Oleh Nanang Fahrudin
Alam ini untuk kita kawan. Untuk kita. Dengarkan rintik hujan menubruk atap-atap rumah. Rumah yang tersembunyi di antara gundukan tanah dan barisan pohon jati. Di belakangnya air sungai yang menjerit-jerit setelah berhasil melewati batu-batu besar. Tapi benarkah kita pemilk? Pemilik semuanya?
Kawan! Kau tak perlu bertanya apa yang sedang kulakukan saat ini. Aku bukan sedang memegang buku Cuk dan Cis yang pernah kufoto bersanding dengan secangkir kopi di dekat akuarium. Bukan. Bukan juga sedang melahap buku-buku Kawabata, Eiji Yosikawa, atau sedang tenggelam di aktivitas kerja mengedit berita. Sama sekali bukan.
Tapi aku sedang berada di kampung jauh dari kota. Kecamatan Krondonan, tepatnya di Dusun Tadahan. Kata orang-orang, jaraknya hampir 60 km dari pusat kota Bojonegoro. Aku sendiri belum pernah memastikan jaraknya. Jauh? Tentu ya. Tapi di sinilah sebagian hidupku berhenti. Aku membayangkan menjadi kabut yang menyapa atap-atap rumah, pucuk-pucuk pohon, batu-batu besar dan hanyut bersama air sungai. Aku juga sering membayangkan menjadi batu besar di halaman SMPN 2 Krondonan, yang di sana para guru naik di atasnya hanya untuk memungut sinyal hape.
Ya, aku sedang di sini kawan. Pada jam sekarang, kau pasti sedang sibuk dengan aktivitasmu. Atau sedang berada di toko buku mencari-cari buku karya Nicoloj Gogol atau novel Pulang karya Lelila S Chudori yang katanya bagus itu. Terus terang aku belum membaca Pulang. Semalam aku masih sempat memegang buku kumpulan Cerpen Kompas Pilihan tahun 2006. Aku membaca dua judul: Ripin dan Caronang. Lalu aku memegang buku karya Mochtar Lubis berjudul Tak Ada Esok terbitan Pustaka Jaya.
Tapi bukan dua buku itu yang hendak kuceritakan kepadamu, kawan. Kau pasti lebih dulu mengenal keduanya sebagaimana kau mengenal lebih dulu buku-buku lain. Buku Dr Zivago karya Boris Pasternak misalnya, atau buku Ziarah karya Iwan Simatupang. Aku sering menjadi pembaca yang terlambat datang. Terlambat menyentuhnya, terlambat menyapanya.
Hari ini, aku dan Prawoto (guru) sedang bersama lima anak kelas jurnalistik SMAN 2 Bojonegoro. Aku duduk di pojok ruang komputer menghadapi laptop. Sedang di sampingku ada Oliv dan Rosida. Di belakangku ada Nisa, Arum dan Syarifa. Mereka adalah lima siswa yang ikut acara ini. Acara apa? Aku juga tak tahu persis apa nama acara ke Krondonan, Gondang ini. Yang kutahu adalah, mereka harus mengakrabi alam, merasakan paginya, siangnya, malamnya. Dan terakhir: menulis.
Ada setumpuk cerita yang dikantongi oleh mereka. Apalagi selama dua malam, mereka menginap di rumah warga, bergaul bersama masyarakat dan melihat dari dekat kehidupan mereka, yang mungkin saja berbeda dengan keseharian mereka di kota Bojonegoro.
“Aku terenyuh membaca catatan-catatan mereka,” begitu Prawoto berbisik di telinga kiriku. Yang kemudian membuatku harus berdiri sebentar mengamati layar-layar komputer yang seakan-akan di wajahnya itu selalu muncul huruf-huruf. Satu demi satu menjadi rangkaian kalimat. Dan aku harus berkata dalam hati: mereka hebat.
Kau tahu? selama ini aku bertemu mereka di Jumat sore. Kadang di teras masjid sekolah, kadang ruang kelas, kadang di alun-alun dan sekarang di sebuah kampung yang sangat jauh dari kota. Aku sering berpikir, mereka bukan sedang kami ajari menulis. Tapi kamilah yang sedang belajar dari mereka tentang menulis. Tentang semangat berkarya. Mereka sudah membaca Totto Chan. Mereka sudah selesai buku Ronggeng Dukuh Paruk. Mereka juga akrab dengan buku-buku Ahmad Tohari, Mangunwijaya, Pramoedya Ananta Toer, Umar Kayam Putu Wijaya dan entah siapa lagi penulis yang sudah diakrabinya. Dan satu lagi: mereka sudah menerbitkan buku bersama berjudul Curhatku. Tentu berkat sentuhan kreatif Prawoto.
Sekarang, pagi beranjak siang, dan mereka masih bercerita lewat tulisan. Entah sudah berapa halaman, aku tidak tahu. Mereka menata huruf seakan tak berujung. Huruf-huruf itu keluar lagi di layar komputer, muncul lagi, muncul terus, dan terus. Suaranya tak-tik-tuk seperti gerimis di siang hari. Aku membayangkan mereka sedang membangun rumah, menata batu bata, memperhalus lantainya, naik ke atap membetulkan genteng yang mencong. Hanya saja rumah itu ada di pikiran mereka, rumah yang seperti surga tentunya.
Oke, biarkan mereka menulis dulu saja…aku tak mau mengganggu mereka…
Kemarin, ketika lima siswi itu berada di rumah Mariyati dan Lilis, aku bertemu dengan Rakijan. Usianya kira-kira 40 tahun. Sudah punya anak dua. Rumahnya kecil, berdinding kayu dan berlantai tanah. Aku mampir ke sana ketika gerimis seperti titik-titik lukisan yang indah. Di depannya ada pohon kelapa yang tinggi dengan buah bergerombol. Sayang, pohon itu licin jadi aku tak sempat mencicipi air kelapa, yang katanya sangat nikmat itu.
Rakijan duduk berjongkok saat berbicara denganku, seperti sedang berbicara dengan seorang tuan. Aku pun ikut duduk sejajar dengan dia. “Monggo pinarak”. Aku dipersilahkan masuk, tapi terasnya yang kecil dan posisi rumah lebih atas dari sekelilingnya membuatku memilih duduk di teras saja.
“Wanci niki kulo mboten wantun nanem brambang”. Dia mulai bercerita. Warga di Dusun Tadahan, Desa Krondonan memang sebagian besar petani brambang. Tapi sayang harga bibit brambang yang selangit membuat mereka urung tanam. Bandingkan saja, kalau biasanya hanya Rp12.000/kg, maka sekarang harga bibit meroket Rp35.000/kg. Ya kalau waktu panen nanti harganya tinggi, kalau anjlok bagaimana? Itu pertanyaan Rakijan dan warga lain, yang kemudian dijawab dengan berdiam diri di rumah, tidak menanam brambang.
Aku jadi teringat istriku yang beberapa hari terakhir mengeluhkan harga bumbu dapur begitu mahal. Terus naik dan naik. Kenapa? Istriku bertanya kepadaku. Kujawab saja bahwa di negeri ini memang melarang warganya untuk miskin. Semua harus berduit agar bisa bertahan hidup. Negeri yang rakus, kataku. Mengambil sedikit demi sedikit kebahagiaan warganya yang sedikit itu.
Negeri ini mungkin telah dijual, kawan. Dibeli oleh koruptor bersenjatakan keserakahan. Piring-piring penuh dengan air mata dan tangisan di mana-mana. Tapi alam ini tetap indah, bagaimana pun serakahnya manusia.
Seperti sekarang, di Krondonan, Gondang.
Aku sangat tersentuh mendengar mereka bercerita tentang apa yang mereka rasakan. Aku tiba-tiba tak mengetahui lagi apa yang ada di sudut-sudut mata mereka, air yang bening. Bening seperti air telaga putri-putri keraton. Air itu menyimpan semangkuk cerita. Cerita yang berjingkat-jingkat di tepian sungai yang mengalirkan air gemericik.
Kawan! Bolehlah aku menyebut hari ini hari yang cukup indah. Sinar matahari berkilauan dipantulkan oleh embun di pucuk pohon jati. Rumah-rumah seperti jatuh dari langit dan berdiri di antara ladang-ladang jagung. Angin berhembus pelan mengusap kulit yang mulai berkeringat. Di jalanan yang sempit, bocah-bocah berseragam sekolah bergerombol, berjalan pelan menenteng tas dan buku. Dan di antara bocah-bocah berseragam itu, lima siswa kelas jurnalistik bergabung. Salam!
Krondonan, 16 Maret 2013
Catatan kecil bersama kelas jurnalistik SMAN 2 Bojonegoro