Oleh : Nanang Fahrudin
(Dimuat Harian Seputar Indonesia Edisi Minggu 29 Mei 2011)
Ketika Mochtar Lubis berceramah pada tanggal 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta tentang manusia Indonesia, pastilah belum mengenal sosok Nazarudin, Artalyta Suryani (ayin) atau Gayus Tambunan. Tapi, watak-watak “para selebriti” kita ini sudah ditunjukkan jauh hari oleh sang sastrawan.
Watak-watak itu dilabeli oleh Mochtar Lubis sebagai “Manusia Indonesia” yang kemudian menjadi pembicaraan hangat. Buku yang memuat isi ceramah 80 halaman itupun hingga kini masih dicari banyak orang. Saya mencoba menghadirkan lagi “cermin” manusia Indonesia yang disusun Mochtar Lubis pada 34 tahun silam. Jadi bukan hendak berkisah tentang sepak terjang para selebriti itu. Sama sekali bukan. Maaf.
Manusia Indonesia yang dimaknai berbeda dengan manusia bukan Indonesia memang bukan lagi sesuatu yang terdengar penting untuk didiskusikan. Apalagi, modernitas saat ini telah begitu menyeragamkan cara pandang, cara berpikir, hingga cara perilaku masyarakat. Kesenangan masyarakat Surabaya shopping pada malam hari sama dengan kegemaran masyarakat di Singapura sana. Ketika pada ABG di Amerika demam Jastin Bieber, di Indonesia para ABG tak kalah histerisnya.
Tapi bagaimana pun juga, manusia Indonesia tetaplah manusia Indonesia yang bukan manusia Amerika atau Arab Saudi. Kita sebagai masyarakat Indonesia dibentuk oleh alam, sistem budaya, sistem sosial, sistem ekonomi, sistem politik yang berjalan sejak masyarakat itu ada.
Membingkai manusia Indonesia dalam sebuah definisi memang sudah banyak diulas. Munandar Soelaiman (1998) memotret masyarakat Indonesia sebagai masyarakat prismatik. Bukan modern, tapi juga bukan tradisional. Berada di irisan tengah antara modern-tradisional. Rasional sekaligus irasional. Meyakini rumus-rumus Einstein, tapi juga meyakini dukun-dukun. Radhar Panca Dahana, Emha Ainun Nadjib atau Pramoedya Ananta Tour juga membuat hipotesa sendiri tentang manusia Indonesia. Lalu mana yang benar, tak perlulah diperdebatkan. Karena manusia selalu bergerak dan tak ada makna tunggal.
Kembali ke manusia Indonesia ala Mochtar Lubis mari kita “uji” lagi. Dalam pidatonya, Lubis mengidentifikasi enam ciri manusia Indonesia. Pertama ia begitu munafik. Lain di muka lain di hati. Penyebabnya manusia Indonesia sudah lama tertekan dan menjadi masyarakat bawah. Wujud ciri ini adalah sikap ABS (asal bapak senang). Selalu mencari aman. Kedua enggan bertanggungjawab atas perbuatannya. Ini dicirikan dengan sifat masyarakat yang mencari kambing hitam atas setiap kesalahan. Pejabat yang terkena kasus hukum akan selalu menyalahkan atasan atau bawahan. Tidak akan menunjuk dirinya sendiri.
Ciri ketiga adalah feodal. Manusia Indonesia jika menjadi pejabat selalu sok berkuasa, karena ia merasa “mengemban amanat rakyat” yang disetujui Tuhan. Sedang masyarakat biasa tak kan berani mengemukakan sesuatu yang berbeda kepada atasan. Ciri keempat tahayul, dan kelima artisitik. Ciri kelima inilah satu-satunya yang menjadikan manusia Indonesia lebih dari manusia lain. Tak heran jika bagi wisatawan Indonesia bagai surga dengan berbagai budaya yang sungguh indah dan beragam.
Sedang ciri terakhir adalah manusia Indonesia berwatak lemah. Ciri ini ditunjukkan dengan sikap yang selalu nggrundel atau rasan-rasan ketika di “belakang”. Karena saat berdebat untuk mempertahankan keyakinan selalu kalah. Mochtar Lubis juga mengemukakan ciri lain yakni tidak hemat. Manusia Indonesia suka berfoya-foya, menghamburkan uang, meski uang itu belum di tangan.
Enam ciri manusia Indonesia ala Mochtar Lubis disuarakan pada 34 tahun silam. Tapi, kok rasa-rasanya semua ciri itu masih melekat erat pada diri manusia Indonesia pada umumnya (meski tetap ada pengecualian-pengecualian) saat ini. Ketika bangsa ini sudah masuk kotak era reformasi.
Mari kita cocokkan saja dengan para selebriti yang saya sebutkan di atas. Nazarudin misalnya. Ketika dia diduga melakukan suap apa yang terjadi. Sekarang ia “lari” ke Singapura sehari sebelum KPK mencekalnya. Kita tunggu saja, apakah ia tidak akan bertanggungjawab (ciri kedua), atau tak akan mengakui apa yang diperbuatnya (ciri pertama). Kita lihat saja nanti apakah dia akan menimpakan kesalahan kepada orang lain?. Lebih baik kita lihat perkembangan kasus itu ke depannya.
Kalau kita sering menemukan berita jika pejabat di Jepang atau China diketahui korupsi akan langsung mengundurkan diri, bagaimana jika pejabat itu di Indonesia?. Soal itu, seorang kawan berseloroh : “Nanti negara ini tidak ada pejabatnya, karena semua mengundurkan diri”.
Nah, sekarang mari kita melihat sekeliling kita, orang-orang sekitar atau para pejabat tingkat desa hingga presiden, bagaimana perilaku mereka. Jangan lupa lihat juga diri kita. Kita patut bersyukur jika semua yang kita lihat tidak mencerminkan seperti apa yang dicirikan oleh Mochtar Lubis di atas.
Atau jangan sampai guyonan Cak Nun menjadi kenyataan. Guyonan itu begini, sebuah perusahaan hendak merekrut karyawan. Ada tiga calon karyawan yang mendaftar. Saat sesi wawancara, calon pertama banyak memaparkan ide dan gagasan untuk memajukan perusahaan. Demikian juga calon karyawan kedua, tak kalah panjang idenya.
Tapi kedua calon itu gagal. Karena ternyata yang diterima adalah calon ketiga yang hanya butuh satu menit untuk wawancara. Karena saat ditanya bos tentang ide memajukan perusahaan, si calon karyawan menjawab : terserah bapak saja.
(Dimuat Harian Seputar Indonesia Edisi Minggu 29 Mei 2011)
Ketika Mochtar Lubis berceramah pada tanggal 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta tentang manusia Indonesia, pastilah belum mengenal sosok Nazarudin, Artalyta Suryani (ayin) atau Gayus Tambunan. Tapi, watak-watak “para selebriti” kita ini sudah ditunjukkan jauh hari oleh sang sastrawan.
Watak-watak itu dilabeli oleh Mochtar Lubis sebagai “Manusia Indonesia” yang kemudian menjadi pembicaraan hangat. Buku yang memuat isi ceramah 80 halaman itupun hingga kini masih dicari banyak orang. Saya mencoba menghadirkan lagi “cermin” manusia Indonesia yang disusun Mochtar Lubis pada 34 tahun silam. Jadi bukan hendak berkisah tentang sepak terjang para selebriti itu. Sama sekali bukan. Maaf.
Manusia Indonesia yang dimaknai berbeda dengan manusia bukan Indonesia memang bukan lagi sesuatu yang terdengar penting untuk didiskusikan. Apalagi, modernitas saat ini telah begitu menyeragamkan cara pandang, cara berpikir, hingga cara perilaku masyarakat. Kesenangan masyarakat Surabaya shopping pada malam hari sama dengan kegemaran masyarakat di Singapura sana. Ketika pada ABG di Amerika demam Jastin Bieber, di Indonesia para ABG tak kalah histerisnya.
Tapi bagaimana pun juga, manusia Indonesia tetaplah manusia Indonesia yang bukan manusia Amerika atau Arab Saudi. Kita sebagai masyarakat Indonesia dibentuk oleh alam, sistem budaya, sistem sosial, sistem ekonomi, sistem politik yang berjalan sejak masyarakat itu ada.
Membingkai manusia Indonesia dalam sebuah definisi memang sudah banyak diulas. Munandar Soelaiman (1998) memotret masyarakat Indonesia sebagai masyarakat prismatik. Bukan modern, tapi juga bukan tradisional. Berada di irisan tengah antara modern-tradisional. Rasional sekaligus irasional. Meyakini rumus-rumus Einstein, tapi juga meyakini dukun-dukun. Radhar Panca Dahana, Emha Ainun Nadjib atau Pramoedya Ananta Tour juga membuat hipotesa sendiri tentang manusia Indonesia. Lalu mana yang benar, tak perlulah diperdebatkan. Karena manusia selalu bergerak dan tak ada makna tunggal.
Kembali ke manusia Indonesia ala Mochtar Lubis mari kita “uji” lagi. Dalam pidatonya, Lubis mengidentifikasi enam ciri manusia Indonesia. Pertama ia begitu munafik. Lain di muka lain di hati. Penyebabnya manusia Indonesia sudah lama tertekan dan menjadi masyarakat bawah. Wujud ciri ini adalah sikap ABS (asal bapak senang). Selalu mencari aman. Kedua enggan bertanggungjawab atas perbuatannya. Ini dicirikan dengan sifat masyarakat yang mencari kambing hitam atas setiap kesalahan. Pejabat yang terkena kasus hukum akan selalu menyalahkan atasan atau bawahan. Tidak akan menunjuk dirinya sendiri.
Ciri ketiga adalah feodal. Manusia Indonesia jika menjadi pejabat selalu sok berkuasa, karena ia merasa “mengemban amanat rakyat” yang disetujui Tuhan. Sedang masyarakat biasa tak kan berani mengemukakan sesuatu yang berbeda kepada atasan. Ciri keempat tahayul, dan kelima artisitik. Ciri kelima inilah satu-satunya yang menjadikan manusia Indonesia lebih dari manusia lain. Tak heran jika bagi wisatawan Indonesia bagai surga dengan berbagai budaya yang sungguh indah dan beragam.
Sedang ciri terakhir adalah manusia Indonesia berwatak lemah. Ciri ini ditunjukkan dengan sikap yang selalu nggrundel atau rasan-rasan ketika di “belakang”. Karena saat berdebat untuk mempertahankan keyakinan selalu kalah. Mochtar Lubis juga mengemukakan ciri lain yakni tidak hemat. Manusia Indonesia suka berfoya-foya, menghamburkan uang, meski uang itu belum di tangan.
Enam ciri manusia Indonesia ala Mochtar Lubis disuarakan pada 34 tahun silam. Tapi, kok rasa-rasanya semua ciri itu masih melekat erat pada diri manusia Indonesia pada umumnya (meski tetap ada pengecualian-pengecualian) saat ini. Ketika bangsa ini sudah masuk kotak era reformasi.
Mari kita cocokkan saja dengan para selebriti yang saya sebutkan di atas. Nazarudin misalnya. Ketika dia diduga melakukan suap apa yang terjadi. Sekarang ia “lari” ke Singapura sehari sebelum KPK mencekalnya. Kita tunggu saja, apakah ia tidak akan bertanggungjawab (ciri kedua), atau tak akan mengakui apa yang diperbuatnya (ciri pertama). Kita lihat saja nanti apakah dia akan menimpakan kesalahan kepada orang lain?. Lebih baik kita lihat perkembangan kasus itu ke depannya.
Kalau kita sering menemukan berita jika pejabat di Jepang atau China diketahui korupsi akan langsung mengundurkan diri, bagaimana jika pejabat itu di Indonesia?. Soal itu, seorang kawan berseloroh : “Nanti negara ini tidak ada pejabatnya, karena semua mengundurkan diri”.
Nah, sekarang mari kita melihat sekeliling kita, orang-orang sekitar atau para pejabat tingkat desa hingga presiden, bagaimana perilaku mereka. Jangan lupa lihat juga diri kita. Kita patut bersyukur jika semua yang kita lihat tidak mencerminkan seperti apa yang dicirikan oleh Mochtar Lubis di atas.
Atau jangan sampai guyonan Cak Nun menjadi kenyataan. Guyonan itu begini, sebuah perusahaan hendak merekrut karyawan. Ada tiga calon karyawan yang mendaftar. Saat sesi wawancara, calon pertama banyak memaparkan ide dan gagasan untuk memajukan perusahaan. Demikian juga calon karyawan kedua, tak kalah panjang idenya.
Tapi kedua calon itu gagal. Karena ternyata yang diterima adalah calon ketiga yang hanya butuh satu menit untuk wawancara. Karena saat ditanya bos tentang ide memajukan perusahaan, si calon karyawan menjawab : terserah bapak saja.