Oleh: Nanang Fahrudin
Buku-buku itu tertata tak rapi di empat lemari beda ukuran dan bentuk. Semua lemari berpintu dan berkaca. Karena memang sejak awal lemari itu dibikin bukan bukan untuk menyimpan buku. Lemari pertama awalnya untuk menyimpan barang-barang pajangan. Saya memesan pada seorang tetangga yang biasa mengolah kayu. Lantaran tak ada barang yang bisa dipajang di ruang tamu, akhirnya buku saya masukkan ke sana. Jadilah deretan buku dua saf. Tidak rapi tentunya.
Lemari kedua adalah lemari jadul yang dulu adalah lemari pakaian. Lantaran tak dipakai, akhirnya lemari itu saya plitur ulang dan diganti kaca depan. Buku-buku pun masuk kesana. Dan lagi-lagi buku tak bisa rapi. Paling atas saya paki menyimpan klipingan koran. Yang ketiga adalah lemari dari membeli ke tetangga. Lemari itu awalnya di gudang rumah jogjlo yang isinya satu persatu dijual. Saya membeli dua barang. Lemari dan sketsel bergambar Pangeran Diponegoro. Lemari itulah yang kemudian menampung buku-buku saya.
Lemari keempat saya peroleh dari gudang. Dulu lemari di dapur untuk menyimpan cobek, piring, dan lainnya. Lemari rongsokan itu kemudian saya perbaiki dengan dicat dan diganti kaca. Jadilah seperti baru. Sekarang lemari itu menampung buku-buku saya campur denga buku sekolah dua anak saya. Begitulah informasi tak penting ini saya sampaikan dengan singkat.
Lalu, darimana saya mendapat buku-buku itu?
Saya awalnya bukan pembaca yang baik. Sampai sekarang pun saya merasa bukan pembaca yang baik. Keluarga saya tak ada yang benar-benar menyukai membaca. Kalau sekadar membaca, semua orang pasti membaca. Waktu kecil, saya hampir menangis hanya gara-gara minta dibelikan majalah Bobo, yang akhirnya dibelikan juga. Dan seingat saya, itu adalah satu-satunya majalah yang terbeli oleh ibu saya.
Kuliah di Malang tahun 1997-2002, lalu berteman dengan teman-teman PMII, memaksa saya membaca. Lalu, dimulailah “petualangan” mencari buku. Ke perpustakaan kampus atau ke Blok M (sebelum digusur), dan ke Jalan Sriwijaya depan kantor Malang Post. Di lapak-lapak kecil di Sriwijaya, saya membeli beberapa buku bekas, diantaranya setumpuk majalah Horison lawas yang harganya 1.000 an. Saya juga sering menyambangi toko-toko buku kecil di sekitar kampus Unisma ataupun STAIN waktu itu.
Melompat ke tahun 2010, ketika di Jakarta, saya sering jalan ke Jalan Kwitang yang sudah digusur dan menyisakan beberapa pedagang. Juga ke Pasa Senen di lantai 4 yang berderet-deret penjual buku bekas. Di setiap lapak selalu ada kursi kecil untuk kita bisa duduk dan berlama-lama memilih buku. Lain waktu saya ke lapak-lapak buku bekas yang menempel di terminal Pasar Senen. Satu-persatu buku kubawa pulang.
Tahun 2011-2013 adalah tahun yang menyenangkan untuk berburu buku. Saya berada di Surabaya dan tiap hari blusukan di Jalan Semarang. Kampung Ilmu sudah seperti “kantor” kedua. Warung kopi di tengah-tengah deretan lapak adalah langganan menghabiskan waktu siang sebelum ngantor. Pada tahun-tahun itulah saya nyambi buka lapak online buku bekas. Meski ternyata lebih banyak yang saya masukkan ke lemari sendiri.
Buku-buku Pramoedya Ananta Toer seperti Arus Balik, Gadis Pantai, Tetralogi Buru, Hoa Kiau di Indonesia, Cerita dari Blora, dan buku-buku Pram lain saya kumpulkan dari lapak-lapak di Surabaya ini. Buku lain semacam Abangan, Santri, Priyayi karya Clifford Geertz saya simpan satu dan beberapa eksemplar saya jual.
Waktu mengumpulkan buku-buku itu, kemudian sebagian saya jual, saya tak berpikir bahwa buku-buku itu di kemudian hari akan sulit diperoleh. Beruntung saya menyimpan beberapa dan tidak menjualnya. Seperti buku Kitab Lupa dan Gelak Tawa terbitan Bentang, buku-buku karya Emha Ainun Nadjib, dan buku-buku sastra terbitan Pustaka Jaya. Juga buku cerita anak seperti Komponis Ketjil karya Susilo Toer yang kemudian hari dicetak ulang. Saya menyimpannya dan kini merasa beruntung.
Kini, pedagang online sangat banyak. Pemburu buku-buku lama terus bermunculan. Dan sejak awal tahun 2016, saya tinggal di Jogja yang konon menjadi gudangnya buku lawas. Sayang, saya tak banyak waktu lagi untuk berburu sebagaimana yang saya lakukan sebelumnya. Saya kini hanya mencari buku ala kadarnya saja dan mencoba mengerem langkah. Keyakinan saya masih tetap sama bahwa buku akan berjodoh dengan pemiliknya. Begitulah.
Sedikit-sedikit saya masih kangen untuk menjual buku dan itu tetap saya lunasi. Berburu buku juga tetap saya lakukan dengan langkah diperpendek. Dan mengumpulkan buku menjadi hiburan yang menyenangkan di tengah dunia yang bising oleh kebencian dan tindakan-tindakan intoleransi. Di tengah budaya sweeping buku, dan sebagainya. Apa ada lagi hiburan seorang penyuka buku, selain memburunya, menumpuknya, membacanya, dan menciumnya.
Melihat tumpukan buku selalu menghadirkan obsesi besar saya tentang buku. Angan-angan meninggi dan setumpuk harap bertunas setiap waktu setelah memegangi buku. Saya mengangankan punya penerbit di tempat kelahiran saya, Bojonegoro, yang selalu tak dilirik oleh pecinta buku. Saya harus membuktikan bahwa Bojonegoro juga kaya buku. Begitulah angan, begitulah harap, yang harus dilunasi.
Duh, banyak sekali yang hendak saya tulis. Tapi saya sudahi saja. Selamat berburu buku, menumpuknya, membacanya, dan menciumnya.
Jogja, 16 Januari 2017