salam.
Penulis adalah pembaca karya Pramoedya, pegiat Sindikat Baca di Bojonegoro
_________________
Foto Pramoedya diambil dari http://lindazuarnum.wordpress.com/
2 komentar:
sssiiipp bossss
Pram.. betul kata mas Nang, dia seperti energi besar yang tak pernah padam.. suaranya terus terdengar hingga kini, dan mungkin sampe kapanpun. Selama ketidakadilan masih terus terjadi, selama itu pula karya-karya Pram akan terus relevan.. :D
Posting Komentar