Oleh: Nanang Fahrudin
Catatan Pendek Membaca Buku “Of Mice and Men” karya John
Steinbeck
Kita akan bertemu Leany. Kita juga akan bertemu George. Dimana?
Tentu di sekitar kita. Kita akan bertemu dengan kecerdasan, kebodohan, rasa
takut, kemarahan, merasa sangat hina, dan juga bertemu dengan mimpi yang indah.
Ya. Bukankah dunia ini adalah jalan yang selalu terbuka akan banyak
kemungkinan?
Ah, jangan bingung. Maaf jika saya membingungkan anda. Siapa
Leany dan George? Dua orang ini adalah tokoh fiksi dalam novel Of Mice and
Men John Steinbeck. Steinbeck begitu
mahir membangun kisah yang satir, tragis, dan sesekali penuh kelucuan. Leany
dan George adalah sebuah tragedi kehidupan.
Begini kisah singkatnya (dipadu dengan imajinasi saya).
Leany dan George adalah dua laki-laki pekerja kasar di sebuah peternaakan di Amerika
tahun 1900 an. (Steinbeck tak menyebut tahun, tapi biarlah tahun itu yang
menjadi bayangan saya). Mereka adalah kaum miskin Amerika yang hidup dengan
cara menjual tenaga dari satu peternakan ke peternakan lainnya. Mereka
melarikan diri dari sebuah peternakan di
Weed karena Leany melakukan kesalahan. George adalah teman baik dan selalu
melindunginya.
Leany adalah laki-laki berbadan besar tapi otaknya kosong.
Bahkan, ia selalu lupa apa yang dikatakan George atau siapapun. Tenaganya kuat
seperti banteng. George selalu meyakinkan siapapun bahwa Leany tidak gila,
melainkan hanya bodoh. Tapi dia bisa diperintah untuk mengangkat beban berat,
jadi cocok untuk pekerja kasar.
Sedang George adalah laki-laki kecil, lincah dan cerdik. Panjang
akal. Dia sudah lama bersama dengan Leany dan selalu melindunginya. Seringkali
ia memarahi Leany karena perilaku-perilakunya yang aneh. Diantaranya kesukaan
Leany mengantongi tikus mati dan mengelus-elusnya. George ingin bekerja,
mengumpulkan uang, lalu membeli sebidang tanah dan rumah. Ia ingin hidup
tenteram dengan hak milik.
Setelah melarikan diri dari peternakan Weed, mereka diterima
bekerja di sebuah peternakan lain. Ada banyak pekerja di sana. Sebagaimana
kehidupan masyarakat miskin, mereka tinggal di kamar-kamar khusus pekerja.
George selalu mengkhawatirkan Leany, sehingga siapapun yang bertanya ke Leany,
George lah yang menjawab. George tak ingin Leany menemui masalah dengan
kebodohannya.
Mereka kemudian membangun mimpi bersama. George selalu
diminta untuk mengatakan mimpi itu berulang-ulang. Itulah kesenangan Leany:
mendengar mimpi-mimpi diucapkan. “Kita akan membangun rumah kecil, ada kebun
buah, kelinci-kelinci kecil yang lucu,” kata George. “Lanjutkan ceritanya
George. Aku mohon George,” kata Leany. Ya, Leany akan sangat bahagia saat
George selalu mengulang mimpi-mimpi itu, seakan mimpi itulah kehidupan nyatanya
yang patut disyukuri.
Hingga pada malam, semua pekerja keluar untuk
bersenang-senang. Leany tinggal sendiri di lumbung besar penuh jerami. Ia
mengelus-elus anak anjing yang sudah mati. Secara tak sengaja, Leany telah
membunuh anak anjing itu. Karena tenaganya yang besar, meski ia bermaksud
mengelus-elus, tapi tangannya bisa mencekik atau melukai. Begitulah.
Lalu datang istri Curley mendekat dan menggodanya. Curley
adalah anak bos peternakan. Sedang istrinya dikenal sebagai perempuan nakal,
suka keluyuran ke kamar-kamar pekerja. Dan sekarang, ia datang ke Leany untuk
sekadar ngobrol. Tapi Leany menolaknya. “George melarangku berbicara denganmu,,”
kata Leany yang diulang-ulang terus.
Tapi istri Curley terus bercerita dan mendekat. Puncaknya
adalah tangan Leany diminta membelai rambut perempuan itu. Leany yang memang
menyukai sesuatu yang lembut, tak menolaknya. Ia terus membelai. Tapi lama
kelamaan belaian itu seperti cengkeraman, dan perempuan itu menyingkirkan
tangan Leany. Tangan Leany menyangkut rambut, dan perempuan itu terus
berteriak. Leany panik dan memintanya tidak berteriak. Dia sangat takut kalau
George mendengar dan akan marah, dan dia dilarang mengelus-ngelus kelinci.
Perempuan itu makin teriak dan takut, sedang Leany makin
takut dan bingung. Cengkeraman makin kuat. Dan tangan Leany membekap mulut
perempuan itu hanya bermaksud agar dia tidak berteriak dan didengan George.
Sampai akhirnya perempuan itu tak bergerak dengan leher terpelintir hampir
putus. Peternakan gempar, Leany melarikan diri.
Kisah ini ditutup dengan sebuah tragedi. Leany yang
mengalami delusi, membayangkan bertemu dengan Bibi Clara, berada di rumah
impian dengan kelinci-kelinci, dan terakhir bertemu dengan George yang tak
memarahinya. Ia meracau di tepi sungai tempatnya bersembunyi menunggu George.
Lalu, Leany rubuh bersimbah darah. Pistol masih di tangan George. Ya, George
telah mengakhiri mimpi Leany. George yang bertahun-tahun melindunginya.
***
Ada semacam perasaan haru dan sedih setelah membaca buku
ini. Selalu ada derita dalam bahagia. Selalu ada harap dalam ketidakberdayaan. Selalu
ada akhir dalam sebuah permulaan. Bagaimanapun, kita sering dihimpit oleh
ketidakberdayaan, namun akan selalu bisa keluar dengan jalan yang kita yakini
benar. Kisah dalam buku ini bukan sedang
berkhutbah, tetapi memberi cermin bagi kehidupan kita.
Apa yang dilakukan Leany dengan aksi kekerasannya, bisa
dipandang sebagai sebuah luapan ketakutan. Dia tidak pernah berniat atau dengan
sengaja membunuh. Dia hanya sangat takut dan tak tahu apa yang harus dilakukan.
Persis ketika kita diliputi rasa takut, lalu melakukan hal-hal yang melewati
batas.
Seseorang takut dengan “yang lain” lalu melindungi diri
dengan cara menerkam “yang lain”. Seseorang takut miskin di masa depan, dia
akan mengumpulkan uang sebanyak mungkin dan kalau perlu korupsi. Ketakutan dan
kekerasan seringkali menjadi sebab-akibat yang saling tumpang tinduh. Studi
tentang ini bisa dibaca di buku Memahami Negativitas karya F. Budi Hardiman.
Ketakutan bisa membawa kekerasan.
Ah, sudahlah. Silahkah anda membacanya sendiri. Salam untuk
Leany dan George.
Ohya, saya membaca buku yang versi bahasa Indonesia terbitan
Ufuk tahun 2006. Jadi bukan buku bahasa Inggris atau terbitan Lenter Dipantara
yang terjemahan Pramoedya Ananta Toer itu. Tapi tidak apa-apa. Tetap
mendebarkan.
0 komentar:
Posting Komentar