Senin, 02 Januari 2012

Mari Belajar Mengakrabi Ketidakberesan



Oleh : Nanang Fahrudin

Di mana-mana ada calo. Kapan negeri ini bisa maju?. Eit, tunggu dulu. Jangan mengeluh begitu. Apalagi jika anda sedang berekreasi. Orang jawa mengatakan : eman. Karena jika anda mengikuti kejengkelan anda, maka bukan kesenangan yang didapat, melainkan ketidaknyamanan. Oleh karena itu jalan yang terbaik adalah mengakrabi sesuatu yang (mungkin) menjengkelkan bagi anda.

Rumus itulah yang saya pegang saat saya rekreasi bersama anak saya yang baru berusia delapan tahun di Kebon Binatang Surabaya (kami lebih familiar dengan sebutan Bonbin) di penghujung tahun 2011. Dan hasilnya: kami selalu bisa tersenyum, hahaha…..selalu tersenyum.

Siang itu belum puncak, motor kami masuk ke parkiran. Karena menjelang tahun baru, pengunjung Bonbin pun membludak. Setelah melewati antrean panjang, kami masuk parkir dan membayar karcis Rp2.000. Belum sempat memarkir motor, seorang bapak-bapak datang. “Daripada antre mas. Selisih cuma 1.000 saja,” katanya sambil menyodorkan tiket.
Awalnya saya jengkel. Masak karcis tempat rekreasi juga dicalo. Tapi teringat rumus tadi akhirnya saya tanya “berapa pak?”. Calo itu pun menjawab “kalau di loket Rp15.000. Beli di saya Rp16.000. Jadi dua orang Rp32.000 saja”. Saya pun mengiyakan dan memberikan uang Rp32.000 kepada calo itu. Saya pun melihat ke sekeliling dan ternyata bapak itu tidak sendirian.

Setelah mendapat tiket masuk, kami pun berjalan menuju pintu masuk. Kami melewati loket penjualan tiket. Eee…ternyata di loket tidak ada antrean panjang. Saya pun mengumpat dalam hati “kurang ajar. Pinter sekali calo itu merayu. Katanya antrean panjang, ee…ternyata sudah tidak antre”. Tapi saya teringat rumus tadi, maka saya pun tersenyum..

Berjalan-jalan di Bonbin membuat suasana hati menjadi riang. Apalagi anak saya terus saja tersenyum melihat satwa-satwa. Saya pun ingat polemik di Bonbin, mulai satwa yang banyak mati, rebutan pengelolaan, dan seabrek masalah lain. Tapi lagi-lagi saya bilang pada diri saya: lupakan ketidakberesan. Saya pun tersenyum dan menikmati satwa yang ada tanpa berpikir macam-macam lagi.

Sesampai di arena gajah tunggangan, anak saya tidak mau naik. Takut katanya. Maka ia pun naik kuda kecil lengkap dengan pelana. Sebelumnya saya sempat bertanya “di mana beli karcisnya?”. Petugas yang membawa kuda menjawab “nanti saja tidak apa-apa beli karcisnya”. Kami pun naik kuda berkeliling arena tunggangan. Saat naik kuda, petugas menerima telepon tak henti-hentinya tapi tetap memegang kendali kuda. Tidak nyaman memang. Dan sampai di ‘finish’ kami pun turun dan bertanya “Di mana membayar tiketnya?”. Petugas menjawab “Di sini saja”.

Uang Rp10.000 saya serahkan ke petugas. Belum sempat saya bertanya “Mana karcisnya?”. Saya teringat janji saya untuk mengikuti rumus “mengakrabi ketidakberesan” dan saya urungkan bertanya soal tiket. Saya pun ternyata mulai bisa akrab dengan ketidakberesan-ketidakberesan itu. Saya pun bisa tersenyum menikmati liburan bersama anak saya.
Sebelum pulang, kami menyempatkan diri membeli oleh-oleh berupa kaos Surabaya bergambar buaya yang sedang bertarung dengan ikan sura. Penjual kaos banyak ditemui di sekitar areal parkir. Setelah tawar-menawar, saya membeli kaos seharga Rp25.000 yang awalnya dibandrol Rp30.000 oleh penjualnya. Baru bergeser beberapa langkah saja, saya dipanggil penjual kaos lain. Saya mendekat dan dia bilang “beli di sini saja, Rp20.000 saja”. Saya pun tersenyum sambil mengingat-ingat rumus saya di awal : mari mengakrabi ketidakberesan.

Kami pun keluar dari Bonbin dan meluncur pulang dengan terus tersenyum puas. Rekreasi yang menyenangkan.


Surabaya, 28 Desember 2011

1 komentar:

Dee mengatakan...

Mas Nanang...
tulisanmu selalu renyah dibaca, dan..mengundang inspirasi...thanks ^^

salam tuk jagoan kecil dan adiknya yang cantik..

salam

 
© Copyright 2035 godongpring