Selasa, 14 Juni 2011
Anak Kita Menyanyi Lagu Apa?
Oleh : Nanang Fahrudin
(Dimuat di Koran SINDO edisi Jatim, Minggu 12 Juni 2011)
Suatu siang keponakan saya pulang dari sekolah dengan wajah senang. Ia kelas 1 SD di kampung. Wajahnya bulat dengan rambut agak keriting. Dengan wajah masih merah kepanasan, ia bercerita akan tampil menyanyi di panggung sekolah. Saya pun senang karena keponakan itu begitu riang. Saya pun bertanya lagu apa yang akan dinyanyikan. Dia menjawab dengan suara mantab : cinta satu malam.
Dek. Saya pun kaget dan kembali bertanya siapa yang memilih lagu itu. Dengan polos ia menjawab : saya dan bu guru, tadi diajari jogetnya sama bu guru. Ingatan saya pun langsung nempel pada seorang anak kecil usia enam tahunan saat perayaan tahun baru di atas kapal yang melaju dari Tanjung Priok hingga Tanjung Perak beberapa waktu lalu. Si anak itu begitu hafal dengan lagu-lagu Cinta Satu Malam, Keong Racun, dan lagu-lagu dangdut lain. Tak ketinggalan sambil bernyanyi ia berjoget dengan gaya joget patah-patah, ngebor, dan entah apa lagi.
Ya, dunia anak kecil memang semakin terdesak di pojokan dunia orang dewasa yang egois. Coba kita amati dunia anak sekeliling kita. Bisakah mereka bermain dalam waktu lama bersama teman-teman sebayanya, menikmati dunia kanak-kanak. Anak-anak kini dipaksa hidup dengan cara orang dewasa, mengikuti irama kehidupan orang tua. Pagi hari, mereka berangkat ke sekolah. Siang mereka diwajibkan les privat pelajaran. Waktu ujian nasional mereka “dipaksa” oleh sistem untuk mulai contek-mencontek.
Ketika anak berada di rumah, mereka lebih asyik menonton televisi yang acaranya lebih banyak didesain untuk kalangan orang dewasa. Tapi mereka pun pada akhirnya dibawa ikut menikmati tayangan-tayangan itu. Tak heran jika anak usia SD sudah hafal lagu-lagu orang dewasa.
Kita pun sulit menemukan anak-anak di sekitar kita yang asyik melantunkan lirik : Kuambil buluh sebatang/ kupotong sama panjang/ kuraut dan kutimbang dengan benang/
kujadikan layang-layang….Bermain berlari/ bermain layang-layang/ berlari kubawa ke tanah lapang/ hatiku riang dan senang.
Atau dengan riang menyanyikan lagu : pada hari Minggu ku turut ayah ke kota/ naik delman istimewa ku duduk di muka/ ku duduk samping pak kusir yang sedang bekerja/ mengendarai kuda supaya baik jalannya/ tuk-tik-tak-tik-tuk tik-tak-tik-tuk tik-tak-tik-tuk/tuk-tik-tak-tik-tuk tik-tak suara s'patu kuda. Tapi kita akan mudah mendengar di sekitar kita anak-anak menyanyikan : cinta satu malam oh indahnya/ cinta satu malam membuatku melayang….dst.
Entahlah. Siapa yang harus disalahkan. Atau saya yang mempertanyakan itulah yang keliru. Terlalu bernostalgia. Toh anak-anak sekarang juga begitu enjoy menyanyikan lagu orang dewasa plus gayanya tersebut. Tak ada lagi idola anak seperti pada tahun 1980-1990 an. Pada era itu kita menemukan penyanyi cilik Boneka Suzan (Eri Suzan), Bondan Prakoso, Eno Lerian, Trio Kwek-Kwek dan penyanyi cilik lain. Lingkungan benar-benar sudah menjauhnya dunia anak tersebut dari mereka.
***
Ketika lagu menjadi (hanya) sebuah produk industri massal, sebagian orang menempatkan dirinya juga hanya sebagai konsumen dan penikmat saja. Tak ada sikap kritis yang mempertanyakan apakah lagu itu memiliki nilai positif atau negatif, terutama bagi anak. Lagu pada akhirnya hanya dimaknai sebagai suatu hiburan, tanpa ada efek apapaun. Jarang sekali (mungkin tak pernah) lirik lagu disensor akibat makna yang terkandung memiliki nilai yang tidak selaras dengan pendidikan atau moralitas. Sebut saja lirik lagu Cinta Satu Malam, atau lagu Mari Bercinta. Kita hanya melihat adanya sensor lirik lagu karena dianggap secara estetika tidak bagus seperti lagu berjudul Udin dan lagu yang dinyanyikan Wali karena ada kata : Bajingan.
Ya, negeri ini memang sedang dilanda miskin lagu anak. Generasi yang 20 tahun lagi akan menjadi mahasiswa, pemuda-pemuda kampung, atau politisi-politisi itu telah menjadi dewasa sebelum ia dewasa, dengan lagu-lagu yang setiap hari dinikmatinya dari televisi, radio, maupun lingkungan sekitar. Kini tak ada lagi sosok pencipta lagu seperti AT Ahmadi yang menciptakan lagu Ambilkan Bulan Bu, atau Papa T Bob yang menciptakan lagu Semut-semut Kecil dan lagu Si Lumba-lumba. Semakin sedikit yang peduli jika lagu anak akan mempengaruhi psikologis, cara berpikir dan cara berperilaku anak.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar