Oleh : Nanang Fahrudin
Tanggal 21 April 2011. Ketika siang belum puncak, aku membuka fesbuk. Status tentang Kartini banyak diunggah. Ya, hari ini memang Hari Kartini. Sebagian sempat kubaca. Di antaranya “Selamat Hari Kartini 2011. Jayalah Terus Kartini-Kartini Masa Kini.....” yang diunggah oleh Subairi, sahabat dari Madura. Atau status teman lain yang agak kocak “Kartono sedang mengucapkan hari kartini..kartono berharap pada kartini agar tetap menjadi perempuan Indonesia” yang ditulis oleh Birumu Badai. Kawan lain lagi menulis “Seorang nenek sedang menjual bunga, untuk menyambung hidup yang kian sulit seperti sekarang ini. Selamat Hari Kartini nek,.....teruslah berjuang” yang ditulis oleh Ario Djohar.
Ya, hari Kartini. Banyak yang merayakannya. Hiruk pikuk siswi memakai kebaya membuat acara di tiap sekolah. Orang tua sibuk pergi ke salon pagi-pagi sekali untuk mendandani anaknya mengenakan kebaya dan sanggul. “Kartini-Kartinian” katanya. Hari yang sibuk, sibuk dengan segala sesuatu yang dianggap berbau Kartini.
Semua sibuk, semua gembira. Media massa (terutama koran) menyajikan berita-berita perempuan yang mempunyai semangat, prestasi, dan keunggulan di bidangnya masing-masing. Katanya, inilah Kartini-Kartini modern. Penyanyi-penyanyi perempuan nan seksi tampil di layar kaca untuk memperingati Hari Kartini tersebut. Ya, Hari Kartini yang menyenangkan.
Dan ketika aku menyaksikan, membaca, mendengarkan semua tentang Hari Kartini hari ini, ingatanku malah nemplek di tiga perempuan tetanggaku di desa di Bojonegoro. Daerah kaya minyak. Tiga perempuan yang sudah berusia rata-rata 50 an tahun. Perempuan pertama punya dua anak. Satu perempuan, satu laki-laki. Anak pertama sudah menikah dan kini sebagai penjual kue keliling kampung pagi hari. Sedang anak kedua, sudah empat tahun pamit kerja tapi tak juga balik ke rumah. Perempuan pertama ini sering menangis jika datang ke rumah saya saat ingat anaknya. Dan suaminya bertahun-tahun sakit linu dan tidak bisa lagi bekerja. Perempuan pertama ini sendiri menjadi pembantu rumah tangga.
Sedang perempuan kedua, rumahnya di sebelah rumah perempuan pertama pas. Setahun yang lalu suaminya meninggal setelah sakit keras. Anak-anaknya sudah “hidup mandiri” jauh dari perempuan kedua ini. Ia makan dari mencari padi sisa (ngasak) saat ada orang panen. Jika tak musim panen, ia menjual apa saja yang biasa dijual. Kadang jarik, ayam, telur ayam, piring, atau barang-barang lain. Sering istri ditawari barang-barangnya, yang akhirnya uang diberikan tapi barangnya tetap dibiarkan ada pada perempuan kedua ini. Kasihan, kata istriku.
Nah, cerita perempuan ketiga lain lagi. Ia punya dua anak, dua-duanya perempuan. Semuanya bekerja di Surabaya. Jadi dia hanya sendirian di rumah. Nasibnya lebih beruntung karena selalu mendapat kiriman uang dari anaknya yang bekerja.
Perempuan pertama yang saya ceritakan awal lebih “kaya” karena bisa membeli pesawat televisi dan memasang listrik. Sedang perempuan kedua dan ketiga tidak memiliki pesawat televisi atau aliran listrik sendiri. Rumah tiga perempuan itu berdempetan, mirip tiga rumah kembar siam. Bentuk dan ukurannya sama. Dinding anyaman bambu, lantai tanah, tak ada jendela. Oh ya, tidak punya wc dan kamar mandi permanen.
**
Tiga perempuan itu tak mengenal perjuangan Kartini. Mungkin karena ia merasakan beban hidup yang begitu berat. Satu-satunya “hiburan” adalah ketika besok mereka tidak diributkan dengan beras yang habis dan uang yang tidak ada. Jurus selanjutnya, mereka menjual barang-barang yang masih mereka miliki. Untuk sekedar makan.
Pada Hari Kartini pun mereka tetap melanjutkan hidupnya seperti biasa. Tak ada yang berbeda. Mereka hanya tahu jika anak-anak usia SD pulang dari sekolah dengan berpakaian kebaya dan diberitahu ada “Kartini-Kartinian”. Mereka bukan Kartini. Tapi semangat hidup mereka sebesar Kartini yang memimpikan perempuan pribumi yang cerdas.
Kartini dikenal dengan pikiran-pikirannya yang menggugat kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Pikiran-pikiran itu tercermin dalam surat-suratnya yang kemudian banyak dibukukan. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar.
Ia lahir pada 21 April 1879 dan meninggal pada usia 25 tahun, tepatnya tanggal 17 September 1904. Jika pada masa itu, masyarakat kita dikungkung dengan feodalisme ala Jawa, Kartini melawan dengan mendirikan sekolah. Tapi apakah feodalisme yang mengungkung masyarakat kita saat ini?. Jangan-jangan bukan feodalisme, melainkan modernitas yang mengungkung.
**
Siapa Kartini masa kini?. Banyak yang memberikan definisi bahwa Kartini masa kini adalah para perempuan yang produktif, punya jabatan atau profesi yang sejajar dengan laki-laki. Kartini masa kini adalah mereka yang memiliki semangat perubahan tinggi, atau mereka yang punya mimpi besar memajukan bangsa Indonesia terutama kaum hawa.
Tapi benarkah definisi itu digenggam masyarakat kebanyakan yang tercermin ke dalam perilaku?. Saya tidak bisa memastikan. Tapi mari kita coba melihat keseharian masyarakat perempuan yang ada di sekitar kita. Siapa tahu secara tidak langsung bisa menjawabnya.
Kita awali di keseharian anak-anak perempuan kita. Usia anak-anak, mereka akrab dengan televisi. Di layar kaca itu, sinetron yang menampilkan artis-artis perempuan menjadi makanan keseharian. Mereka pun “kenal banget” dengan nyanyian “cinta satu malam” atau “keong racun”. Hidup mereka juga sudah begitu instant, mainan-mainan semua serba berbau elektronik. Mereka kehilangan dunia anak, tergantikan oleh dunia dewasa.
Sedang usia remaja, mereka begitu mengidolakan Justin Beaber. Mereka menggilai penyanyi Geisha, atau berdandan seperti Cinta Laura. Perilaku dan pakaian pun dibuat-buat seperti mereka para artis perempuan. Kaos ketat, celana pendek ketat, dan sepatu lukis. Ke mana-mana menggenggan ponsel.
Para perempuan kita sekarang lebih asyik menikmati modernitas yang datang tak terbendung. Kekhawatiran yang muncul adalah mereka hanya sebagai penerima, penikmat, konsumen, pengagum modernitas, yang pada akhirnya menumpulkan kreativitas dan kekritisan. Mereka terlalu asyik menikmati dunia permukaan masa kini.
Sementara para perempuan tua (usia 40-50) di pedesaan banyak terperosok dalam kubangan kemiskinan. Mereka hidup hanya menjalani apa yang ada sehari-hari. Tak ada mimpi lagi. Seperti kehidupan tiga perempuan yang saya ceritakan di awal tadi. Tiga perempuan dengan tiga rumah kembar siam.
Pada akhirnya, siapa yang mengagumi Kartini saat ini?. Benarkah sekarang banyak Kartini masa kini?. Anda berhak menjawabnya sendiri. Salam.
Minggu, 24 April 2011
Browse » Home »
Esai Warung Kopi
» Kartini-Kartian Dulu
Kartini-Kartian Dulu
Label:
Esai Warung Kopi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar