Jumat, 10 Januari 2014

Tak Sekadar Tentang Suku yang Musnah

Catatan Pendek Buku Suku Mohawk Tumpas karya Fenimore Cooper

Oleh Nanang Fahrudin

Mari iseng-iseng menyandingkan dua buku, meletakkannya di atas meja. Buku pertama Suku Mohawk Tumpas karya Fenimore Cooper.  Dan kedua adalah buku Pasang Naik Kulit Berwarna karya L. Stoddard. Ada satu hal yang sama-sama hendak ditunjukkan oleh dua buku itu, yakni tentang rasisme. Yakni bahwa ras manusia kulit putih menguasai ras kulit berwarna sejak zaman dulu.

Jika catatan ini nantinya dicap sebagai catatan rasis, tidak jadi masalah. Saya hanya menjaring apa yang sewajarnya saya jaring, setelah membaca buku itu.  Di buku Pasang Naik Kulit Berwarna, L. Stoddard ditempatkan beberapa bab sesuai dengan warna kulit manusia, yakni kulit kuning, coklat, hitam dan merah. Empat warna kulit itu di luar kulit putih yang dianggap ras paling hebat. Stoddrard mencatat hanya sedikit negara yang dibawah pemerintahan kulit berwarna. Sebagian besar dikuasai oleh orang-orang kulit putih.
Bab tentang orang kulit merah (yang edisi bahasa Indonesia) ditulis mulai halaman 110 hingga halaman 142. 

Dicatat, negeri orang kulit merah adalah bagian benua America antara Rio Grande dan daerah tropis Capricorn. Di sinilah ras Amer-Indian. Pada masa Colombus seluruh bumi bagian barat adalah milik ras kulit merah. Tapi orang-orang kulit putih mendesak mereka. Dan sekarang Amerika Serikat dan Kanada serta negara-negara bagian selatan Amerika Selatan dikuasai kulit putih. (hal: 110).

Nah, menyambung bab orang kulit merah itu, saya hendak mengajak Anda menelusuri jejak masyarakat Indian. Tapi bukan dari buku sejarah, melainkan dari sebuah karya sastra karya Fenimore Cooper. Dikisahkan perjalanan dua orang Suku Mohawk yang penghabisan. Dua orang itu adalah ayah-anak. Mereka tercerai berai akibat peperangan antara Inggris dan Prancis. Suku-suku di Indian banyak terpecah, sebagian memihak Inggris dan sebagian memihak Prancis.

Dari sekian banyak suku, fokus cerita adalah Suku Mohawk yang merupakan bagian Suku Delawar yang lebih dekat dengan Inggris. Dan orang-orang Huron lebih dekat dengan Prancis. Perselisihan antara Suku Huron dan Suku Mohawk menjadi kisah yang mendebarkan. Peperangan dan muslihat saling silang dalam kisah yang selalu mengundang rasa penasaran. Latar cerita yakni hutan, gunung, sungai, danau, bebatuan cadas, membuat pembaca benar-benar berada di alam tempo dulu.  Peperangan dua suku Indian di sungai, mendayung perahu dengan cepat untuk menghindari musuh, hingga kebiasaan orang Indian mengupas kulit kepala musuhnya, bisa membuat kita terheran-heran.

Jika disederhanakan kisahnya beginilah jadinya: Alice dan Cora hendak mengunjungi ayahnya Kolonel Munro, pimpinan prajurit Inggris yang berada di benteng William Henry, jauh di tengah hutan. Tapi sayang, rombongan yang dipimpin Mayor Heyward  dikelabuhi orang Huron, Migua. Mereka hendak ditumpas oleh orang-orang Huron, karena Migua memiliki dendam kepada Munro.

Beruntung mereka diselamatkan oleh dua orang Suku Mohawk, yakni Chingachgook dan anaknya, Uncas, dan seorang pemburu kulit putih bernama Hawk-eye. Orang-orang Huron yang terus berusaha menawan rombongan di satu sisi dan orang-orang Mohawk yang hendak melindungi rombongan, menjadi cerita mendebarkan. Jalan cerita agak rumit ketika Benteng William Henry takluk pada prajurit Prancis.

Kolonel Munro yang hendak pulang setelah prajuritnya takluk, harus mencari dua anak gadisnya. Pencarian dilakukan siang dan malam. Singkat cnnerita, peperangan suku meluas karena induk Mohawk yakni Suku Delawar ikut berperang. Cora akhirnya mati. Uncas juga mati di tangan Migua. Lalu Migua dibunuh oleh Hawk-eye. Kisah ditutup dengan penguburan Cora dan Uncas. Uncas ternyata adalah pemuda terakhir dari keturunan Suku Mohawk, yang di dadanya ada tato seekor penyu.

Hmm….tentu selalu lebih menarik membaca bukunya langsung kawan!

Buku terbitan tahun 1949 (masih ejaan lama) saya beli tidak sengaja di lapak buku bekas di Surabaya. Sebelumnya saya belum pernah mendengar, memegang, apalagi membaca buku ini. Maklum, pengetahuan saya tentang buku (apalagi buku lama) masih hijau. Saya baru tahu kalau buku itu masuk rak sastra setelah ada tulisan “terdjemahaan Abdoel Moeis”. Tetttt….langsung saja saya beli.

Membaca buku ini serasa bertanya kembali soal “rasisme” yang lama tak pernah saya pertanyakan lagi. Dalam perkembangan manusia, ternyata selalu ada yang tumpas. Salah satunya adalah ras manusia Suku Mohawk. Dan yang tersisa ternyata adalah (hanya) gaya rambutnya, gaya rambut Mohawk. Haduh…!!! Salam.

Bojonegoro, 6 Nopember 2013

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring