Oleh : Nanang Fahrudin
Kopi tak pernah lelah hadir. Sekali-kali dengarkanlah dengan hati kala dia berbisik. Ia akan mengundang keakraban. Aromanya akan melukisi angin. Menepuk-nepuk mesra wajah siapa saja yang duduk santai di sampingnya.
Ah, mungkin aku terlalu puitis tentang kopi. Maksudku kopi yang ada di sampingku sebenarnya biasa-biasa saja. Aromanya juga biasa-biasa saja. Hanya memang ada kalanya suasana yang ikut hadir bersama kehadiran kopi itulah yang menyenangkan. Jadinya kopi selalu mengundang ketentraman.
“Bubuk kopinya ndak bisa halus,” kata si penjual.
“Lho kenapa?”
“Karena kopinya ditumbuk sendiri, jadi ndak digiling pake mesin”
“Ooo….!!!”
Aku bersama seorang kawan mampir di warung kopi itu. Berada di belakang masjid Jami’ Kota Gresik. Kebetulan aku sendiri tidak memesan kopi pagi itu. Tapi minumanku tak kalah asyik. Namanya Secang.
“Minuman ini dari rendaman kayu secang, jadi warnanya merah. Trus dicampur teh, jahe, dan kapulada”
Aku pun langsung nyruput dan hmm…rasanya memang enak. Apalagi jika diminum pas masih panas. Sambil nyruput Secang aku berpikir. Kopi ternyata juga memilih caranya sendiri untuk hadir. Kopi Cak Rokim-begitu kami menyebutnya-adalah salah satu contohnya. Bubuknya saja anti teknologi, digoreng lalu ditumbuk dengan tenaga tangan, bukan mesin giling. Apa pemiliknya juga anti modernitas?. Ah, lagi-lagi aku memaknai sesuatu terlalu besar. Kuminum lagi saja Secang ku.
Tapi kopi itu benar-benar menarik perhatianku. Kopi itu disuguhkan kepada pembeli dengan sendok ditaruh di lepek. Penjual tidak mengaduk terlebih dulu melainkan langsung diberikan ke pembeli. Karena pembeli akan mengaduknya sendiri, perlahan dengan irama sedang. Usai diaduk, bubuk kopi yang kasar akan mengapung di atas. Dan ternyata sendok yang disiapkan itu berfungsi untuk mengambil bubuk kopi yang mengapung di gelas, lalu ditaruh di wadah yang juga disiapkan khusus.
“Nah, soal menyajikan kopi ternyata juga tak selalu sama. Kopi benar-benar indah” kataku dalam hati. Memang kita (saya maksudnya) sering lebih melihat hasil daripada proses. Padahal segala hasil selalu didahului proses, entah itu mudah atau sulit. Kita (aduh lagi-lagi saya mengklaim mewakili orang banyak) sering melihat sebuah kebenaran tanpa melihat proses pencarian kebenaran itu. Padahal melihat proses bisa merasa lebih dekat dengan obyek yang dilihat. Ya contohnya kopi tadi.
Usai upacara penyajian kopi itu, kami (saya dan kawan Chusnul Cahyadi) asyik ngobrol kesana kemari. Sesekali disela oleh pembeli kopi yang sudah jadi pelanggan. Para pembeli satu dua orang datang, begitu akrab antara satu dengan yang lain. Saling tegur sapa, bersalaman, dan ah kopi memang mengundang keakraban.
***
Malam sebelumnya aku juga berteman kopi, tepatnya kopi susu. Mardi Luhung, penyair asal Gresik memesan kopi hitam dan es teh. Ashadi Iksan kawan dekat yang juga satu profesi denganku memesan teh panas. Ajhi Ramadhan, anak Mardi Luhung yang baru saja menerbitkan buku kumpulan puisinya, memesan es teh. Kami duduk lesehan santai di pojok alun-alun, di sebuah warung kopi yang dilengkapi pesawat televisi. Udara malam tak begitu terasa.
“Menulis itu harus dipaksa” kata HU. Kami biasa memanggil Mardi Luhung demikian. Ia lalu bercerita tentang proses dirinya di dunia sastra. Awalnya dia penyair, lalu mencoba masuk di dunia cerpen. Ia sadar dalam hidup harus bergerak, harus tidak stagnan. Dalam menulis pun harus terus bereksplorasi.
“Anakku yang perempuan sedang menulis cerpen. Gaya tulisannya mirip Susana Tamaro. Karena dia membacai karya-karya Susana” katanya.
Ditemani kopi dan teh kami larut dalam obrolan. Kedatanganku malam-malam ke Gresik memang mendambakan obrolan santai ini. Dan tentu ingin merasakan kopinya. Tak terasa malam beranjak pagi. Kami lelah dan akhirnya meninggalkan warung kopi itu. Warung kopi yang entah sudah berapa kali kami hampiri. Kopi yang menemani kami ngobrol, atau obrolan itu yang menemani kopi. Entahlah.
Gresik, 24/25 April 2012
Kopi tak pernah lelah hadir. Sekali-kali dengarkanlah dengan hati kala dia berbisik. Ia akan mengundang keakraban. Aromanya akan melukisi angin. Menepuk-nepuk mesra wajah siapa saja yang duduk santai di sampingnya.
Ah, mungkin aku terlalu puitis tentang kopi. Maksudku kopi yang ada di sampingku sebenarnya biasa-biasa saja. Aromanya juga biasa-biasa saja. Hanya memang ada kalanya suasana yang ikut hadir bersama kehadiran kopi itulah yang menyenangkan. Jadinya kopi selalu mengundang ketentraman.
“Bubuk kopinya ndak bisa halus,” kata si penjual.
“Lho kenapa?”
“Karena kopinya ditumbuk sendiri, jadi ndak digiling pake mesin”
“Ooo….!!!”
Aku bersama seorang kawan mampir di warung kopi itu. Berada di belakang masjid Jami’ Kota Gresik. Kebetulan aku sendiri tidak memesan kopi pagi itu. Tapi minumanku tak kalah asyik. Namanya Secang.
“Minuman ini dari rendaman kayu secang, jadi warnanya merah. Trus dicampur teh, jahe, dan kapulada”
Aku pun langsung nyruput dan hmm…rasanya memang enak. Apalagi jika diminum pas masih panas. Sambil nyruput Secang aku berpikir. Kopi ternyata juga memilih caranya sendiri untuk hadir. Kopi Cak Rokim-begitu kami menyebutnya-adalah salah satu contohnya. Bubuknya saja anti teknologi, digoreng lalu ditumbuk dengan tenaga tangan, bukan mesin giling. Apa pemiliknya juga anti modernitas?. Ah, lagi-lagi aku memaknai sesuatu terlalu besar. Kuminum lagi saja Secang ku.
Tapi kopi itu benar-benar menarik perhatianku. Kopi itu disuguhkan kepada pembeli dengan sendok ditaruh di lepek. Penjual tidak mengaduk terlebih dulu melainkan langsung diberikan ke pembeli. Karena pembeli akan mengaduknya sendiri, perlahan dengan irama sedang. Usai diaduk, bubuk kopi yang kasar akan mengapung di atas. Dan ternyata sendok yang disiapkan itu berfungsi untuk mengambil bubuk kopi yang mengapung di gelas, lalu ditaruh di wadah yang juga disiapkan khusus.
“Nah, soal menyajikan kopi ternyata juga tak selalu sama. Kopi benar-benar indah” kataku dalam hati. Memang kita (saya maksudnya) sering lebih melihat hasil daripada proses. Padahal segala hasil selalu didahului proses, entah itu mudah atau sulit. Kita (aduh lagi-lagi saya mengklaim mewakili orang banyak) sering melihat sebuah kebenaran tanpa melihat proses pencarian kebenaran itu. Padahal melihat proses bisa merasa lebih dekat dengan obyek yang dilihat. Ya contohnya kopi tadi.
Usai upacara penyajian kopi itu, kami (saya dan kawan Chusnul Cahyadi) asyik ngobrol kesana kemari. Sesekali disela oleh pembeli kopi yang sudah jadi pelanggan. Para pembeli satu dua orang datang, begitu akrab antara satu dengan yang lain. Saling tegur sapa, bersalaman, dan ah kopi memang mengundang keakraban.
***
Malam sebelumnya aku juga berteman kopi, tepatnya kopi susu. Mardi Luhung, penyair asal Gresik memesan kopi hitam dan es teh. Ashadi Iksan kawan dekat yang juga satu profesi denganku memesan teh panas. Ajhi Ramadhan, anak Mardi Luhung yang baru saja menerbitkan buku kumpulan puisinya, memesan es teh. Kami duduk lesehan santai di pojok alun-alun, di sebuah warung kopi yang dilengkapi pesawat televisi. Udara malam tak begitu terasa.
“Menulis itu harus dipaksa” kata HU. Kami biasa memanggil Mardi Luhung demikian. Ia lalu bercerita tentang proses dirinya di dunia sastra. Awalnya dia penyair, lalu mencoba masuk di dunia cerpen. Ia sadar dalam hidup harus bergerak, harus tidak stagnan. Dalam menulis pun harus terus bereksplorasi.
“Anakku yang perempuan sedang menulis cerpen. Gaya tulisannya mirip Susana Tamaro. Karena dia membacai karya-karya Susana” katanya.
Ditemani kopi dan teh kami larut dalam obrolan. Kedatanganku malam-malam ke Gresik memang mendambakan obrolan santai ini. Dan tentu ingin merasakan kopinya. Tak terasa malam beranjak pagi. Kami lelah dan akhirnya meninggalkan warung kopi itu. Warung kopi yang entah sudah berapa kali kami hampiri. Kopi yang menemani kami ngobrol, atau obrolan itu yang menemani kopi. Entahlah.
Gresik, 24/25 April 2012