Minggu, 07 Oktober 2012

Siti Mariah, Oh...

Oleh Nanang Fahrudin

Catatan Pendek Buku "Hikayat Siti Mariah" Karya Haji Mukti

Hikayat adalah salah satu bentuk sastra prosa, terutama dalam Bahasa Melayu yang berisikan tentang kisah, cerita, dan dongeng. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan maupun kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian serta mukjizat tokoh utama.

Definisi hikayat ini saya pungut dari Wikipedia. Maklum, saya tak banyak menghafal definisi-definisi sebuah istilah. Seandainya saya ditanya, apa beda hikayat dengan novel atau dengan roman? Sumpah, saya tidak bisa menjawabnya. Paling-paling saya akan menghafal definisi di wikipedia di atas dan menyampaikannya kepada yang bertanya.

Pramoedya Ananta Toer dalam pengantar untuk buku yang baru selesai saya baca ini sebenarnya juga sudah menulis, bahwa hikayat dalam buku ini adalah hikayat dalam arti sesungguhnya. Sebuah petualangan terdiri dari rangkaian pengalaman hebat-hebat, bukan saja tidak merupakan kejadian sehari-hari juga kekuatan-kekuatan adikodrati (supranatural) ikut campur menjaga tokoh-tokoh cerita. (hal:22).

Buku ini berjudul Hikayat Siti Mariah, ditulis oleh Haji Mukti. Buku ini sudah lama saya beli, yakni tahun 2011. Namun baru sekarang ini saya membacanya. Siapa Haji Mukti? Ternyata tak ada yang mengetahui pasti. Dari catatan pengantar buku ini, sosok Haji Mukti sangat misterius. Apakah ia nama samaran atau nama asli?. Tak ada catatan sejarah tentangnya.

Hikayat Siti Mariah punya sejarah panjang. Ia terbit pertama kali tanggal 7 November 1910 hingga 6 Januari 1912 sebagai cerita bersambung di Medan Prijaji, koran pertama di Hindia Belanda yang dikelola oleh Tirto Adhi Soerjo, bapak pers nasional. Lalu hikayat ini diterbitkan ulang oleh lembar Lentera di koran Bintang Timur, sebuah media di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang disebut-sebut sebagai media partisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Di Lentera, hikayat ini terbit bersambung antara tahun 1962-1965.

Baru tahun 1987 hikayat ini hadir dalam bentuk buku diterbitkan oleh Hasta Mitra (cetakan ke-3). Dan buku yang saya pegang ini adalah cetakan ke-4 terbitan Lentera Dipantara tahun 2003. Buku ini memiliki tebal 402 halaman. Pada bagian-bagian tertentu ada naskah aslinya yang hilang (dari penerbit), seperti halaman 315 dan 321, serta 232. Pada setiap naskah hilang oleh penerbit ditulis “naskah di bagian ini hilang”.

***

Ada banyak menarik yang saya temui saat membaca buku ini. Pertama, penulisnya tak diketahui. Karena Haji Mukti sebagai penulis juga masuk dalam cerita. Ia bernama Sondari, yang setelah bekerja di Konsul Jeddah dan naik haji mengubah namanya menjadi Haji Mukti. Mengenal siapa Haji Mukti pun hanya dari isi cerita dalam hikayat ini. Tidak ada sumber di luar.

Yakni, Haji Mukti lahir di wilayah Kedu (Jawa Tengah). Ia anak kontrolir Kedu, Elout van Hogerveldt dengan nyainya, Nyai Ayu Mustikaningrat. Pada tahun 1873 ia bekerja di Konsul Jedah dan tahun 1883 kembali ke Jawa. Sondari (Haji Mukti) punya saudara perempuan dari ibu berbeda bernama Siti Mariah yang waktu kecil bernama Urip, yang dijual ke pasar.

Membaca buku ini saya merasa penulisnya sedang menceritakan tentang dirinya sendiri. Tentang perjalanan hidupnya, dan masyarakat Jawa abad ke-19.

Oh ya, lebih baik saya berkisah sedikit tentang cerita Hikayat Siti Mariah. Begini. Seorang Ibu bernama Sarinem kehilangan anaknya. Sarinem adalah nyai (gundik) Elout van Hogerveldt. Saat Sarinem dipulangkan ke orangtuanya oleh Elout, ia sedang hamil. Jamak waktu itu, wanita pribumi “diambil” sebagai nyai oleh pejabat sebelum sabf pejabat resmi memperistri seorang yang “pantas”. Saat pejabat itu hendak beristri, nyai tersebut dipulangkan kepada orangtuanya. Dan Sarinem adalah satu dari sekian banyak nyai.

Sarinem pulang dalam kondisi mengandung anak Elout. Lalu dinikahkan dengan petani bernama Wongsodrono orang yang bengis dan sering marah. Waktu Sarinem melahirkan anaknya (diberi nama Urip), Wongsodrono merasa rugi karena Sarinem hanya bisa mengurusi anaknya, dan tak bisa ke sawah. Urip pun dibawa ke pasar dan dijual ke mandor kebun tebu Sokaraja, Joyopranoto yang beristrikan Waginah.

Urip tumbuh menjadi gadis yang cantik, yang diberi nama Siti Mariah. Ia lalu diambil sebagai nyai oleh Henri Dam (teman Sondari) yang juga bekerja di Pabrik Gula di Sokaraja sebagai pembesar. Dari hubungan Mariah-Henri lahirlah bocah bernama Ari. Keluarga ini hidup bahagia, meski Mariah hanya sebagai sebagai nyai, bukan istri sebagaimana adat waktu itu. Henri Dam-Siti Mariah berjanji sehidup semati.

Kisah lalu mengalir, berkisah tentang keluarga Henri Dam bersama Siti Mariah dan anaknya Ari. Tragegi dimulai, ketika keluarga bahagia ini bercerai-berai saat nyonya Van Holstein (pemilik pabrik-bos besar) menikahkan Henri Dam dengan anaknya Lucie. Henri Dam terpengaruh dukun Jiman yang disewa oleh nyonya Van Holstein.

Henri Dam hidup bersama Lucie dengan uang melimpah, tapi hati kering. Siti Mariah dipulangkan. Sinyo Ari ikut Van Holstein di Betawi. Dalam perjalanan waktu, Sinyo Ari dikabarkan mati sakit perut oleh Nyonya Van Holstein, padahal ia dibawa Wongsodrono. Siti Mariah pun kalut dan meninggalkan rumahnya tanpa pamit kepada siapapun. Ia tak bisa memikul beban, suami diambil orang, anak mati tanpa tahu jasadnya.

Cerita pun berjalan seperti jalan bercabang. Henri Dam yang hidup sengsara bersama Nyonya Lucie di Belanda, ditinggal selingkuh, hendak diracun istrinya sendiri tapi selamat. Ia sangat menderita. Selepas Lucie meninggal, ia kembali ke Jawa.

Sedang Sinyo Ari kecil dibawa oleh Wongsodrono yang menjadi kepala perompak di laut. Atas kekuasaannya itu, Wongsodrono mengaku dirinya Tuhan. Lalu perompak-perompak ditumpas habis oleh polisi Hindia Belanda. Sinyo Ari yang masih kecil, diserahkan ke panti asuhan di Semarang. Setelah dewasa ia bekerja di sejumlah perkebunan tebu, dan terakhir di pabrik gula Sukoraja, tempat banyak-ibunya dulu tinggal.

Siti Mariah, setelah pergi dari rumah menjadi babu Henri Esobier, pembesar pabrik gula di Mojokerto. Dari babu, Mariah (menyamar dengan nama Salimah) menjadi istri Esobier. Dan saat Esobier meninggal, Mariah dikenal dengan nama janda Esobier. Ia hidup bersama anaknya dari perkawikannya dengan Esobier, dan mewarisi kekayaan yang cukup besar. Tapi ia selalu teringan Henri Dam dan anaknya Ari yang disangkanya sudah meninggal.

Sementara Mandor Joyopranoto (bapak angkat Mariah) setelah pensiun dari kerja, hidup tenang dan berangkat haji. Sepulang dari haji, namanya diubah menjadi Haji Abdulrahman. Istrinya, Waginah mengubah nama menjadi Nyi Patimah, sedang Sarinem (ibu kandung Mariah) mengubah nama menjadi Nyi Aisah.

Lika liku kehidupan orang-orang tersebut hadir begitu nyata, penuh tawa, duka, harap, cemas, takut, dan sekaligus berani. Semua berkelindan menjadi sulaman kisah yang memesona. Dan sesekali, penulis hadir sebagai penulis, yang memotong jalannya cerita untuk menyapa dan berbicara dengan pembaca. Seperti ketika cerita sampai pada Urip yang akan dibuang oleh Wongsodrono sebelum dijual ke pasar.

Waktu itu pagi buta, Urip ditaruh dikeranjang, lalu sesampai di tepi jurang Urip diangkat dan hendak dilempar. Tapi terdengar suara adzan Subuh. Wongsodrono mengurungkan niatnya. Penulis lalu menulis: “Di sini kita jadi terharu betapa Yang Maha Kuasa melindungi Urip……Syukur. Selamat untukmu, Urip. Tuhan Allah Maha Kuasa”. (hal: 64).

Singkat kisah, hikayat ditutup dengan cerita menyenangkan. Semua berkat Sondari alias Haji Mukti, yang berhasil mempertemukan Henri Dam, Siti Mariah, dan Sinyo Ari, beserta keluarga Joyopranoto setelah sekian tahun terpisah. Mereka bertemu dalam sebuah pertemuan yang sudah dirancang oleh Haji Mukti.

Pertemuan keluarga besar ini menjadi pertemuan yang cukup membahagiakan. Lalu, selepas pertemuan, keluarga Dam pindah ke Brussel menjadi bankir. Haji Mukti membeli kebun kopi di Magelang, dan kemudian tinggal di Bandung. Keluarga Joyopranoto tinggal di Magelang dengan bahagia.

Penulis pun mengakiri kisahnya dengan menulis di paragraph-parafgraf akhir: “Dan marilah pembaca, sebaiknya kita juga ikut bergembira”. (hal: 401).

***

Dari Hikayat Siti Mariah, saya merasa ada nafas yang sama dengan karya-karya Pramoedya. Pikiran saya pun berisi: mungkin bacaan-bacaan seperti ini yang menginspirasi Pram untuk menulis karya-karyanya. Tokoh Siti Mariah mirip dengan Nyai Ontosoroh dalam Tertralogi Buru karya Pram. Nyai Ontosoroh menjadi nyai namun sangat pemberani, gigih, dan pandai.

Membaca hikayat ini juga mengingatkan saya pada Gadis Pantai karya Pram lainnya. Betapa pedih hati Siti Mariah ketika diminta pulang karena Henri Dam akan menikah dengan Lucie, yang lalu memisahkan ini dan anaknya. Kepedihan itu mungkin bobotnya sama dengan kepedihan Mas Nganten yang dipulangkan ke orangtuanya setelah melahirkan seorang bayi. Meski, tentu tidak mungkin menimbang bobot sebuah kepedihan hati.

Ah, sudahlah. Lebih baik saya cukupkan sampai di sini saja catatan pendek ini. Catatan ini hanyalah sekadar cara saya mengakrabi apa yang sudah saya baca. Mengakrabinya dengan cara pembacaan saya yang sederhana. Salam!.

Bojonegoro, 6 Oktober 2012
 
© Copyright 2035 godongpring