Rabu, 18 Januari 2012

NAMA

Dimuat Harian Seputar Indonesia Jatim pada Catatan Minggu 8 Januari 2012

Oleh : Nanang Fahrudin

Apa arti sebuah nama. Kalimat yang berasal dari William Shakespeare itu begitu akrab di telinga kita. Kalimat itu hendak mengajak melihat substansi isi, dan bukan berhenti pada sebutan nama saja. Bunga mawar tetap indah dan wangi meski diberi nama bukan bunga mawar. Nama bukan satu-satunya hal yang menentukan.

Tapi nama menjadi sangat penting untuk membedakan antara satu dengan lainnya. Dalam tradisi Islam, orang tua diharuskan memberi nama anaknya dengan nama yang bagus. Pada nama terkandung sebuah doa orang tua atas masa depan anaknya. Bahkan Tuhan memerintahkan khusus kepada Adam saat di surga untuk mengajari malaikat akan nama-nama.

Ya, nama menjadi begitu penting sekaligus tidak penting. Seperti dua sisi mata uang, seperti kanan dan kiri, seperti utara dan selatan. Para Group misalnya, perusahaan milik Chairul Tanjung (CT) ini mengubah nama menjadi CT Group sebagai tanda 30 tahun CT berkiprah di dunia bisnis. Nama stasiun televisi TPI juga diubah menjadi MNC TV saat ada konflik kepemilikan. Di dunia bisnis, nama begitu penting.

Tapi nama bukan menjadi sesuatu yang penting bagi sebagian orang. Seorang penulis yang menelurkan banyak novel di antaranya ”Hafalan Sholat Deliza” yang sekarang difilmkan lebih dikenal dengan nama Tere-Liye. Pada karya lain sang penulis menggunakan nama Sendutu Meitulan. Banyak pembaca yang tergila-gila dengan karyanya tidak tahu nama aslinya. Tere-Liye seperti nama cewek, padahal ternyata nama aslinya adalah Darwis yang jelas laki-laki.

Tere-Liye tak sendirian soal penyamaran nama. Arswendo Atmowiloto juga pernah menulis buku ”Opera Jakarta” dengan nama Titi Nginung. Downes Dekker lebih memilih nama Multatuli saat mengarang buku ”Max Havelar”. Bagi para penulis di atas, nama tidaklah penting karena terpenting adalah karya.

Tapi jangan tanya soal nama bagi calon pasangan kepala daerah. Nama bisa berarti segalanya. Gubernur Jawa Timur Soekarwo dan Wakil Gubernur Syaifullah Yusuf saat mencalonkan diri mengenalkan diri mereka dengan ”Karsa”. Wali Kota Surabaya Trirismaharini dan Wakil Wali Kota Bambang DH menggunakan nama ”Ridho” untuk memperkenalkan diri saat pencalonan.

Nama pun selalu dipilih dari kata-kata yang indah atau memiliki makna filosofis. Karsa misalnya bermakna sebuah karya. Mungkin kepala daerah ini ingin selalu berkarya. Demikian juga dengan Ridho yang memiliki makna positif yakni selalu ikhlas dengan apa yang dilakukan.

Tapi sayang, nama terkadang kelewat penting dan menjadikan ”isi”-nya tidak penting. Sebut saja nama PDAM. Kepanjangan nama itu adalah perusahaan daerah air minum. Tapi baru beberapa lokasi saja PDAM memproduksi air (siap) diminum. Sebaliknya, PDAM mengalirkan air yang seringkali dikeluhkan kualitasnya oleh para pelanggan.

Di bidang pendidikan juga hampir sama. Nama ujian selalu berganti seiring kurikulum yang juga selalu berganti. Dulu masyarakat menengal THB atau tes hasil belajar. Terakhir diubah menjadi Ujian Nasional atau Unas. Istilah ujian masuk perguruan tinggi tak kalah hebat. Awalnya dikenal istilah Sipenmaru atau sistem penerimaan mahasiswa baru. Nama itu diubah menjadi UMPTN atau ujian masuk perguruan tinggi negeri. Sekarang diubah lagi menjadi SNMPTN atau seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri.

Apa yang berubah jika nama diubah?. Jawabannya : banyak. Tapi pentingkah nama-nama itu diubah? Saya lebih senang menjawab : tidak penting. Karena substansi dari semuanya tetaplah sama. Bahkan nama-nama (program maupun istilah apapun) seringkali menenggelamkan substansinya, dan seringkali mengecoh.

PDAM jelas bukan perusahaan yang (hanya) memproduksi air untuk konsumsi minum bagi masyarakat. Karena kalaupun diminum harus dimasak terlebih dulu. Pendidikan Karakter yang sekarang didengung-dengungkan oleh pemerintah pusat sebenarnya sama dengan pelajaran etika atau aqidah akhlak di madrasah-madrasah.

Negeri ini pun semakin lama semakin terjebak pada nama dan slogan. Ketika muncul isu mafia hukum, maka pemerintah membuat Satgas Pemberantasan Mafia Hukum. Apa mafia hukum benar-benar diberantas? Itu soal lain. Ketika TKI di luar negeri banyak menjadi korban kekerasan, bahkan ada yang dipancung maka pemerintah membentuk Satgas TKI. Apa kehidupan TKI lebih baik? Itu soal lain. Ketika banyak keluhan soal pelayanan publik, Pemprov Jawa Timur membentuk KPP atau komisi pelayanan publik. Apa pelayanan publik sudah bagus, atau minimal tidak jelek? Itu soal lain.

Jangan-jangan di negeri ini nama-nama sangat bagus, dan tak ada yang jelek. Tapi apa isi dan pencapaiannya juga sebagus namanya?, hal itu jarang diperdebatkan. Salam.

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring