(Catatan Pendek setelah membaca buku Antara Dua Batas karya
Amrita Pritam )
Lama sekali aku tidak membuat catatan pendek (capen) setelah
membaca buku. Apa yang beda ya? Padahal menikmati kopi juga masih terus
berlanjut, memunguti buku-buku tua juga masih menjadi kegemaran. Ah, sudahlah.
Toh itu tak penting banget untuk ditulis di sini. Ya kan?
Buku yang baru saja kubaca berjudul Antara Dua Batas (ADB), sebuah novelet yang
ditulis oleh Amrita Pritam, seorang penulis India. Dalam buku tipis nan kecil
ini hanya ada dua judul saja yakni Antara Dua Batas dan Lelaki Itu. Aku sudah lupa kapan buku terbitan Yayasan
Obor Indonesia ini kudapat. Yang jelas aku membacanya saat di atas bus Sumber
Slamet yang melaju kencang. Ya, pasti anda tahu lah seberapa kencang bus ini.
Dan saking asyiknya membacanya, aku pun tak menghiraukan bus
yang goyang ke kanan, goyang ke kiri, atau sesekali mengerem mendadak.
Pikiranku tertuju pada sosok Pooro, tokoh utama dalam novel pendek ADB. Tak hanya kisah percintaan Pooro yang
dipengaruhi oleh adat dan agama, tapi nuansa sosial-politik India saat Pakistan
memisahkan diri dan menjadi negara muslim mengemuka dalam ADB.
Pooro adalah gadis kecil yang manis. Sebagaimana masyarakat
Hindu-India waktu itu, anak gadis sudah dijodohkan saat kecil. Begitu juga
Pooro dijodohkan dengan Ram Chand. Dan
ketika usianya remaja, ketika payudaranya mulai membentuk, persiapan pernikahan
disiapkan. Tapi, pada suatu hari ia dijulik oleh Rashida, seorang pemuda Islam.
Pooro disekap di sebuah rumah di tengah kebun. Tapi diperlakukan dengan baik.
Penculikan itu tak lain sebuah skenario saling balas dendam
dari dua keluarga besar (Hindu dan Islam) yang saling berseteru. Penculikan
Pooro adalah aksi balas dendam, karena keluarga Pooro juga pernah melakukan hal
sama beberapa tahun lalu. Pooro berada di tangan Roshida hingga enam bulan, dan
akhirnya ia dinikahinya. Pooro pun berubah nama menjadi Hamida.
Hamida hidup tanpa tujuan. Dia seperti tubuh yang mati. Jauh
dari orangtuanya, serumah dengan orang yang menculiknya. Tapi Roshida adalah
lelaki yang baik. Ia memperlakukan Hamida
dengan sangat baik. Hingga akhirnya mereka dikaruniai anak laki-laki, Javed.
Riak-riak ketegangan sesekali muncul dalam perjalanan rumah tangga mereka.
Hebatnya, penulis meramunya dalam nuansa isu agama yang memang sangat kental
waktu itu.
Seperti saat di desa ada perempuan gila yang selalu
mondar-mandir bertelanjang, warga sering memberinya makan. Namun nahasnya
perempuan gila itu hamil. Dan pada sebuah pagi ia ditemukan Hamida kaku dan tak
bernyawa di kebun. Sedang di kakinya, ada bayi tergeletak. Bayi itu baru saja
dilahirkan oleh perempuan gila tersebut. Hamida menjerit dan. Bayi itupun
dibawa pulang dan dirawat seperti anak sendiri oleh Hamida. Bayi itu disusui
dari payudaranya sendiri.
Setelah enam bulan, tetua Hindu di desa itu memaksa
mengambil bayi itu. Alasannya bayi itu Hindu dan tidak boleh dipegang oleh
orang Islam. Hamida menangis. Roshida tak bisa berbuat apa-apa. Tapi, belum
sebulan bayi itu dikembalikan kepada Hamida dalam keadaan koma. Ia sakit dan
sangat pucat. Hamida merawatnya dengan kasih sayang dan bayi itupun sembuh.
Suasana menjadi makin tegang ketika konflik Hindu-Islam
meluas. Pakistan merdeka. Desa mereka berada di wilayah Pakistan. Keluarga
Roshida-Hamida tak masalah. Tapi orangtua Hamida (Pooro), adik-adiknya semua
tercerai-berai. Ada yang menjadi korban penculikan, dibunuh, dan entah
bagaimana nasibnya. Hamida pun menyamar menjadi pedagang keliling untuk
menemukan Lajo, istri adiknya.
Roshida yang dulu adalah penculik Pooro dan dimusuhi,
akhirnya malah sangat berjasa menyelamatkan Lajo. Roshida juga berhubungan baik
dengan Ram Chand dan adik Hamida. Di akhir kisah, Ram Chand, Lajo dan adik
Pooro harus pindah ke India dan hidup di sana. Sedang Roshida dan Hamida tetap
tinggal. Mereka akhirnya menjadi sebuah keluarga besar. Agama tak lagi menjadi
pembeda, malah kini negara menjadi masalah dan memisahkan mereka. Mereka menangis. Tangis bahagia. Mereka
berpisah. Perpisahan bahagia.
***
Aku menutup buku. Menarik napas panjang. Betapa hidup penuh
warna. Pooro menjadi Hamida. Ia sangat membenci Roshida pada awalnya, tapi
akhirnya bisa menerimanya dalam kehidupannya. Karena Hamida melihat banyak kesengsaraan
hidup orang lain yang lebih parah daripada penderitaannya. Itulah kunci Hamida
bersyukur dengan kehidupannya.
Ketika pikiranku masih membayang pada suasana desa Hamida,
aku dikejutkan oleh suara kondektur bus di sampingku “Sragen, Sragen. Yang
turun Sragen cepat ke depan. Bus nya balapan. Ayo-ayo cepat”. Seorang ibu tergopoh-gopoh
bergerak ke depan. Sesekali menabrak bangku karena bus bergerak zig-zag. Dan
penupang goyang ke kanan, lalu ke kiri. Aku pun berpegangan erat pada bangku
depanku.
Bus Surabaya-Jogja, 9 Agustus 2016
1 komentar:
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
Posting Komentar