Senin, 23 Januari 2017

Menjual, Menumpuk, dan Membaca

Oleh: Nanang Fahrudin

Buku-buku itu tertata tak rapi di empat lemari beda ukuran dan bentuk. Semua lemari berpintu dan berkaca. Karena memang sejak awal lemari itu dibikin bukan bukan untuk menyimpan buku. Lemari pertama awalnya untuk menyimpan barang-barang pajangan. Saya memesan pada seorang tetangga yang biasa mengolah kayu. Lantaran tak ada barang yang bisa dipajang di ruang tamu, akhirnya buku saya masukkan ke sana. Jadilah deretan buku dua saf. Tidak rapi tentunya. 

Lemari kedua adalah lemari jadul yang dulu adalah lemari pakaian. Lantaran tak dipakai, akhirnya lemari itu saya plitur ulang dan diganti kaca depan. Buku-buku pun masuk kesana. Dan lagi-lagi buku tak bisa rapi. Paling atas saya paki menyimpan klipingan koran. Yang ketiga adalah lemari dari membeli ke tetangga. Lemari itu awalnya di gudang rumah jogjlo yang isinya satu persatu dijual. Saya membeli dua barang. Lemari dan sketsel bergambar Pangeran Diponegoro. Lemari itulah yang kemudian menampung buku-buku saya. 

Lemari keempat saya peroleh dari gudang. Dulu lemari di dapur untuk menyimpan cobek, piring, dan lainnya. Lemari rongsokan itu kemudian saya perbaiki dengan dicat dan diganti kaca. Jadilah seperti baru. Sekarang lemari itu menampung buku-buku saya campur denga buku sekolah dua anak saya. Begitulah informasi tak penting ini saya sampaikan dengan singkat.

Lalu, darimana saya mendapat buku-buku itu?

Saya awalnya bukan pembaca yang baik. Sampai sekarang pun saya merasa bukan pembaca yang baik. Keluarga saya tak ada yang benar-benar menyukai membaca. Kalau sekadar membaca, semua orang pasti membaca. Waktu kecil, saya hampir menangis hanya gara-gara minta dibelikan majalah Bobo, yang akhirnya dibelikan juga. Dan seingat saya, itu adalah satu-satunya majalah yang terbeli oleh ibu saya. 

Kuliah di Malang tahun 1997-2002, lalu berteman dengan teman-teman PMII, memaksa saya membaca. Lalu, dimulailah “petualangan” mencari buku. Ke perpustakaan kampus atau ke Blok M (sebelum digusur), dan ke Jalan Sriwijaya depan kantor Malang Post.  Di lapak-lapak kecil di Sriwijaya, saya membeli beberapa buku bekas, diantaranya setumpuk majalah Horison lawas yang harganya 1.000 an. Saya juga sering menyambangi toko-toko buku kecil di sekitar kampus Unisma ataupun STAIN waktu itu.

Melompat ke tahun 2010, ketika di Jakarta, saya sering jalan ke Jalan Kwitang yang sudah digusur dan menyisakan beberapa pedagang. Juga ke Pasa Senen di lantai 4 yang berderet-deret penjual buku bekas. Di setiap lapak selalu ada kursi kecil untuk kita bisa duduk dan berlama-lama memilih buku. Lain waktu saya ke lapak-lapak buku bekas yang menempel di terminal Pasar Senen.  Satu-persatu buku kubawa pulang.

Tahun 2011-2013 adalah tahun yang menyenangkan untuk berburu buku. Saya berada di Surabaya dan tiap hari blusukan di Jalan Semarang. Kampung Ilmu sudah seperti “kantor” kedua. Warung kopi di tengah-tengah deretan lapak adalah langganan menghabiskan waktu siang sebelum ngantor. Pada tahun-tahun itulah saya nyambi buka lapak online buku bekas. Meski ternyata lebih banyak yang saya masukkan ke lemari sendiri.

Buku-buku Pramoedya Ananta Toer seperti Arus Balik, Gadis Pantai, Tetralogi Buru, Hoa Kiau di Indonesia, Cerita dari Blora, dan buku-buku Pram lain saya kumpulkan dari lapak-lapak di Surabaya ini. Buku lain semacam Abangan, Santri, Priyayi karya Clifford Geertz saya simpan satu dan beberapa eksemplar saya jual. 

Waktu mengumpulkan buku-buku itu, kemudian sebagian saya jual, saya tak berpikir bahwa buku-buku itu di kemudian hari akan sulit diperoleh. Beruntung saya menyimpan beberapa dan tidak menjualnya. Seperti buku Kitab Lupa dan Gelak Tawa terbitan Bentang, buku-buku karya Emha Ainun Nadjib, dan buku-buku sastra terbitan Pustaka Jaya. Juga buku cerita anak seperti Komponis Ketjil karya Susilo Toer yang kemudian hari dicetak ulang. Saya menyimpannya dan kini merasa beruntung.

Kini, pedagang online sangat banyak. Pemburu buku-buku lama terus bermunculan. Dan sejak awal tahun 2016, saya tinggal di Jogja yang konon menjadi gudangnya buku lawas. Sayang, saya tak banyak waktu lagi untuk berburu sebagaimana yang saya lakukan sebelumnya. Saya kini hanya mencari buku ala kadarnya saja dan mencoba mengerem langkah.  Keyakinan saya masih tetap sama bahwa buku akan berjodoh dengan pemiliknya. Begitulah.

Sedikit-sedikit saya masih kangen untuk menjual buku dan itu tetap saya lunasi. Berburu buku juga tetap saya lakukan dengan langkah diperpendek. Dan mengumpulkan buku menjadi hiburan yang menyenangkan di tengah dunia yang bising oleh kebencian dan tindakan-tindakan intoleransi. Di tengah budaya sweeping buku, dan sebagainya.  Apa ada lagi hiburan seorang penyuka buku, selain memburunya, menumpuknya, membacanya, dan menciumnya. 

Melihat tumpukan buku selalu menghadirkan obsesi besar saya tentang buku. Angan-angan meninggi dan setumpuk harap bertunas setiap waktu setelah memegangi buku. Saya mengangankan punya penerbit di tempat kelahiran saya, Bojonegoro, yang selalu tak dilirik oleh pecinta buku. Saya harus membuktikan bahwa Bojonegoro juga kaya buku. Begitulah angan, begitulah harap, yang harus dilunasi.

Duh, banyak sekali yang hendak saya tulis. Tapi saya sudahi saja.  Selamat berburu buku, menumpuknya, membacanya, dan menciumnya. 

Jogja, 16 Januari 2017


Senin, 16 Januari 2017

Tragedi Hidup Leany dan George

Oleh: Nanang Fahrudin

Catatan Pendek Membaca Buku “Of Mice and Men” karya John Steinbeck

Kita akan bertemu Leany. Kita juga akan bertemu George. Dimana? Tentu di sekitar kita. Kita akan bertemu dengan kecerdasan, kebodohan, rasa takut, kemarahan, merasa sangat hina, dan juga bertemu dengan mimpi yang indah. Ya. Bukankah dunia ini adalah jalan yang selalu terbuka akan banyak kemungkinan?

Ah, jangan bingung. Maaf jika saya membingungkan anda. Siapa Leany dan George? Dua orang ini adalah tokoh fiksi dalam novel Of Mice and Men John Steinbeck.  Steinbeck begitu mahir membangun kisah yang satir, tragis, dan sesekali penuh kelucuan. Leany dan George adalah sebuah tragedi kehidupan.

Begini kisah singkatnya (dipadu dengan imajinasi saya). Leany dan George adalah dua laki-laki pekerja kasar di sebuah peternaakan di Amerika tahun 1900 an. (Steinbeck tak menyebut tahun, tapi biarlah tahun itu yang menjadi bayangan saya). Mereka adalah kaum miskin Amerika yang hidup dengan cara menjual tenaga dari satu peternakan ke peternakan lainnya. Mereka melarikan diri dari sebuah peternakan  di Weed karena Leany melakukan kesalahan. George adalah teman baik dan selalu melindunginya.

Leany adalah laki-laki berbadan besar tapi otaknya kosong. Bahkan, ia selalu lupa apa yang dikatakan George atau siapapun. Tenaganya kuat seperti banteng. George selalu meyakinkan siapapun bahwa Leany tidak gila, melainkan hanya bodoh. Tapi dia bisa diperintah untuk mengangkat beban berat, jadi cocok untuk pekerja kasar.

Sedang George adalah laki-laki kecil, lincah dan cerdik. Panjang akal. Dia sudah lama bersama dengan Leany dan selalu melindunginya. Seringkali ia memarahi Leany karena perilaku-perilakunya yang aneh. Diantaranya kesukaan Leany mengantongi tikus mati dan mengelus-elusnya. George ingin bekerja, mengumpulkan uang, lalu membeli sebidang tanah dan rumah. Ia ingin hidup tenteram dengan hak milik.

Setelah melarikan diri dari peternakan Weed, mereka diterima bekerja di sebuah peternakan lain. Ada banyak pekerja di sana. Sebagaimana kehidupan masyarakat miskin, mereka tinggal di kamar-kamar khusus pekerja. George selalu mengkhawatirkan Leany, sehingga siapapun yang bertanya ke Leany, George lah yang menjawab. George tak ingin Leany menemui masalah dengan kebodohannya.

Mereka kemudian membangun mimpi bersama. George selalu diminta untuk mengatakan mimpi itu berulang-ulang. Itulah kesenangan Leany: mendengar mimpi-mimpi diucapkan. “Kita akan membangun rumah kecil, ada kebun buah, kelinci-kelinci kecil yang lucu,” kata George. “Lanjutkan ceritanya George. Aku mohon George,” kata Leany. Ya, Leany akan sangat bahagia saat George selalu mengulang mimpi-mimpi itu, seakan mimpi itulah kehidupan nyatanya yang patut disyukuri.

Hingga pada malam, semua pekerja keluar untuk bersenang-senang. Leany tinggal sendiri di lumbung besar penuh jerami. Ia mengelus-elus anak anjing yang sudah mati. Secara tak sengaja, Leany telah membunuh anak anjing itu. Karena tenaganya yang besar, meski ia bermaksud mengelus-elus, tapi tangannya bisa mencekik atau melukai. Begitulah.

Lalu datang istri Curley mendekat dan menggodanya. Curley adalah anak bos peternakan. Sedang istrinya dikenal sebagai perempuan nakal, suka keluyuran ke kamar-kamar pekerja. Dan sekarang, ia datang ke Leany untuk sekadar ngobrol. Tapi Leany menolaknya. “George melarangku berbicara denganmu,,” kata Leany yang diulang-ulang terus.

Tapi istri Curley terus bercerita dan mendekat. Puncaknya adalah tangan Leany diminta membelai rambut perempuan itu. Leany yang memang menyukai sesuatu yang lembut, tak menolaknya. Ia terus membelai. Tapi lama kelamaan belaian itu seperti cengkeraman, dan perempuan itu menyingkirkan tangan Leany. Tangan Leany menyangkut rambut, dan perempuan itu terus berteriak. Leany panik dan memintanya tidak berteriak. Dia sangat takut kalau George mendengar dan akan marah, dan dia dilarang mengelus-ngelus kelinci.

Perempuan itu makin teriak dan takut, sedang Leany makin takut dan bingung. Cengkeraman makin kuat. Dan tangan Leany membekap mulut perempuan itu hanya bermaksud agar dia tidak berteriak dan didengan George. Sampai akhirnya perempuan itu tak bergerak dengan leher terpelintir hampir putus. Peternakan gempar, Leany melarikan diri.

Kisah ini ditutup dengan sebuah tragedi. Leany yang mengalami delusi, membayangkan bertemu dengan Bibi Clara, berada di rumah impian dengan kelinci-kelinci, dan terakhir bertemu dengan George yang tak memarahinya. Ia meracau di tepi sungai tempatnya bersembunyi menunggu George. Lalu, Leany rubuh bersimbah darah. Pistol masih di tangan George. Ya, George telah mengakhiri mimpi Leany. George yang bertahun-tahun melindunginya.

*** 

Ada semacam perasaan haru dan sedih setelah membaca buku ini. Selalu ada derita dalam bahagia. Selalu ada harap dalam ketidakberdayaan. Selalu ada akhir dalam sebuah permulaan. Bagaimanapun, kita sering dihimpit oleh ketidakberdayaan, namun akan selalu bisa keluar dengan jalan yang kita yakini benar.  Kisah dalam buku ini bukan sedang berkhutbah, tetapi memberi cermin bagi kehidupan kita.

Apa yang dilakukan Leany dengan aksi kekerasannya, bisa dipandang sebagai sebuah luapan ketakutan. Dia tidak pernah berniat atau dengan sengaja membunuh. Dia hanya sangat takut dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Persis ketika kita diliputi rasa takut, lalu melakukan hal-hal yang melewati batas.

Seseorang takut dengan “yang lain” lalu melindungi diri dengan cara menerkam “yang lain”. Seseorang takut miskin di masa depan, dia akan mengumpulkan uang sebanyak mungkin dan kalau perlu korupsi. Ketakutan dan kekerasan seringkali menjadi sebab-akibat yang saling tumpang tinduh. Studi tentang ini bisa dibaca di buku Memahami Negativitas karya F. Budi Hardiman. Ketakutan bisa membawa kekerasan.

Ah, sudahlah. Silahkah anda membacanya sendiri. Salam untuk Leany dan George.

Ohya, saya membaca buku yang versi bahasa Indonesia terbitan Ufuk tahun 2006. Jadi bukan buku bahasa Inggris atau terbitan Lenter Dipantara yang terjemahan Pramoedya Ananta Toer itu. Tapi tidak apa-apa. Tetap mendebarkan.


Jogja, 17 Januari 2017 

Minggu, 15 Januari 2017

Wedang Kopi Mas Guru


Oleh: Nanang Fahrudin

“Wedang kopi panas disajikan dengan cangkir putih kembang-kembang. Jian, kenapa kok rasanya beda ya. Wedang yang begini lebih terasa nikmat dibandingkan dengan wedang yang disajikan dengan gelas bening”.

Aku mengatakan itu kepada Kang Tolib sambil jegrang di warung Mak Ni. Kang Tolib yang kuajak ngobrol malah cengar-cengir sambil tatapannya mengarah ke perempuan seksi penjual rokok. Haduh ini jelas-jelas maksiat dan melecehkan teman. Wong diajak ngobrol malah matanya kemana-mana.

“Kang!” kataku sambil neblek bahunya.

“Eh, kowe ki mengagetkan saja. Jantungku ki lemah lho,” katanya sambil membetulkan posisi pantatnya seperti orang sedang menahan kentut.

“Lha kowe ki dijak ngomong malah matanya piknik kemana-mana. Hayo apa yang kubicarakan tadi,” kataku agak marah.

“Halah, kowe ki kok mudah sekali marah to. Wong begitu saja kok marah. Mbok dadi wong itu yang sabaran dikit. Masa aku harus memperhatikan dirimu dan melewatkan perempuan tadi. Kan aneh jadinya. Haha.”

“Sekarepem wes.”

“Lho. Mbok jangan mudah marah begitu. Apa kamu sekarang sudah seperti orang-orang itu. Yang mudah marah, mengumbarnya di media sosial, merasa paling benar sendiri,” kata Kang Tolib.
Aku tidak melanjutkan obrolan itu. Dan kebetulan Mas Guru lewat. Langsung saja kusapa dan kupersilahkan ikut ngopi. Bersyukur dia berkenan. Maka jadilah kita bertiga ngopi sambil ngobrol kemari kesana.

Mas Guru adalah orang yang baik. Kami mengenalnya sebagai orang yang  tidak ngetok-ngetokno ilmunya. Rendah hati. Aku dan Kang Tolib selalu senang kalau ngopi bareng dia. Selalu ada saja ada yang menarik untuk dibicarakan, dan itu berbeda ketika aku dan Kang Tolib ngobrol.   

“Mas Guru, menurutmu kenapa orang sekarang mudah sekali marah ya. Dan perbedaan seperti sesuatu yang mengancam kehidupan kita,”  tanya Kang Tolib sambil nyomot pisang goreng anget. Di warung, makin banyak orang yang datang. Rata-rata pegawai negeri yang korupsi waktu kerja.

“Ah sampean terlalu banyak melihat dunia dari media sosial saja. Saya juga tidak tahu, media sosial dipenuhi dengan orang-orang yang marah-marah melulu. Tapi, coba lihat juga masyarakat yang berada di sawah, pasar tradisional, warung kopi begini, kan adem ayem saja. Ya sebenarnya yang mudah marah itu yang orang-orang gede itu, yang kemudian mengajak orang-orang kecil seperti kita,” katanya.

“Tapi, di medsos kan tidak semua orang gede. Banyak wong cilik juga seperti kita ini. Tapi mereka juga sering marah-marah,” kataku. Wedang kusruput lagi dikit.

“Ya, medsos macam fesbuk memang unik. Fesbuk adalah produk dari modernitas, yang seharusnya mengarahkan manusia kepada kesetaraan dan kebebasan sebagaimana watak modernitas. Tapi kenyataannya, fesbuk malah membawa orang pada kepicikan berpikir, pemutlakkan identitas, dan sangat yakin bahwa dirinya adalah paling benar. Akibatnya orang mudah tersulut emosinya, meski gara-gara kabar tak benar. Yang penting marah dulu,”

“Dan orang-orang yang marah itu seakan-akan yakin bahwa Tuhan juga marah kepada orang yang dimarahi. Sehingga, mereka meyakini telah menjadi wakil Tuhan untuk marah.  Saya ingat wejangan Gus Mus. Begini kata beliau. Bahwa kita seringkali merasa ketika kita marah, Tuhan juga sama marahnya. Jadi kita menyamakan diri kita dengan Tuhan. Padahal kita adalah ciptaannya yang sama-sama keciiiiilllll banget. Kita hanya sama-sama makhluk Tuhan”.

“Terus gimana Mas Guru?” tanya Kang Tolib.

“Apanya yang gimana,” kataku. Entah kenapa aku selalu bengkerengan kalo sama Kang Tolib. Tapi ya kami tetap cengengas cengenges gitu. Mungkin gaya persahabatan kami model begitu. Lebih asyik.

“Ya ndak gimana-gimana. Kita perlu pandai-pandai menjaga diri. Jangan ikut-ikutan marah. Tidak perlu ngeshare apa-apa di fesbuk yang berujung pada kebencian. Biarkan mereka begitu. Kita berdoa saja semoga semua baik-baik saja,”  kata Mas Guru.

Aku dan Kang Tolib beradu tatap. Aku tahu apa yang dipikirkan Kang Tolib. Pasti dia minta wedang kopinya dibayari Mas Guru. Jian kurang ajar banget kok pancen.

Jogja, 15 Januari 2017
 
© Copyright 2035 godongpring