Oleh: Nanang Fahrudin
“Wedang kopi panas disajikan dengan cangkir putih
kembang-kembang. Jian, kenapa kok rasanya beda ya. Wedang yang begini lebih
terasa nikmat dibandingkan dengan wedang yang disajikan dengan gelas bening”.
Aku mengatakan itu kepada Kang Tolib sambil jegrang di
warung Mak Ni. Kang Tolib yang kuajak ngobrol malah cengar-cengir sambil
tatapannya mengarah ke perempuan seksi penjual rokok. Haduh ini jelas-jelas
maksiat dan melecehkan teman. Wong diajak ngobrol malah matanya kemana-mana.
“Kang!” kataku sambil neblek bahunya.
“Eh, kowe ki mengagetkan saja. Jantungku ki lemah lho,”
katanya sambil membetulkan posisi pantatnya seperti orang sedang menahan
kentut.
“Lha kowe ki dijak ngomong malah matanya piknik kemana-mana.
Hayo apa yang kubicarakan tadi,” kataku agak marah.
“Halah, kowe ki kok mudah sekali marah to. Wong begitu saja
kok marah. Mbok dadi wong itu yang sabaran dikit. Masa aku harus memperhatikan
dirimu dan melewatkan perempuan tadi. Kan aneh jadinya. Haha.”
“Sekarepem wes.”
“Lho. Mbok jangan mudah marah begitu. Apa kamu sekarang
sudah seperti orang-orang itu. Yang mudah marah, mengumbarnya di media sosial,
merasa paling benar sendiri,” kata Kang Tolib.
Aku tidak melanjutkan obrolan itu. Dan kebetulan Mas Guru
lewat. Langsung saja kusapa dan kupersilahkan ikut ngopi. Bersyukur dia
berkenan. Maka jadilah kita bertiga ngopi sambil ngobrol kemari kesana.
Mas Guru adalah orang yang baik. Kami mengenalnya sebagai
orang yang tidak ngetok-ngetokno
ilmunya. Rendah hati. Aku dan Kang Tolib selalu senang kalau ngopi bareng dia.
Selalu ada saja ada yang menarik untuk dibicarakan, dan itu berbeda ketika aku
dan Kang Tolib ngobrol.
“Mas Guru, menurutmu kenapa orang sekarang mudah sekali
marah ya. Dan perbedaan seperti sesuatu yang mengancam kehidupan kita,” tanya Kang Tolib sambil nyomot pisang goreng
anget. Di warung, makin banyak orang yang datang. Rata-rata pegawai negeri yang
korupsi waktu kerja.
“Ah sampean terlalu banyak melihat dunia dari media sosial
saja. Saya juga tidak tahu, media sosial dipenuhi dengan orang-orang yang
marah-marah melulu. Tapi, coba lihat juga masyarakat yang berada di sawah,
pasar tradisional, warung kopi begini, kan adem ayem saja. Ya sebenarnya yang
mudah marah itu yang orang-orang gede itu, yang kemudian mengajak orang-orang
kecil seperti kita,” katanya.
“Tapi, di medsos kan tidak semua orang gede. Banyak wong
cilik juga seperti kita ini. Tapi mereka juga sering marah-marah,” kataku.
Wedang kusruput lagi dikit.
“Ya, medsos macam fesbuk memang unik. Fesbuk adalah produk
dari modernitas, yang seharusnya mengarahkan manusia kepada kesetaraan dan
kebebasan sebagaimana watak modernitas. Tapi kenyataannya, fesbuk malah membawa
orang pada kepicikan berpikir, pemutlakkan identitas, dan sangat yakin bahwa
dirinya adalah paling benar. Akibatnya orang mudah tersulut emosinya, meski
gara-gara kabar tak benar. Yang penting marah dulu,”
“Dan orang-orang yang marah itu seakan-akan yakin bahwa
Tuhan juga marah kepada orang yang dimarahi. Sehingga, mereka meyakini telah
menjadi wakil Tuhan untuk marah. Saya
ingat wejangan Gus Mus. Begini kata beliau. Bahwa kita seringkali merasa ketika
kita marah, Tuhan juga sama marahnya. Jadi kita menyamakan diri kita dengan
Tuhan. Padahal kita adalah ciptaannya yang sama-sama keciiiiilllll banget. Kita
hanya sama-sama makhluk Tuhan”.
“Terus gimana Mas Guru?” tanya Kang Tolib.
“Apanya yang gimana,” kataku. Entah kenapa aku selalu
bengkerengan kalo sama Kang Tolib. Tapi ya kami tetap cengengas cengenges gitu.
Mungkin gaya persahabatan kami model begitu. Lebih asyik.
“Ya ndak gimana-gimana. Kita perlu pandai-pandai menjaga
diri. Jangan ikut-ikutan marah. Tidak perlu ngeshare apa-apa di fesbuk yang
berujung pada kebencian. Biarkan mereka begitu. Kita berdoa saja semoga semua
baik-baik saja,” kata Mas Guru.
Aku dan Kang Tolib beradu tatap. Aku tahu apa yang
dipikirkan Kang Tolib. Pasti dia minta wedang kopinya dibayari Mas Guru. Jian
kurang ajar banget kok pancen.
Jogja, 15 Januari 2017
1 komentar:
Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.
Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.
Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.
Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.
Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut
Posting Komentar