Rabu, 25 April 2012

Kopi…Oh Kopi (bagian 2)

Oleh : Nanang Fahrudin

Kopi tak pernah lelah hadir. Sekali-kali dengarkanlah dengan hati kala dia berbisik. Ia akan mengundang keakraban. Aromanya akan melukisi angin. Menepuk-nepuk mesra wajah siapa saja yang duduk santai di sampingnya.

Ah, mungkin aku terlalu puitis tentang kopi. Maksudku kopi yang ada di sampingku sebenarnya biasa-biasa saja. Aromanya juga biasa-biasa saja. Hanya memang ada kalanya suasana yang ikut hadir bersama kehadiran kopi itulah yang menyenangkan. Jadinya kopi selalu mengundang ketentraman.

“Bubuk kopinya ndak bisa halus,” kata si penjual.
“Lho kenapa?”
“Karena kopinya ditumbuk sendiri, jadi ndak digiling pake mesin”
“Ooo….!!!”

Aku bersama seorang kawan mampir di warung kopi itu. Berada di belakang masjid Jami’ Kota Gresik. Kebetulan aku sendiri tidak memesan kopi pagi itu. Tapi minumanku tak kalah asyik. Namanya Secang.

“Minuman ini dari rendaman kayu secang, jadi warnanya merah. Trus dicampur teh, jahe, dan kapulada”

Aku pun langsung nyruput dan hmm…rasanya memang enak. Apalagi jika diminum pas masih panas. Sambil nyruput Secang aku berpikir. Kopi ternyata juga memilih caranya sendiri untuk hadir. Kopi Cak Rokim-begitu kami menyebutnya-adalah salah satu contohnya. Bubuknya saja anti teknologi, digoreng lalu ditumbuk dengan tenaga tangan, bukan mesin giling. Apa pemiliknya juga anti modernitas?. Ah, lagi-lagi aku memaknai sesuatu terlalu besar. Kuminum lagi saja Secang ku.

Tapi kopi itu benar-benar menarik perhatianku. Kopi itu disuguhkan kepada pembeli dengan sendok ditaruh di lepek. Penjual tidak mengaduk terlebih dulu melainkan langsung diberikan ke pembeli. Karena pembeli akan mengaduknya sendiri, perlahan dengan irama sedang. Usai diaduk, bubuk kopi yang kasar akan mengapung di atas. Dan ternyata sendok yang disiapkan itu berfungsi untuk mengambil bubuk kopi yang mengapung di gelas, lalu ditaruh di wadah yang juga disiapkan khusus.

“Nah, soal menyajikan kopi ternyata juga tak selalu sama. Kopi benar-benar indah” kataku dalam hati. Memang kita (saya maksudnya) sering lebih melihat hasil daripada proses. Padahal segala hasil selalu didahului proses, entah itu mudah atau sulit. Kita (aduh lagi-lagi saya mengklaim mewakili orang banyak) sering melihat sebuah kebenaran tanpa melihat proses pencarian kebenaran itu. Padahal melihat proses bisa merasa lebih dekat dengan obyek yang dilihat. Ya contohnya kopi tadi.

Usai upacara penyajian kopi itu, kami (saya dan kawan Chusnul Cahyadi) asyik ngobrol kesana kemari. Sesekali disela oleh pembeli kopi yang sudah jadi pelanggan. Para pembeli satu dua orang datang, begitu akrab antara satu dengan yang lain. Saling tegur sapa, bersalaman, dan ah kopi memang mengundang keakraban.

***

Malam sebelumnya aku juga berteman kopi, tepatnya kopi susu. Mardi Luhung, penyair asal Gresik memesan kopi hitam dan es teh. Ashadi Iksan kawan dekat yang juga satu profesi denganku memesan teh panas. Ajhi Ramadhan, anak Mardi Luhung yang baru saja menerbitkan buku kumpulan puisinya, memesan es teh. Kami duduk lesehan santai di pojok alun-alun, di sebuah warung kopi yang dilengkapi pesawat televisi. Udara malam tak begitu terasa.

“Menulis itu harus dipaksa” kata HU. Kami biasa memanggil Mardi Luhung demikian. Ia lalu bercerita tentang proses dirinya di dunia sastra. Awalnya dia penyair, lalu mencoba masuk di dunia cerpen. Ia sadar dalam hidup harus bergerak, harus tidak stagnan. Dalam menulis pun harus terus bereksplorasi.

“Anakku yang perempuan sedang menulis cerpen. Gaya tulisannya mirip Susana Tamaro. Karena dia membacai karya-karya Susana” katanya.

Ditemani kopi dan teh kami larut dalam obrolan. Kedatanganku malam-malam ke Gresik memang mendambakan obrolan santai ini. Dan tentu ingin merasakan kopinya. Tak terasa malam beranjak pagi. Kami lelah dan akhirnya meninggalkan warung kopi itu. Warung kopi yang entah sudah berapa kali kami hampiri. Kopi yang menemani kami ngobrol, atau obrolan itu yang menemani kopi. Entahlah.


Gresik, 24/25 April 2012

Kamis, 12 April 2012

Belajar Hidup dari Filsafat Tukang Becak

(Catatan Pendek Buku “Waton Urip” karya Sindhunata)

Siapa bilang intelektualitas selalu berbanding lurus dengan kualitas hidup seseorang. Orang yang berpendidikan tinggi belum tentu bisa menemukan kebijaksanaan, sebagaimana yang coba dicari oleh para filsuf sepanjang zaman. Hidup itu penuh warna. Kebijaksaan bisa datang dari siapapun, tak peduli dia kaya atau miskin, tak peduli dia bergelar profesor atau profesi tukang becak.

“Apa yang bukan jatah dan rezeki saya, tak bisa saya dapat. Kalau teman lain mendapatkannya, dan saya emosi atau iri, jatah rezeki saya malah lari”.

Kalimat bijak itu bukan keluar dari filsuf atau sang motivator seperti Mario Teguh. Tapi diucapkan oleh Sukiman, seorang tukang becak asal Desa Dlagon, Sukorejo, Delanggu-Yogyakarta.

Bagi Sukiman dan tukang becak lain, rezeki itu ada di jalan-jalan. Ketika kendaraan sudah banyak merayap di jalan raya, mereka harus membawa becaknya bersaing dengan bus, angkutan kota, dan tukang ojek. Ketika banyak orang memiliki motor sendiri, tukang becak tetap bertahan. Ketika harga BBM naik dan semua tarif angkutan naik, tarif becak tetap tidak naik.

Tapi para tukang becak selalu memiliki hati yang terang. Bagi mereka rezeki itu sesuatu yang terang, jadi tidak menyukai sesuatu yang muram. Maksudnya, tukang becak selalu melihat dunia ini dengan kacamata positif. Ada banyak hal yang bisa menjadikan mereka memeluk rasa syukur dengan erat.

“Kalau kurang, siapapun akan kurang. Orang kaya juga selalu kurang. Dan dalam hal kekurangan, jangan kita membandingkan dengan mereka yang kelebihan. Tengoklah ke bawah, jangan ke atas. Di bawah kita juga banyak wong kere yang lebih tidak enak daripada kita. Mereka belum tentu bisa makan seperti kita. Maka syukur tukang becak, kita masih bisa makan”.

Kalimat panjang itu dituturkan oleh Pak Kliwon, tukang becak di Lempuyangan. Pak Kliwon berusia 60 tahun. Dan sudah 40 tahun mbecak.

Para tukang becak sangat sadar ketika roda dunia berputar, mereka tetap berada di bawah. Tak pernah ikut berputar dan berada di atas. Tapi berada di bawah tak lantas membuat mereka selalu ngersulo (mengeluh). Mereka memiliki kebijaksanaan untuk menerima kemiskinan itu dengan lapang dada.

Mereka menggenggam erat ilmu banyu mili atau air mengalir. Rezeki mereka adalah air mengalir. Meski sedikit tapi terus mengalir dan melewati kerongkongan agar tak sampai kering. Hidup juga mereka jalani dengan ilmu waton urip. Maksudnya bukan asal hidup, tapi menerima hidup tanpa memberontak hidup. Apa yang diberikan hidup, diterima. Apa yang tidak diberikan hidup, jangan diminta.

Dua ilmu itu selalu dipegang oleh para tukang becak. Mereka pun memiliki cara mereka sendiri-sendiri untuk bertahan dalam kubangan kemiskinan materi. Seakan-akan mereka hendak bilang : boleh miskin uang, tapi harus kaya hati. Dan memang benar, itulah yang dipraktikkan oleh para tukang becak.

“Untuk cari makan, orang harus berani bekerja. Kalau bisanya mbecak, mengapa tidak, kalau saya memang kuat?. Saya hanya punya bahu (tenaga). Punyanya hanya itu, mengapa harus malu,” kata Ponirah. Ia adalah tukang becak perempuan. Ia ditinggal mati suaminya yang sakit diserang liver. Tapi ia harus bertahan untuk bisa menghidupi keluarganya, yakni mbecak.

Ponirah setiap hari bangun jam empat pagi. Lalu menanak nasi dan merebus air untuk keluarganya. Jam enam ia mulai narik becak. Kini usianya sudah 55 tahun, dan perempuan ini harus tetap mbecak agar bisa makan.

Tapi, ia tetap tersenyum. Menertawakan kemiskinan yang membelit dirinya dan keluarganya. “Obah kados pundi mawon, kulo niki tetep kepepet, wong kulo niki kere awet” (Berusaha apapun saya tetap terpepet, sebab saya ini kere yang awet). Begitu kata Ponirah. Lalu ia melanjutkan : “Jadi orang kaya itu tidak mudah. Nyatanya orang itu kaya, kok giginya habis semua. Saya melucu ya” katanya sambil tertawa.

***

Ilmu waton urip dan banyu mili ini disajikan begitu menyentuh oleh Sindhunata dalam buku berjudul “Waton Urip”. Buku ini dilengkapi dengan jepretan foto yang juga banyak berbicara tentang dunia tukang becak. Kita seperti hendak disentak dengan cerita-cerita orang pinggiran yang begitu bijak menghadapi hidup.

Mereka begitu kaya akan filsafat hidup yang membuat mereka bisa tetap tersenyum lapang. Mereka selalu yakin Tuhan memberik rezeki kepada semua manusia. Tak ada manusia yang tak diberi rezeki. Bahkan anggota badan yang genap dan tenaga kuat untuk bisa mbecak juga dimaknai sebagai sebuah rezeki yang sangat besar.

Di sudut warung kopi, 12 April 2012

Senin, 02 April 2012

Lampu Merah Cap Indonesia

Oleh : Nanang Fahrudin
(Dimuat di Harian Seputar Indonesia edisi Jawa Timur Senin 2 April 2012

Jika ditanya ke mana bisa belajar mengenali negeri ini dengan mudah, mungkin salah satu jawabannya adalah di traffic light atau kita biasa menyebutnya lampu merah. Lho kok?. Ya. Kalau tak percaya mari kita berhenti sejenak dan mengamati lampu merah yang banyak dipasang sebagai rambu lalu lintas jalan raya.

Ibarat negara, area lampu merah adalah negara itu. Di mana masyarakat setiap saat berkumpul di sana meski dalam waktu yang singkat. Lampu tiga warna adalah undang-undang yang harus ditaati oleh warga yang melintas. Merah adalah berhenti, kuning adalah hati-hati, dan hijau berjalan. Aturan tersebut mengandaikan sebuah keteraturan.

Dan apa benar sudah teratur?. Mari kita tidak langsung menjawab, namun mengamati dulu saja. Perilaku warga di lampu merah ternyata sangat beragam, persis beragamnya perilaku sosial, perilaku politik, perilaku ekonomi, perilaku hukum, dan berbagai perilaku dalam bernegara. Mungkin di lampu merah “kreativitas” perilaku warga itu lebih jelas terlihat.

Kalau hendak diklasifikasi, ada lampu merah yang sangat ketat di mana di tempat tersebut ada pos polisi, beberapa personil polisi berjaga dan membawa surat tilang. Hampir semua warga yang melintas tak berani melanggar aturan berlalu lintas. Bahkan jarang yang sampai melewati garis tengah warna putih itu.

Tapi, ada juga lampu merah yang “longgar”. Biasanya tak ada polisi berjaga, dan memang jarang ada surat tilang dikeluarkan di tempat tersebut. Nah, warga yang melintas biasanya hanya memperlambat laju kendaraan, lalu tengok kanan-tengok kiri. Saat dirasa aman, maka lampu merah bukan lagi bermakna harus berhenti.

“Kreativitas” warga yang melintasi lampu merah pun bisa bermacam-macam. Semakin sering seseorang melintasi lampu merah, maka ia akan semakin memahami seluk-beluk di lampu merah itu. Ia bisa membedakan mana lampu merah yang bisa diterobos, mana yang tidak bisa. Atau pada jam berapa lampu merah itu aman untuk dilanggar, dan pada jam berapa lampu merah itu wajib ditaati. Pada akkhirnya terciptalah sebuah keteraturan dalam ketidateraturan.

Nah, realitas di lampu merah itu bukankah mirip dengan negeri ini berjalan?. Para pejabat yang mengurus negeri ini sangat tahu mana pos-pos anggaran-mulai level pusat sampai daerah-yang bisa dikorupsi, dan mana pos yang tak bisa dikorupsi. Lalu kapan waktu aman untuk beraksi, dan kapan waktu untuk berdiam diri. Tentu, tergantung pada pejabat tersebut ingin menaati undang-undang, atau memilih melanggarnya. Jika melanggar dia bisa mendapatkan cukup uang, mirip ketika kita menerobos lampu merah maka akan bisa cepat sampai di tujuan. Risikonya, kalau ketahuan akan ditilang.

Untuk urusan melanggar UU korupsi, Gayus Tambunan adalah satu contoh yang tepat. Ia sangat tahu bagaimana memanipulasi pajak. Misalnya dengan cara bermain kurs rupiah. Hasilnya wajib pajak hanya wajib membayar pajak kecil dari yang seharusnya. Gayus pun menginspirasi Dhana Widyatmika yang beraksi juga saat menjadi pegawai Ditjen Pajak. Dan mungkin sebenarnya di negeri ini banyak Dhana-Dhana lain yang terinspirasi Gayus.

Perilaku itu, kalau kita amat-amati juga hampir mirip ketika seseorang melintas di lampu merah. Mungkin awalnya ia sangat taat aturan, berhenti saat lampu berwarna merah. Tapi lama kelamaan, ia terinspirasi oleh warga lain yang seenaknya saja menerobos. Lama-lama melanggar lampu merah pun menjadi kebiasaan. Seperti perilaku korupsi yang sudah menjadi kebiasaan di negeri ini.

Dalam sebuah survei tahun 2010 yang dilakukan oleh Political & Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong Kong, Indonesia menjadi negara terkorup se-Asia Pasifik. Dari 16 negara yang disurvei Singapura adalah negara paling bersih alias paling tidak korup dan Indonesia menempati posisi paling jelek.

Dan entah ada hubungannya atau tidak, keteraturan berlalu lintas di Singapura terkenal sangat bagus. Ketertiban lampu merah tak hanya untuk para pengendara motor atau mobil, melainkan juga untuk pejalan kaki. Saking tertibnya lampu merah di sana, jarang sekali terlihat ada polisi di pojok jalan, atau di tikungan. Aturan lalu lintas itulah penjaga ketertiban itu.

Ya, urusan lalu lintas sebenarnya bukan hanya soal kelancaran kendaraan di jalan raya. Tapi juga persoalan penegakan aturan dan bagaimana beretika di ruang publik. Boleh jadi jalan raya adalah negara (dengan huruf n kecil).

Saat semua kendaraan melaju dengan tertib, ada sebagian kendaraan yang main potong kompas, mendahului ke kanan yang seharusnya digunakan untuk kendaraan dari arah berlawanan. Pada akhirnya realitas yang terjadi banyak kendaraan yang berjalan pelan dengan tertib aturan, tapi banyak kendaraan yang melaju kencang tanpa menghiraukan aturan. Salam!.

Atau klik di : http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/482603/
 
© Copyright 2035 godongpring