Senin, 11 April 2011
Browse » Home »
Jejak Buku
» Kisah Orang Terkutuk
Kisah Orang Terkutuk
Catatan Pendek Buku 'Keluarga Pascual Duarte'
Ketika anda membaca karya-karya sastra karangan Habiburrahman El Shirazy, Andrea Herata, Kuntowijoyo, atau mungkin karya Pramoedya Ananta Tour, maka anda akan menemukan nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh penulis. Pramoedya menentang ketidakadilan dengan tokoh Sanikem atau Nyai Ontosoroh dan menantunya Minke dalam tetralogi pulau Buru. Kuntowijoyo membawa obor pencarian makna kehidupan dengan tokoh Barman dalam novel Khotbah di Atas Bukit. Atau nilai-nilai spiritual yang kental dalam karya Habiburrahman El Shirazy dan nilai-nilai keagungan spirit kehidupan dalam novel Andrea Herata.
Semua karya sastra tersebut seperti sebuah khotbah. Menunjukkan pembaca yang “baik” dan yang “buruk”. Pembaca seakan diajak bertamasya dengan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah seharusnya dijunjung tinggi oleh manusia itu sendiri. Pembaca diajak berdialog dengan tokoh-tokoh dalam setiap karya sastra. Berdialog dengan nilai-nilai yang dibawa pengarang. Ending nya seperti apa, itu tergantung dengan akhir dialog dan pemaknaan kita terhadap karya sastra tersebut.
Nah, bagaimana kalau anda tiba-tiba dihadapkan pada sebuah karya sastra yang nyaris tak ada nilai-nilai kemanusiaan yang luhur di dalamnya. Jika biasanya karya sastra itu memalingkan diri dari kejahatan, keegoisan, kriminalitas, dan segala sesuatu yang buruk, maka karya sastra itu malah memeluknya erat-erat. Bagaimana rasanya?. Mungkin itulah yang saya rasakan saat membaca novel Keluarga Pascual Duarte karya Camilo Jose Cela, seorang sastrawan besar dari Spanyol.
Cela memang digolongkan sebagai sastrawan yang menganut nihilisme dan anti kepahlawanan. Dalam Keluarga Pascual Duarte, tokoh utama yakni Pascual Duarte adalah sosok yang jahat dan terkutuk. Tak ada yang baik dari dirinya, karena tertutupi oleh kejahatan dan kebiadaban yang dilakukannya berulang-ulang. Hingga akhirnya, ia menunggu hukuman mati yang dijatuhkan oleh pengadilan.
Pascual kecil hidup dalam kemelaratan. Orang tuanya selalu saling memaki, saling memukul, dan saling membenci. Pascual selalu ketakutan saat melihat bapaknya marah dan memukuli ibunya. Ibunya tak kalah bengis, dan selalu melawan secara fisik jika dipukul. Pascual melihat sosok bapaknya sebagai monster yang paling jahat. Bahkan ketika bapaknya mati setelah terkena rabies, ia merasa senang. Tapi di sisi lain dia membenci ibunya karena tertawa lebar saat melihat bapaknya (suaminya) meninggal. Bapak Pascual matinya juga mengenaskan. Ia dikerangkeng di dalam almari berminggu-minggu seperti hewan sampai ajalnya datang. Sangat tidak manusiawi bukan?.
Gambaran kebiadaban perilaku seorang manusia tak berhenti disitu. Pascual dewasa mempunyai sisi psikologis yang “aneh”. Ia menikah dengan Lola yang ia setubuhi di pekuburan usai mengubur bapaknya. Lola hamil tapi keguguran akibat dihempaskan oleh kuda tunggangan dari punggungnya. Tahu akan hal itu, Pascual membunuh kudanya dengan sangat keji, yakni menikamkan pisau berulangkali.
Pascual yang ganjil terus menjalani hidupnya yang juga ganjil. Ia lalu membunuh seorang pria yang menodai adiknya, sekaligus menodai istrinya. Saat semua berlangsung terhadap dua wanita yang dia sayangi, Pascual sedang berada di penjara karena melukai seorang temannya hanya gara-gara saling ejek. Usai membunuh dia dipenjara. Tapi dia bisa menahan emosinya untuk berbuat baik agar masa hukumannya dipotong.
Keluar penjara dia pulang ke rumah. Ia berharap ibunya memeluknya karena kangen. Tapi ibunya ternyata sangat membencinya. Ibunya selalu marah-marah dengan umpatan-umpatan. Hingga tibalah saat yang menegangkan, yakni Pascual membunuh ibunya sendiri dengan tikaman berkali-kali. Saat itu, ibunya sedang tidur nyenyak. Lola istrinya hanya gemetar saat melihat adegan mengerikan itu.
Ah, benar-benar sebuah kisah yang buruk. Kisah orang-orang yang terkutuk. Tak ada nilai-nilai kemanusiaan yang coba dijunjung tinggi. Tak ada khotbah kebaikan seperti novel-novel pada umumnya. Tapi seperti kisah iblis yang menentang Adam, semua bisa berujung pada sisi positif. Karena yang buruk tak selalu berakibat buruk.
Satu hal terpenting adalah kisah Keluarga Pascual Duarte seakan hendak mengatakan “hei jangan seperti ini”. Tak heran jika Anthony Kerrigan saat memberi pengantar dalam novel ini menuturkan “Keluarga Pascual Duarte adalah studi tentag psikologi rasa takut, tentang sikap agresif yang tumbuh dari rasa takut dan rasa malu, dan mengenai rasa bersalah tentang kedua perasaan itu”.
Ketika membaca sampai pada bagian ini, saya langsung teringat studi kekerasan yang dilakukan F Budi Hardiman dalam bukunya Memahami Negativitas. Menurut dia, kekerasan bisa hadir secara liar dalam diri manusia karena berawal dari ketakutan. Dia takut eksistensinya hilang. Dia takut dengan “the other”. Seperti halnya ketika kelompok satu takut jika kelompok lain meniadakan kelompoknya. Ketakutan akan “yang lain” itu bisa berujung pada kekerasan yang mengerikan.
Selamat membaca novel tersebut!. Salam!.
Surabaya, 23 Maret 2011
Label:
Jejak Buku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar