Oleh Nanang Fahrudin
Mari iseng-iseng menyandingkan dua buku, meletakkannya di
atas meja. Buku pertama Suku Mohawk Tumpas karya Fenimore Cooper. Dan kedua adalah buku Pasang Naik Kulit
Berwarna karya L. Stoddard. Ada satu hal yang sama-sama hendak ditunjukkan oleh
dua buku itu, yakni tentang rasisme. Yakni bahwa ras manusia kulit putih
menguasai ras kulit berwarna sejak zaman dulu.
Jika catatan ini nantinya dicap sebagai catatan rasis, tidak
jadi masalah. Saya hanya menjaring apa yang sewajarnya saya jaring, setelah
membaca buku itu. Di buku Pasang Naik
Kulit Berwarna, L. Stoddard ditempatkan beberapa bab sesuai dengan warna kulit
manusia, yakni kulit kuning, coklat, hitam dan merah. Empat warna kulit itu di
luar kulit putih yang dianggap ras paling hebat. Stoddrard mencatat hanya
sedikit negara yang dibawah pemerintahan kulit berwarna. Sebagian besar
dikuasai oleh orang-orang kulit putih.
Bab tentang orang kulit merah (yang edisi bahasa Indonesia)
ditulis mulai halaman 110 hingga halaman 142.
Dicatat, negeri orang kulit merah
adalah bagian benua America antara Rio Grande dan daerah tropis Capricorn. Di
sinilah ras Amer-Indian. Pada masa Colombus seluruh bumi bagian barat adalah
milik ras kulit merah. Tapi orang-orang kulit putih mendesak mereka. Dan
sekarang Amerika Serikat dan Kanada serta negara-negara bagian selatan Amerika
Selatan dikuasai kulit putih. (hal: 110).
Nah, menyambung bab orang kulit merah itu, saya hendak
mengajak Anda menelusuri jejak masyarakat Indian. Tapi bukan dari buku sejarah,
melainkan dari sebuah karya sastra karya Fenimore Cooper. Dikisahkan perjalanan
dua orang Suku Mohawk yang penghabisan. Dua orang itu adalah ayah-anak. Mereka
tercerai berai akibat peperangan antara Inggris dan Prancis. Suku-suku di
Indian banyak terpecah, sebagian memihak Inggris dan sebagian memihak Prancis.
Dari sekian banyak suku, fokus cerita adalah Suku Mohawk
yang merupakan bagian Suku Delawar yang lebih dekat dengan Inggris. Dan orang-orang
Huron lebih dekat dengan Prancis. Perselisihan antara Suku Huron dan Suku
Mohawk menjadi kisah yang mendebarkan. Peperangan dan muslihat saling silang
dalam kisah yang selalu mengundang rasa penasaran. Latar cerita yakni hutan,
gunung, sungai, danau, bebatuan cadas, membuat pembaca benar-benar berada di
alam tempo dulu. Peperangan dua suku
Indian di sungai, mendayung perahu dengan cepat untuk menghindari musuh, hingga
kebiasaan orang Indian mengupas kulit kepala musuhnya, bisa membuat kita
terheran-heran.
Jika disederhanakan kisahnya beginilah jadinya: Alice dan
Cora hendak mengunjungi ayahnya Kolonel Munro, pimpinan prajurit Inggris yang
berada di benteng William Henry, jauh di tengah hutan. Tapi sayang, rombongan
yang dipimpin Mayor Heyward dikelabuhi
orang Huron, Migua. Mereka hendak ditumpas oleh orang-orang Huron, karena Migua
memiliki dendam kepada Munro.
Beruntung mereka diselamatkan oleh dua orang Suku Mohawk,
yakni Chingachgook dan anaknya, Uncas, dan seorang pemburu kulit putih bernama
Hawk-eye. Orang-orang Huron yang terus berusaha menawan rombongan di satu sisi
dan orang-orang Mohawk yang hendak melindungi rombongan, menjadi cerita
mendebarkan. Jalan cerita agak rumit ketika Benteng William Henry takluk pada
prajurit Prancis.
Kolonel Munro yang hendak pulang setelah prajuritnya takluk,
harus mencari dua anak gadisnya. Pencarian dilakukan siang dan malam. Singkat cnnerita,
peperangan suku meluas karena induk Mohawk yakni Suku Delawar ikut berperang.
Cora akhirnya mati. Uncas juga mati di tangan Migua. Lalu Migua dibunuh oleh
Hawk-eye. Kisah ditutup dengan penguburan Cora dan Uncas. Uncas ternyata adalah
pemuda terakhir dari keturunan Suku Mohawk, yang di dadanya ada tato seekor
penyu.
Hmm….tentu selalu
lebih menarik membaca bukunya langsung kawan!
Buku terbitan tahun 1949 (masih ejaan lama) saya beli tidak
sengaja di lapak buku bekas di Surabaya. Sebelumnya saya belum pernah
mendengar, memegang, apalagi membaca buku ini. Maklum, pengetahuan saya tentang
buku (apalagi buku lama) masih hijau. Saya baru tahu kalau buku itu masuk rak
sastra setelah ada tulisan “terdjemahaan Abdoel Moeis”. Tetttt….langsung saja
saya beli.
Membaca buku ini serasa bertanya kembali soal “rasisme” yang
lama tak pernah saya pertanyakan lagi. Dalam perkembangan manusia, ternyata
selalu ada yang tumpas. Salah satunya adalah ras manusia Suku Mohawk. Dan yang
tersisa ternyata adalah (hanya) gaya rambutnya, gaya rambut Mohawk. Haduh…!!!
Salam.
Bojonegoro, 6 Nopember 2013
0 komentar:
Posting Komentar