Senin, 18 Maret 2013

Semangkuk Cerita di Krondonan


Oleh Nanang Fahrudin

Alam ini untuk kita kawan. Untuk kita. Dengarkan rintik hujan menubruk atap-atap rumah. Rumah yang tersembunyi di antara gundukan tanah dan barisan pohon jati. Di belakangnya air sungai yang menjerit-jerit setelah berhasil melewati batu-batu besar. Tapi benarkah kita pemilk? Pemilik semuanya?

Kawan! Kau tak perlu bertanya apa yang sedang kulakukan saat ini. Aku bukan sedang memegang buku Cuk dan Cis yang pernah kufoto bersanding dengan secangkir kopi di dekat akuarium. Bukan. Bukan juga sedang melahap buku-buku Kawabata, Eiji Yosikawa, atau sedang tenggelam di aktivitas kerja mengedit berita.  Sama sekali bukan.

Tapi aku sedang berada di kampung jauh dari kota. Kecamatan Krondonan, tepatnya di Dusun Tadahan. Kata orang-orang, jaraknya hampir 60 km dari pusat kota Bojonegoro. Aku sendiri belum pernah memastikan jaraknya. Jauh? Tentu ya. Tapi di sinilah sebagian hidupku berhenti. Aku membayangkan menjadi kabut yang menyapa atap-atap rumah, pucuk-pucuk pohon, batu-batu besar dan hanyut bersama air sungai. Aku juga sering membayangkan menjadi batu besar di halaman SMPN 2 Krondonan, yang di sana para guru naik di atasnya hanya untuk memungut sinyal hape.

Ya, aku sedang di sini kawan. Pada jam sekarang, kau pasti sedang sibuk dengan aktivitasmu. Atau sedang berada di toko buku mencari-cari buku karya Nicoloj Gogol atau novel Pulang karya Lelila S Chudori yang katanya bagus itu. Terus terang aku belum membaca Pulang. Semalam aku masih sempat memegang buku kumpulan Cerpen Kompas Pilihan tahun 2006. Aku membaca dua judul: Ripin dan Caronang. Lalu aku memegang buku karya Mochtar Lubis berjudul Tak Ada Esok terbitan Pustaka Jaya.

Tapi bukan dua buku itu yang hendak kuceritakan kepadamu, kawan. Kau pasti lebih dulu mengenal keduanya sebagaimana kau mengenal lebih dulu buku-buku lain. Buku Dr Zivago karya Boris Pasternak misalnya, atau buku Ziarah karya Iwan Simatupang. Aku sering menjadi pembaca yang terlambat datang. Terlambat menyentuhnya, terlambat menyapanya.

Hari ini, aku dan Prawoto (guru) sedang bersama lima anak kelas jurnalistik SMAN 2 Bojonegoro. Aku duduk di pojok ruang komputer menghadapi laptop. Sedang di sampingku ada  Oliv dan Rosida. Di belakangku ada Nisa, Arum dan Syarifa. Mereka adalah lima siswa yang ikut acara ini. Acara apa? Aku juga tak tahu persis apa nama acara ke Krondonan, Gondang ini. Yang kutahu adalah, mereka harus mengakrabi alam, merasakan paginya, siangnya, malamnya. Dan terakhir: menulis.

Ada setumpuk cerita yang dikantongi oleh mereka. Apalagi selama dua malam, mereka menginap di rumah warga, bergaul bersama masyarakat dan melihat dari dekat kehidupan mereka, yang mungkin saja berbeda dengan keseharian mereka di kota Bojonegoro.

“Aku terenyuh membaca catatan-catatan mereka,” begitu Prawoto berbisik di telinga kiriku. Yang kemudian membuatku harus berdiri sebentar mengamati layar-layar komputer yang seakan-akan di wajahnya itu selalu muncul huruf-huruf. Satu demi satu menjadi rangkaian kalimat. Dan aku harus berkata dalam hati: mereka hebat.

Kau tahu? selama ini aku bertemu mereka di Jumat sore. Kadang di teras masjid sekolah, kadang ruang kelas, kadang di alun-alun dan sekarang di sebuah kampung yang sangat jauh dari kota. Aku sering berpikir, mereka bukan sedang  kami ajari menulis. Tapi kamilah yang sedang belajar dari mereka tentang menulis. Tentang semangat berkarya.  Mereka sudah membaca Totto Chan. Mereka sudah selesai buku Ronggeng Dukuh Paruk. Mereka juga akrab dengan buku-buku Ahmad Tohari, Mangunwijaya, Pramoedya Ananta Toer, Umar Kayam Putu Wijaya dan entah siapa lagi penulis yang sudah diakrabinya. Dan satu lagi: mereka sudah menerbitkan buku bersama berjudul Curhatku. Tentu berkat sentuhan kreatif Prawoto.

Sekarang, pagi beranjak siang, dan mereka masih bercerita lewat tulisan. Entah sudah berapa halaman, aku tidak tahu. Mereka menata huruf seakan tak berujung. Huruf-huruf itu keluar lagi di layar komputer, muncul lagi, muncul terus, dan terus. Suaranya tak-tik-tuk seperti gerimis di siang hari. Aku membayangkan mereka sedang membangun rumah, menata batu bata, memperhalus lantainya, naik ke atap membetulkan genteng yang mencong. Hanya saja rumah itu ada di pikiran mereka, rumah yang seperti surga tentunya.

Oke, biarkan mereka menulis dulu saja…aku tak mau mengganggu mereka…

Kemarin, ketika lima siswi itu berada di rumah Mariyati dan Lilis, aku bertemu dengan Rakijan. Usianya kira-kira 40 tahun. Sudah punya anak dua. Rumahnya kecil, berdinding kayu dan berlantai tanah. Aku mampir ke sana ketika gerimis seperti titik-titik lukisan yang indah. Di depannya ada pohon kelapa yang tinggi dengan buah bergerombol. Sayang, pohon itu licin jadi aku tak sempat mencicipi air kelapa, yang katanya sangat nikmat itu.

Rakijan duduk berjongkok saat berbicara denganku, seperti sedang berbicara dengan seorang tuan. Aku pun ikut duduk sejajar dengan dia. “Monggo pinarak”. Aku dipersilahkan masuk, tapi terasnya yang kecil dan posisi rumah lebih atas dari sekelilingnya membuatku memilih duduk di teras saja.

“Wanci niki kulo mboten wantun nanem brambang”. Dia mulai bercerita. Warga di Dusun Tadahan, Desa Krondonan memang sebagian besar petani brambang. Tapi sayang harga bibit brambang yang selangit membuat mereka urung tanam. Bandingkan saja, kalau biasanya hanya Rp12.000/kg, maka sekarang harga bibit meroket Rp35.000/kg. Ya kalau waktu panen nanti harganya tinggi, kalau anjlok bagaimana? Itu pertanyaan Rakijan dan warga lain, yang kemudian dijawab dengan berdiam diri di rumah, tidak menanam brambang.

Aku jadi teringat istriku yang beberapa hari terakhir mengeluhkan harga bumbu dapur begitu mahal. Terus naik dan naik. Kenapa? Istriku bertanya kepadaku. Kujawab saja bahwa di negeri ini memang melarang warganya untuk miskin. Semua harus berduit agar bisa bertahan hidup. Negeri yang rakus, kataku.  Mengambil sedikit demi sedikit kebahagiaan warganya yang sedikit itu.

Negeri ini mungkin telah dijual, kawan. Dibeli oleh koruptor bersenjatakan keserakahan. Piring-piring penuh dengan air mata dan tangisan di mana-mana. Tapi alam ini tetap indah, bagaimana pun serakahnya manusia. 
Seperti sekarang, di Krondonan, Gondang.

Kawan! Ketika matahari belum muncul dari balik perbukitan, ketika kabut masih menggantung, mereka berjalan kaki menyusuri pematang sawah, menyeberangi sungai tanpa jembatan. Ya, itulah satu-satunya jalan menuju sekolah. Tak ada lain. Aku tahu mereka sangat lelah, tapi mereka begitu riang. Mereka seperti sedang berada di dunia yang baru.  Dunia yang selama ini hanya mereka lihat di layar televisi atau sekadar mendengar cerita dari teman. Ada yang berjalan tanpa alas kaki karena licin, ada yang tetap bersepatu dengan tanah liat menempel di sana-sini. Dan setelah menyusuri jalanan naik-turun bukit sepanjang 3 km, mereka akhirnya sampai di SMPN, mengikuti Mariyati dan Lilis  yang punya langkah cepat.

Aku sangat tersentuh mendengar mereka bercerita tentang apa yang mereka rasakan. Aku tiba-tiba tak mengetahui lagi apa yang ada di sudut-sudut mata mereka, air yang bening. Bening seperti air telaga putri-putri keraton. Air itu menyimpan semangkuk cerita. Cerita yang berjingkat-jingkat di tepian sungai yang mengalirkan air gemericik.

Kawan! Bolehlah aku menyebut hari ini hari yang cukup indah. Sinar matahari berkilauan dipantulkan oleh embun di pucuk pohon jati. Rumah-rumah seperti jatuh dari langit dan berdiri di antara ladang-ladang jagung. Angin berhembus pelan mengusap kulit yang mulai berkeringat. Di jalanan yang sempit, bocah-bocah berseragam sekolah bergerombol, berjalan pelan menenteng tas dan buku. Dan di antara bocah-bocah berseragam itu, lima siswa kelas jurnalistik bergabung. Salam!

Krondonan, 16 Maret 2013
Catatan kecil bersama kelas jurnalistik SMAN 2 Bojonegoro

Minggu, 17 Maret 2013

Ruki Si Manusia Kuli


Catatan Pendek (Capen) setelah Membaca Buku “KULI” karya MH Szekely-Lulofs

Oleh Nanang Fahrudin

I

Ini kisah tentang buku. Buku yang bertahun-tahun berlarian kesana kemari membawa setumpuk kesuraman. Buku yang siapa saja bisa menjumputnya dari rak-rak buku usang. Buku yang mungkin sesesakali berteriak nyaring di kamar gelap, yang siapa saja yang mendengarnya akan berwajah muram. Mungkin semuram kisah di buku itu. 

“Ada sejuta buku yang seperti itu”. Ya, mungkin saja. Tapi buku tetap saja buku, yang serupa kawan menemani duduk di teras rumah dengan guyuran sinar matahari yang panas. Buku yang hadir sekarang, akan membawa suasana yang berbeda pada saat datang esok. Waktu hanya datang sekali, tak akan bisa terulang lagi. Dan apa yang terjadi ketika dua kawan sedang duduk bercengkerama. Semua serba mungkin terjadi. Dua kawan itu adalah buku dengan aku, buku dengan anda, buku dengan kita, buku dengan kami dan buku dengan siapa saja.

Buku itu bernama: KULI

II

Dia bernama Ruki.  Usianya masih belasan tahun ketika bersama kerbau, dia berada di sawah. Punggungnya menghitam dihantam sinar matahari. Tapi sinar matahari itu dirasanya seperti guyuran air hangat. Bukan sesuatu yang asing atau perlu dihindari. 

Ruki adalah satu di antara jutaan anak Sunda. Tahun? Entah tahun berapa, karena Ruki dan tetangganya hanya melihat purnama. Waktu tidak dihitung dengan bulan dan tahun, melainkan berapa kali purnama. Ibu Ruki meninggal ketika Ruki masih kecil, dan ayahnya segera menikah lagi, memiliki anak lagi, dan lagi. Ruki pun harus tinggal bersama neneknya yang bungkuk. Karena kalau neneknya semakin renta, Ruki yang akan mengurus. Begitu alam mengajarkan.

Alam pedesaan menghidupi Ruki dan semua orang. Kerbau dan sawah seperti hadir begitu saja untuk mereka, entah dari mana asalnya. Ruki menyenangi hangat tubuh kerbau yang bercampur lumpur sawah ketika dia naik di punggungnya. Ruki pun tak tahu untuk apa ia ada di desa itu? Ia tak tahu karena tak pernah bertanya apa-apa.  Hidup seperti sebuah pemberian cuma-cuma dari Tuhan. Cuma-cuma? Ah, Ruki tidak tahu juga.

Ruki tak pernah bertanya kenapa begini dan kenapa tidak begitu. Tiada tanya itu juga yang membuat Ruki bersama dua temannya (Sidin dan Karimun) kepincut untuk ikut bersama laki-laki asal Betawi yang malam-malam datang ke kampungnya. Bersama laki-laki itu mereka pergi meninggalkan desanya. Laki-laki itu datang membawa selangit mimpi, yang bahkan belum pernah terpikirkan warga kampung Ruki:  rokok, bebas berjudi, punya emas, beristri wanita muda cantik lebih dari satu. Dan….dan….

Semua berawal dari halaman delapan…

III

Kuli lahir dari penggalan sejarah negeri ini tahun 1900 an, ketika negeri ini masih bernama Hindia Belanda. Penggalan sejarah itu dititipkan pada kata-kata yang diikat cukup kencang oleh M.H. Zhekely-Lulofs (1899-1958) dalam buku bersampul warna hijau lumut. Sebagaimana tertera dalam bagian akhir buku ini bahwa Lulofs menulis pada Juli-November 1931. Dan, hingga 2013 ini, ikatan itu masih cukup kencang. 

“Dalam kamus sejarah penjajahan di tanah air, kuli kontrak identik dengan perbudakan. Masa yang menyedihkan di Deli itu sudah lama berlalu, namun secara polos dan memikat, Lulofs berhasil merekamnya dalam novel yang pendek ini”. Kalimat panjang ini ditulis oleh penerbit Grafiti (1985) di sampul belakang, seakan hendak mencuplik sekilas tentang isi Kuli. 

Kuli tipis? Ya, hanya 115 halaman. Bandingkan dengan Musashi karya Eiji Yosikawa yang 1.000 halaman lebih, atau Tidak Ada Esok karya Mochtar Lubis yang punya 226 halaman. Tapi tebal tipis bukan ukuran bahwa sebuah buku bagus atau tidak bagus. Bahkan cerita pendek yang hanya empat halaman, atau satu halaman saja bisa sangat menarik. 

Tapi jangan sekali-kali kau mencari Kuli di rak-rak toko buku modern. Kau pasti tak akan menemukannya. Karena Kuli hanya terselip di antara buku-buku berdebu, tertumpuk di antara buku-buku lain. Dan ketika buku itu posisi ditumpuk, kau pun sulit mengenalinya karena di punggungnya tak ada tulisan apapun. Polos. 

IV

Halaman delapan menjadi pembatas antara Ruki yang dulu dengan Ruki yang akan datang. Semua adalah pemberian Tuhan. Nasib. Begitulah kelak Ruki memahami semua apa yang terjadi. Pada halaman 12, kehidupan Ruki seakan hendak berubah lebih baik. Tapi apa yang terjadi selanjutnya adalah sebaliknya.

Halaman selanjutnya hingga halaman 115 adalah kesengsaraan….

Ruki meninggalkan desanya naik kereta api. Dalam hidupnya baru kali itu ia merasakan naik besi besar yang bisa berjalan sambil menjerit-jerit. Ruki juga naik kapal menyeberangi selat Sunda menuju hutan Sumatra. Kemana mereka dibawa? Untuk apa naik kapal? Ruki terpisah dari Karimun dan Sidin. Ruki ingat neneknya di rumah yang ditinggal sendirian. Oh…
Di kapal, orang Betawi sudah tidak ada digantikan dengan orang-orang berwajah bengis. Ruki beberapa kali ditampar dan dipukul hanya gara-gara mempertahankan pendapatnya. Sejak saat itu Ruki tak berani menentang. Ia ingat kerbaunya. Ia ingat neneknya. Hidupnya yang damai telah ditukar menjadi orang kapal. 

Orang-orang kapal lalu dibawa menggunakan gerbong kereta api masuk ke hutan belantara. Di sana ada banyak orang-orang yang lebih dulu menyandang sebagai kuli kontrak. Mereka sudah setahun, dua tahun, tiga tahun, dan ada yang sudah 10 tahun. Ruki memulai hidupnya yang baru, bekerja dan bekerja untuk orang asing. Di desa ia bekerja untuk dirinya sendiri. Ruki merindukan neneknya.

Sebagai kuli kontrak membuka lahan perkebunan, Ruki harus bekerja 14 hari dan sehari istirahat. Kerja pagi dimulai dari suara kentongan. Tidak ada kelelahan, tidak ada keluh kesah. Hidup mereka sudah dibeli. Apa mau dikata. Mereka hanya tahu, Tuhan menghendaki. Mereka pun pasrah. 

Kehidupan kuli kontrak telah membentuk tatanan sosial baru yang berlaku hanya untuk para kuli kontrak. Tak ada ikatan suami istri, karena yang ada hanya persetubuhan dengan imbalan. Bagi laki-laki siapa membayar, dia mendapat perempuan. Sedang kuli kontrak perempuan berlaku siapa menjual diri dia mendapat uang. Semua berjalan apa adanya. Dan ketika waktu gajian, hiburan malam dibuka. Para kuli kontrak dibiarkan berjudi. Karena dengan demikian uangnya akan habis dan pasti akan memperpanjang kontrak lagi: 18 bulan. Tidak akan balik ke Jawa.

Ruki pun demikian. Ia membeli perempuan, berjudi, perempuan, berjudi dan begitu saja. Tentu semua dilakukan dalam waktu singkat karena waktu panjang sudah dijualnya untuk bekerja mencangkul ladang. Ruki berkenalan dengan Kromorejo, kuli kontrak yang lebih dulu bekerja. Dia berasal dari Bojonegoro. Lho Bojonegoro? Ya, Kromorejo berasal dari Bojonegoro. (Ssst….itu nama daerahku,yang sekarang juga banyak kuli-kuli)

Sepuluh tahun, dua puluh tahun, dan entah sudah berapa puluh tahun Ruki menjadi kuli kontrak. Keinginannya untuk pulang ke Jawa sudah pupus. Ia malu jika pulang ke Jawa dalam kondisi miskin. Apalagi usianya sudah tua. Orang-orang memanggilnya Pak Ruki. Ia mendapat perempuan untuk dijadikan istri bernama Wiryo. Wiryo sebelumnya istri Sentono, kawannya sesama kuli kontrak. Sentono pulang ke Jawa sehingga Wiryo, oleh mandor, diperbolehkan diambil Ruki. Mereka lalu tinggal serumah. Begitulah mereka mengatur hubungan suami istri.

Hingga para suatu hari, ketika Ruki dan Wiryo begitu tua mereka hendak pulang ke Jawa. Barang-barangnya dijual ke pasar agar pulang ke Jawa cukup membawa uang, bukan barang-barang. Dan terkumpullah uang yang cukup untuk beli sepetak tanah dan seekor kerbau di kampung. Tapi malam hari sebelum pulang ke Jawa, pasar malam begitu ramai. Arena judi dibuka besar-besaran. Ruki tak bisa tidur.

Lalu ia menyelinap keluar rumah membawa uang. Awalnya ia hanya ingin membeli oleh-oleh, tapi melihat meja judi hasratnya berjudi timbul. Ia lalu berjudi seperti orang kesetanan. Uangnya habis dan bajunya juga habis. Ia berjalan pulang dalam keheningan yang benar-benar hening. Wiryo, istrinya, berteriak histeris ketika tahu uangnya habis di meja judi. Meksi pada akhirnya Wiryo hanya pasrah dan meminta suaminya tidur.

Pagi harinya Ruki datang ke Tuan Besar. Ia bukan hendak berpamitan karena hendak berangkat ke Jawa, melainkan Ruki datang untuk meneken surat kontrak lagi sebagai kuli kontrak. Itu artinya ia akan bekerja 18 bulan lagi. Padahal, Ruki tak tahu lagi kapan usianya akan berakhir. Ia sudah terlalu tua. 

Dan itulah halaman akhir…

V

Kuli telah memaksaku menengok jauh ke belakang. Jauh ketika negeri ini belum merdeka. Merdeka? Kapan negeri ini merdeka? Sejarah mencatat pada 17 Agustus 1945 negeri ini merdeka. Tidak ada lagi kuli kontrak sebagaimana dalam Kuli. Ada persamaan hak yang diberi nama hak azazi manusia (HAM). 

Beberapa catatan sejarah menyebut gelombang kuli kontrak dari Jawa ke Deli-Sumatera sangat besar. Ini menyusul aturan beberapa negara yang melarang warganya dibawa ke Sumatera. Seperti China dan Inggris yang membuat persyaratan khusus untuk warganya yang hendak dibawa ke Sumatera. Alhasil, orang Jawa yang dikerahkan setelah dibujuk terlebih dahulu. Tercatat pada tahun 1905, ada 33.961 orang kuli kontrak Jawa. Sebanyak 6.290 orang adalah perempuan.

Para kuli tetap manusia, namun telah kehilangan kemanusiaannya. Kemanusiaan direnggut oleh keserakahan yang tak terkira. Manusia yang pekerja hanya dilihat sebagai alat reproduksi. Karl Marx? Ya, mungkin begitulah apa yang digambarkan oleh Marx dalam struktur dan suprastruktur. Pola produksi telah memengaruhi kesadaran manusia. Persis ketika melihat kehidupan para kuli yang “berbeda” dengan kehidupan masyarakat bebas. Mereka mengetahui bahwa dirinya telah terbeli, namun tak mampu keluar dari lingkaran itu. 

Ah…waktu memang bergerak begitu cepat. Ketika aku membaca Kuli, waktu seakan berputar balik. Dan pada saat buku kututup, waktu seperti melompat lagi ke masa sekarang. Aku bukan Ruki, tapi aku seperti mengenal Ruki. Aku bukan Kromorejo, tapi aku seperti merasakan Kromorejo yang harus diamputasi gara-gara sakit yang tak dirasa. 

Dan sekarang, aku duduk diam…
Aku hanya pembaca yang terlambat datang…


Bojonegoro, 12 Maret 2013
Terimakasih untuk buku-buku yang menemani...

Senin, 04 Maret 2013

Bersama Oeroeg

Catatan pendek (capen) setelah membaca buku Oeroeg karya Hella S. Haasse

Oleh Nanang Fahrudin

Pertama, aku menyukai gambar sampulnya: dua bocah berdiri di tengah rintik hujan, tangan kanan sama-sama memegang “payung”.  Gambar itu sangat menarik mataku karena dua bocah hadir berbeda. Yang satu bersepatu, berkaos dan memegang payung buatan pabrik. Sedang bocah satunya memegang daun pisang sebagai ganti payung, bertelanjang dada dan bertelanjang kaki. Kontras.

Ya, gambar sederhana tapi penuh makna itu ada di sampul buku yang baru saja selesai kubaca. Buku itu berjudul Oeroeg karya Hella S. Haasse. Penulisnya orang Belanda, yang sesuai keterangan di buku, telah banyak mendapatkan penghargaan atas karya-karyanya. Oeroeg adalah pribumi, sedang tokoh aku adalah bocah Belanda yang lahir di Hindia Belanda. Mungkin dua bocah itulah yang hendak digambarkan di sampul buku tersebut.

Buku ini selesai kubaca di sebuah sore yang diselimuti mendung hitam. Deru kendaraan menubruk pendengaranku. Secangkir kopi panas dicampur jahe membuat kisah dalam buku itu semakin hidup dan seakan bercerita kepadaku, seperti seorang kawan. Akrab sekali. “Aku berkisah tentang dua manusia yang berbeda. Setidaknya dianggap berbeda. Pribumi dan non pribumi,” begitu buku itu berkisah tentang dirinya. Maaf, tentu aku sedang mendramatisasi.

Oeroeg dan “aku” lahir  dalam waktu yang hampir bersamaan di daerah Pegunungan Priangan pada masa pra kemerdekaan. Masa-masa kecil sungguh menyenangkan; bermain bersama. Masa-masa itu tak kan terlupakan bagi “aku”, bahkan ketika dunia memaksa mereka harus berbeda. “Aku” adalah anak Administratur Kebon Jati, seorang Belanda. Sedang Oeroeg anak Deppoh, mandor Kebon Jati sekaligus jongos Administratur.  Masa kecil adalah masa-masa indah, ketika mereka dilihat sebagai bocah yang belum mengerti apa-apa.

Tapi, saat beranjak usia sekolah, “aku” dipaksa menjauhi Oeroeg oleh orang tuanya. Karena Oeroeg adalah orang yang “berbeda”. Dia pribumi yang tentu saja lebih rendah. Sedang “aku” adalah manusia yang tinggi. Hingga akhirnya keduanya bisa sekolah, meski dengan perlakuan berbeda. Cerita semakin mendebarkan ketika Oeroeg menjadi siswa kedokteran dan aktif di perkumpulan-perkumpulan pemuda penentang penjajah Belanda. Sedang “aku” tetap orang Belanda yang tak begitu peduli dengan urusan politik. “aku” hanya ingin dia dengan Oeroeg sebagai sesama manusia, sama-sama memiliki masa kecil yang indah.

Oeroeg berpakaian perlente, memakai peci, menyukai Amerika, tidak mau direndahkan hanya karena dia pribumi. Dia nasionalis, memperjuangkan kemerdekaan. Tapi sayang, setelah merdeka sedikit cerita tentang Oeroeg. Ia seperti hilang begitu saja. Kecuali saat “aku” mendatangi Kebon Jati, “aku” bertemu Oeroeg dengan kondisi yang mengenaskan; kulit hitam, kurus, pakaian compang-camping, menggenggam revolver dan menodongkannya ke “aku” seakan sudah tak mengenali “aku” lagi. Oeroeg sudah tak mau lagi kenal dengan “aku”. Padahal “aku” terlanjur  menyukai Jawa, menyukai negeri yang telah berubah nama menjadi Indonesia.

Ah, sudahlah. Buku ini memang hanya berkisah tentang “aku” dan Oeroeg. Cerita yang sederhana. Tapi aku, sebagai pembaca, begitu menyukainya. Dan sebagaimana ketika membaca buku, setumpuk dunia tiba-tiba hadir dalam diriku. Ketika sampai pada kisah Oeroeg bergaul dengan pemuda-pemuda meneriakkan nasionalisme, pikiranku tertuju pada sosok Soekarno. Dalam buku Soekarno Penjambung Lidah Rakjat, Bung Karno bercerita dia sangat marah ketika dianggap tak bisa main sepak bola hanya karena pribumi. Bung Karno juga suka berpakaian perlente, memakai peci, bersepatu dan menyukai film-film Holywood. Tapi apakah Oeroeg sama dengan Soekarno? Aku tidak tahu. Itu hanya pikiranku saja yang berusaha mengkonkritkan gambaran Oeroeg di penggalan sejarah bangsa ini.

***

Menyelesaikan membaca Oeroeg begitu menyenangkan bagiku. Buku-buku lain serupa sungai yang hanya kuarungi separuh saja, dan aku harus keluar sungai dengan berbagai alas an. Oeroeg seperti sebuah permohonan maaf pada sungai-sungai yang belum kusentuh pucuk hilirnya. Dan akhirnya, aku tahu bahwa membaca adalah sebuah kerja keras, seperti sedang mengarungi sungai dan hendak menemukan hilirnya.

Hassee juga membuatku rindu karya-karya penulis masa ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang ditulis oleh penulis Belanda. Dan bolehlah aku kini memegang buku Kuli karya Madelon Hermine Szekely-Lulofs terbitan Grafiti 1985.

Bojonegoro, 5 Maret  2013
Bersama pagi berkabut di kampung damai
 
© Copyright 2035 godongpring