Senin, 06 Juni 2011
Dunia Bungkus Membungkus
(Dimuat di Harian Seputar Indonesia Jawa Timur, Minggu 5 Juni 2011)
Oleh : Nanang Fahrudin
Jika anda kebetulan naik bus jurusan Surabaya-Bojonegoro, anda mungkin akan bertemu dengan grup pengamen di dalam bus yang melaju kencang. Saya sebut grup karena terdiri dari seorang pemuda (mungkin bapak), perempuan muda (mungkin ibu), dan bayi usia satu tahunan (mungkin anak) dalam gendongan sang perempuan. Suara “artis” perempuan itu melengking sahdu dengan genjrengan gitar bernada musik dangdut. Sesekali si bayi (sambil ngedot susu) ikut menggerakkan tangan seperti orang menari.
Dalam hitung-hitungan matematis, lagu sahdu ditambah bayi yang lusuh dan kotor pastilah akan berbuah rasa iba. Ya, dan itulah memang yang diharapkan oleh grup itu. Usai dua lagu, pemuda itu mengatakan “nyuwun sak ikhlase, damel nedo lare alit niki” dengan sopannya. Setelah itu, giliran tugas perempuan dengan bayi dalam gendongan berjalan ke deretan kursi bus menyodorkan bungkus permen. Sepuluh orang dilewati hanya satu dua yang menyemplungkan uang ke plastik itu. Pemuda itu pun marah “nek dijaluki wong gawe mendem ae diwenehi, ooo…” dengan galaknya.
Ya. Begitulah. Dunia ini penuh dengan “bungkus”. Apa yang ditunjukkan (tampak) tak selalu merujuk pada apa yang sebenarnya. Dan semua orang memaklumi begitu saja, tak terkecuali grup pengamen tadi. Seakan bungkus membungkus itu adalah bersifat naluriah manusia. Pengamen membutuhkan bungkus agar penumpang merasa iba. Seorang pejabat butuh bungkus agar mendapat dukungan ekonomi dan politik. Parpol butuh bungkus agar konstituen bertambah saat pemilu. Sekolah memerlukan bungkus untuk berebut siswa. Begitu seterusnya.
Bungkus membuat yang cantik menjadi lebih cantik, yang tidak pantas menjadi lebih pantas, yang jelek menjadi bagus. Semua bidang memerlukan bungkus agar bisa terlihat bagus. Sayangnya bungkus kotor ataupun bersih seringkali bercampur baur dan sulit dibedakan jika hanya dilihat sekilas. Jasa membungkus pun kini banyak dicari orang. Karena membungkus membutuhkna tips dan trik yang jitu. Soal isi, nanti sajalah.
Ketika Soeharto nangkring di puncak kekuasaan dibuatlah ribuan bungkus nan indah. Disebutnya era itu sebagai orde baru, sebuah harapan baru. Ketika orde baru berakhir, kaum reformis mengganti bungkus menjadi orde reformasi, era menuju kebebasan. Dua bungkus yang berbeda, tapi nasib rakyat tetaplah sama. Modal asing tetap mencengkeram negeri ini, kemiskinan tetap menjadi masalah besar bangsa.
Kini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) getol memberantas korupsi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lantang menyuarakan pemerintahan yang bersih. Parpol-parpol berteriak siap mensejahterakan rakyat. Sekolah murah, biaya kesehatan murah, tak ada pungutan liar (pungli) saat warga mengurus KTP, atau pengusaha kecil mendapat akses bantuan dengan bunga rendah. Semua pejabat mulai tingkat gubernur, bupati, wali kota, hingga kepala desa terus berkampanye demi kepentingan rakyat. Ya, semua demi rakyat. Dan semoga itu bukan bungkus doang.
Pada sisi lain, masyarakat sudah begitu terbiasa dengan bungkus-bungkus yang seringkali kosong tanpa isi itu. Mereka akhirnya tak lagi mempercayai semuanya. Karena semua terlanjur disebutnya bungkus. Dan ketika negara tak lagi dipercaya mampu menjamin kehidupan mereka akan lebih baik, masyarakat menjadi sangat individualis dan sak karebe dewe. Mencari selamat sendiri. Berusaha menjamin kehidupannya sendiri. Persaingan pun menjadi tidak sehat karena tidak ada aturan yang tegas dari negara.
Seorang terjerat hukum lebih memilih menyuap hakim, karena tidak lagi percaya ia akan mendapatkan keadilan ketika sidang berjalan “normal”. Peserta tes CPNS memilih membayar uang sogokan agar bisa diterima menjadi PNS, karena yakin jika dengan “cara normal” ia tak akan lolos tes. Seorang guru harus lebih sibuk dari siswanya saat Ujian Nasional (UN) digelar, karena mempersiapkan jawaban.
Ya, dunia bungkus membungkus ini memang sedang nyandung nylimpet di setiap langkah bangsa ini. Dunia topeng, dunia pencitraan, dunia permukaan. Lalu di mana isinya?. Munkinkah kita harus membuka satu persatu bungkus-bungkus itu agar mengetahui isinya. Apakah berisi kemanusiaan, atau kebinatangan. Mari kita diskusikan bersama.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar