Senin, 24 September 2012

Saya: Pelagia Vlassova, Janda Buruh

Catatan Pendek Novel IBUNDA karya Maxim Gorki

Oleh Nanang Fahrudin

Saya sering merasa membaca adalah berziarah. Sunyi. Tapi dalam sunyi itu semua tiba-tiba hadir, berkelebat, berteriak, juga menyapa ramah. Deretan kalimat yang tersentuh dua mata, memanggil-manggil pengalaman, menjahit masa lalu, menubruk pikiran, dan menyisakan desahan panjang. Ya, membaca adalah berziarah dalam sunyi.

Pengalaman membaca ini pun tak jarang menenggelamkan saya ke dasar kesepian. Menjauh dari kebisingan dan mengakrabi secangkir kopi. Saat asyik membaca, ingin rasanya mata sekuat mentari, pikiran seluas samudra. Tapi tidaklah, saya tetap seseorang yang belajar membaca.

Seperti membaca buku Ibunda karya Maxim Gorki terbitan Kalyanamitra 2002. Buku ini sungguh saya sukai karena banyak sebab. Penerjemahnya Pramoedya Ananta Toer, penerbitnya adalah lembaga perempuan, dan Gorki adalah nama sastrawan besar Rusia yang sudah lama saya dengar namun baru kali ini membaca karyanya. Nah, lengkap sudah kehebatan buku ini.

Menyusuri halaman demi halaman buku ini membuat saya lama memejamkan mata lalu membebaskan pikiran agar mengembara. Novel ini berkisah tentang perjuangan buruh di Rusia awal abad 20. Ada tema besar yang digenggam yakni memperjuangkan kemanusiaan, kejujuran, kesejahteraan buruh, yang semua terangkum dalam sosok Ibunda, seorang ibu bernama Pelagia Vlassowa, janda buruh pabrik. Juga pada sosok Pavel Vlassov, anak Ibunda yang seorang aktivis buruh, dipenjara, dan lalu diadili karena aksi unjuk rasa pada Hari Buruh 1 Mei.

Membaca buku ini begitu menyentuh diri paling dalam. Ketika membaca aksi unjuk rasa yang dipimpin Pavel, masa lalu saya hinggap pada saat mahasiswa mengikuti aksi unjuk rasa tiba-tiba berkelebat hadir. Kelebatan masa lalu itu pun mengundang serpihan-serpihan lain yang lalu bertaburan. Saat berdiskusi dengan sahabat, atau saat berdiskusi buku-buku kiri, semua berdatangan.

Ketika Pavel dan teman-temannya berpidato di hadapan hakim, yang kemudian pidato tentang proletar dan borjuis itu dicetak lalu disebar kepada rakyat, pikiran saya tergelincir pada buku-buku tentang Marx dan Marxisme. Lalu pikiran saya ditumbuk oleh realitas demonstrasi yang seringkali berwajah sangar namun dagelan akhir-akhir ini. Belum sampai buku tuntas saya baca, pikiran saya berbelok pada perjuangan-perjuangan buruh yang mulai mendapat kritik sana-sini. Pikiran-pikiran lain pun berdatangan dan berdatangan, seperti titik-titik hujan yang berjatuhan.

Tapi sudahlah. Itu pengalaman saya membaca yang mungkin berbeda dengan pengalaman anda. Karena membaca, bagi saya, adalah aktivitas paling egois dari keegoisan lain yang ada. Tak ada yang bisa menyetir pikiran seseorang ketika dia membaca sebuah teks.

Dan agar tulisan saya ini enak dibaca, saya cerita sedikit tentang isi buku ini. Ibunda, tokoh dalam buku ini, adalah perempuan luar biasa. Saya sempat berpikir, seorang ibu di mana pun berada wajib membaca buku ini. Ia menikah dengan buruh pabrik, yang setiap hari mabuk, lalu memukulinya, menjambaknya, dan mengatainya sundal. Ia pun lupa bahwa ia bisa tersenyum. Dalam kesehariannya, ia melarutkan diri dalam penderitaan yang tak terperi.

Pavel anaknya tak luput dari pukulan dan pukulan. Seperti anak-anak pada zaman itu, yang mabuk, lalu berkelahi, sekarat, dan sebagian mati. Kehidupan buruh begitu sangat keras dan tak beradab. Tapi, semua bukan tanpa sebab. Penyebabnya tak lain penguasa dan orang-orang kaya yang telah memperbudak kaum buruh, lalu mengambil kehidupan mereka, menenggelamkan kehidupan buruh ke dasar paling gelap.

Tapi kehidupan Pavel mulai berubah ketika bertemu dan sering berdiskusi dengan para aktivis buruh sosialis. Pavel menjadi berwatak tenang dan tak beringasan. Satu dua kali pertemuan rahasia dengan para aktivis buruh itu dilakukan di rumahnya. Dari sinilah Ibunda mengenal dunia perjuangan buruh.

Ia pun ikut menenggelamkan diri dalam perjuangan itu, memuji anaknya. Tapi di sisi lain ia takut anaknya akan tersesat, apalagi ketika Pavel selalu mempertanyakan keadilan Tuhan. Tapi rasa kasih sayangnya terhadap Pavel dan temannya begitu besar, membuatnya menjadi kuat. Lalu ia belajar membaca dan membantu perjuangan bawah tanah. Ketika Pavel dipenjara gara-gara menyebarkan selebaran gelap untuk rakyat, Ibunda menggantikan anaknya menyebarkan pamphlet-pamflet dan bacaan-bacaan untuk menyadarkan kaum buruh. Ibunda menyamar sebagai penjual makanan dan bisa keluar-masuk buruh.

Kelemahan fisik lantaran faktor usia tak membuat Ibunda patah. Ia berjalan dari kota-kota untuk mengemban tugas suci menyebarkan bahan bacaan untuk buruh. Puncaknya ketika Pavel diadili dan diputus bersalah dengan ganjaran dibuang ke Siberia untuk kerja paksa, Ibunda menyebarkan bacaan berisi pidato Pavel di hadapan hakim kepada warga Rusia. Ibunda tak pernah gentar, meski akhirnya ia ditangkap oleh polisi-militer, digebuki, dipukul, hingga dia tak sadarkan diri.

Ah, cukup sampai di sini saja. Lebih baik Anda membacanya sendiri langsung. Karya Gorki tak sekadar berapi-api, tapi juga indah penuh untaian kata-kata cantik, yang disulam berbaris rapi. Saya sulit melukiskannya dengan pilihan kata yang saya punya. Baca saja ini: hari pun runtuhlah satu demi satu seperti merjan-merjan dari ikatan tasbih dan membangunkan minggu serta bulan. (hal: 40). Kalimat yang indah bukan?. Salam!

Bojonegoro, 24 September 2012

Selasa, 18 September 2012

Bulan Menggantung di Langit



Oleh Alif Didharma

Matahari mulai diselimuti senja ketika aku masuk ke rumah. Istriku muncul dari dapur dan merebut tanganku untuk dicium. Lelahku diusirnya dengan secangkir kopi yang sudah siap di meja. Aku duduk di kursi rotan berdebu. Menyandarkan punggung yang kaku setelah seharian bergelut dengan cangkul di sawah. Istriku kembali masuk ke dapur.

“Ulan Songo kali ini kita harus bisa panen kang”. Aku teringat omongan istriku beberapa hari lalu. Saat itu sambil berbicara ia memijit-mijit kakiku di balai-balai kayu di teras rumah. Wajahnya teduh seperti pohon jambu depan rumah. Tapi keteduhan itu dihiasi tangis yang ditahan. Dan aku lebih tahu dari siapapun tentang isi hati istriku.

“Sebentar lagi bulan Juni. Wati waktunya masuk esempe. Dede saatnya masuk esde.” Lagi-lagi aku teringat kata-kata istriku.

Sambil menyandarkan kepala di kursi aku baru sadar betapa hebatnya seorang istri. Ia terlihat lemah tapi begitu kuat ketika harus mengurus empat bocah seorang diri. Anakku yang ketiga masih hampir satu tahun, sedang yang ke empat masih di perut istriku. Aku pun sudah tak ingat lagi berapa usia anak pertama dan kedua kami. Urusan anak seperti sudah menjadi urusan istriku.

Aku terlalu larut dalam keseharian dengan lumpur sawah. Tak ada yang kubisa selain menanam padi di musim hujan dan menanam tembakau di musim kemarau. Musim hujan lalu padi kami gagal panen. Gara-garanya hujan tidak turun-turun dan padi jadi kering lalu mati sebelum berisi. Sawah yang kugarap adalah milik desa. Sebagai penggarap sawah aku mendapat bagian setengahnya saat panen.

“Ada apa kang, kok melamun begitu,”

Aku tak menjawab. Kuamati istriku yang mengulurkan piring berisi tiga biji pisang goreng. Ia lalu duduk di kursi sebelahku. Diseretnya kursi itu lebih mendekat lagi ke tempat dudukku.

“Tadi Mbok Jah datang. Dia memberi kita nasi kuning. Lagi tironan katanya. Itu nasinya masih ada. Anak-anak kita semua sudah makan. Mau kuambilkan,” katanya pelan. Masih teduh seperti tadi.

“Ya ambilkan. Aku lapar sekali”

“Tunggu sebentar ya”

Istriku masuk lagi ke dapur dan kembali membawa piring berisi nasi kuning, telur dadar, mi kuning goreng, dan sambal tempe. Aku pun menegakkan punggung dan menerima piring itu. Nasi itu pun habis kusantap. Enak sekali.

“Di mana anak-anak kita?”

“Mereka sudah berangkat ke langgar Haji Tohir jam lima tadi. Sana cepat mandi sebentar lagi adzan maghrib,” kata istriku.

Seperti anak kecil aku digiringnya ke sumur. Tak ada bak mandi di rumahku, yang ada hanya bak kecil dan sumur pompa. Bak kecil itu dikelilingi gedhek. Lantainya hanya batu kerikil kali yang sudah mulai berlumut. Bak itu sudah penuh air. Pasti istriku tadi mengisinya sebelum aku tiba.

“Besok Pak Lurah mau datang ke rumah kita Kang. Katanya mau membicarakan soal sawah,” kata istriku sedikit berteriak. Gemericik air kadang melenyapkan suaranya.

“Jam berapa?”

“Pagi katanya”

“Pagi jam berapa?”

“Aduh, pokoknya pagi”

“Ya ya ya pagi” kataku dari kamar mandi.

***

Kampungku berada jauh dari sungai besar. Separoh warganya jadi buruh tani. Aku salah satunya. Pertanian hanya disuguhi air dari langit. Belum ada irigasi atau semacamnya. Aku tidak begitu tahu soal pengairan. Hanya kudengar dari siaran radio bahwa sekarang di mana-mana menanam padi bisa tiga kali setahun, karena air bisa datang dari mana saja. Tapi di kampungku menanam padi ya sekali dalam setahun. Jika cuaca lagi baik, hujan turun menyuburkan sawah. Tapi jika musim tanam padi lantas tidak ada hujan, maka panen dipastikan gagal. Seperti tahun lalu.

Di kampungku jumlah petani seperti diriku pun semakin sedikit. Banyak yang beralih profesi, menjadi tukang becak, asongan di kereta api, atau pergi ke kota besar mencari kerja apa saja. Warga kampungku sangat disiplin. Matahari belum terbit, yang laki-laki sudah pergi ke sawah, yang ibu-ibu mulai mengepulkan asap di dapur.

Tapi pagi ini sedikit berbeda. Jam enam aku masih di rumah. Kata istriku pagi ini Pak Lurah akan datang ke rumah. Tadi pagi sekali istriku kuminta menyiapkan secangkir kopi dan pisang goreng. Di luar langit cukup cerah. Empat anakku ramai di sumur belakang rumah berebut mandi lebih dulu. Suara penjual sayur keliling melolong-lolong menawarkan dagangannya. Aku sendiri berada di samping rumah mencari ulat yang merusak tanaman cabe yang hanya tiga batang saja. Sekadar menunggu Pak Lurah datang.

“Assalamu’alaikum”

“Alaikum salam. Monggo Pak Lurah. Silahkan masuk,” kataku sopan. Bagi warga kecil
seperti kami Pak Lurah adalah simbol kekuasaan. Semua apa kata Pak Lurah. Waktu anak pertama saya lahir dan Pak Lurah datang memberi nama Wati, kami langsung memberikan nama itu kepada anak kami. Ketika Pak Lurah minta semua pohon jati pinggir jalan ditebangi kami semua langsung menurut. Untuk apa pohon jati itu selanjutnya, kami tidak tahu dan tak pernah bertanya.

Dan seperti pagi ini, ia ada di rumahku. Aku harus patuh sepatuh patuhnya. Istriku kupanggil. Kopi dan pisang goreng kuminta didekatkan ke meja agar Pak Lurah mudah mengambilnya. Tak lupa kuminta menyiapkan kobokan dan serbet. Pak Lurah pasti tak ingin ada minyak menempel di tangannya.

“Begini Kang,” katanya memulai pembicaraan. Aku duduk di sampingnya, bukan seperti bapak kepada anaknya. Tapi anak kepada bapaknya. Meski usia Pak Lurah jauh di bawahku. Aku pun tak berani menyela omongannya.

“Pak Bupati minta semua desa meningkatkan produksi padi. Eh maksudku panen padi harus diperbanyak. Tembakau juga harus lebih banyak. Daerah sini mau dibuat percontohan sebagai daerah paling banyak memanen padi dan tembakau,”
Aku mendengarkan dengan pandangan mata tetap ke arah mulut Pak Lurah tanpa tahu apa arti kalimat panjang itu.

“Emm.. jadi semua harus bekerja keras. Butuh keahlian lebih baik lagi untuk menggarap sawah,”

Aku tetap duduk tenang. Dan tetap tidak tahu arah pembicaraannya.

“Jadi sekarang pengelolaan sawah oleh desa di-outsourcing. Eh maksud saya ada perusahaan yang akan menggarap sawah-sawah yang ada. Jadi warga tidak perlu susah-susah menggarapnya. Ini demi meningkatkan produksi, eh maksud saya jumlah padi dan tembakau yang dipanen.”

“Para penggarap sawah seperti sampean Kang akan dicarikan pekerjaan lain yang lebih layak. Karena sawah akan ditangani oleh orang-orang yang mengerti teknologi. Mereka akan mendatangkan traktor, mesin panen padi, membangun pengairan, membangun waduk, dan mengganti tenaga manusia dengan mesin. Jadi sampean tidak perlu repot-repot menggarap sawah lagi”

Aku masih tidak mengerti apa makna pembicaraan Pak Lurah yang panjang itu.
“Terus kenapa Pak?” tanyaku.

“Begini Kang. Maksud kedatangan saya ya ingin mengambil sawah yang sampean garap. Nanti ada pekerjaan lain untuk sampean”

“Pekerjaan apa itu Pak? Saya hanya bisa menggarap sawah. Saya tidak bisa apa-apa,”

“Tenang saja. Semua akan baik-baik saja”

“Ya Pak!”

Lalu Pak Lurah bangkit dari duduknya. Ia menyalamiku yang kusambut dengan cepat. Aku tetap tak begitu mengerti omongan panjang itu. Hanya yang kutahu aku tak lagi diperbolehkan menggarap sawah. Ada tawaran pekerjaan lain.

“Assalamu’alaikum Kang, saya balik dulu. Pak Bupati mau datang nanti ke balai desa”.

“Waalaikum salam Pak,”

Aku berdiri di depan pintu. Di depanku Pak Lurah berjalan menuju mobil mengkilap warna putih. Aku tidak tahu mobil apa namanya. Aku menganggukkan kepala saat Pak Lurah memandang ke arahku. Mobil lalu melaju di atas jalan tidak rata dengan batu-batu menonjol di sana-sini.

Istriku masih di sumur bersama anak-anakku yang belum selesai mandi. Udara pagi masih terasa dingin. Maklum semalam hujan turun meski tidak terlalu deras. Embun masih menempel di pucuk-pucuk daun. Burung cendet bernyanyi dari rumpun bambu di belakang rumah. Nyanyiannya semakin indah karena burung perkutut ikut manggung juga. Seakan burung-burung itu hendak bercakap-cakap.

***

Malam belum begitu tua. Bulan separoh menggantung di langit. Kelelawar terbang tersesat dan berputar-putar di dalam rumah. Tiga anakku sudah tidur di satu kamar. Mereka sudah terbiasa berdesak-desakan. Karena memang tak ada lagi ruangan yang tersisa.

Aku duduk di kursi rotan berdebu. Kursi itu berada di ruang tamu berlantai tanah. Rumahku cukup indah di mata kami. Meski ukurannya kecil sekecil garasi mobil Pak Lurah. Di depan ada pohon kersen yang selalu berbuah. Anak-anakku dan teman-temannya sering bermain di bawah pohon itu kala sore menjelang maghrib.

Istriku masih di dapur membersihkan barang-barang pecah belah. Kemarin aku melihat matanya merah. Tapi saat kutanya kenapa, dia hanya tersenyum dan mengatakan tidak ada apa-apa. Tapi aku selalu tahu isi hatinya melebihi siapapun. Di mataku hatinya tak pernah bisa ditutupi oleh apa saja. Aku bisa merasakannya, bisa membacanya, bisa mendengarkannya, dan bisa menggenggamnya.

Seperti halnya dirinya yang selalu bisa menggenggam hatiku, bahkan apa yang kupikirkan sekaligus. Dan sekarang diapun menggenggam semuanya. Kami selalu tahu apa isi hati, tapi kami tak pernah mengatakannya. Aku tak pernah mengatakan kepada istriku, dan demikian juga istriku diam dan tersenyum tak pernah bertanya apa-apa tentang hati.

Aku tahu istriku sedih. Istriku juga tahu aku sedang sedih. Keputusan Pak Lurah mengambil sawah yang selama ini kugarap membuat kami tak bisa berbuat apa-apa. Kami baru sadar sekarang setelah sebulan lalu Pak Lurah mengatakannya kepadaku. Sejak saat itu aku tak pernah ke sawah lagi. Tak bisa menanam padi.

Biasanya separuh bidang sawah kutanami ketela dan kacang-kacangan untuk ditukar dengan sepotong tempe. Aku juga biasa menanaminya jagung yang bisa kujual untuk membayar biaya sekolah.

Tapi sekarang. Semua seperti berhenti mendadak. Aku tak lagi menggarap sawah sedang setiap hari tetap perlu makan.

“Kang…!”. Istriku begitu terlihat tua malam ini. Matanya merah, dan aku tak bertanya lagi.

“Sudah ada kabar dari Pak Lurah soal pekerjaan?” tanya istriku. Ia mendekat duduk di sampingku. Memijat pundakku yang terasa lemas.

Aku menarik nafas panjang. Kubelai rambutnya yang diikat karet gelang. Kuusap-usap pipinya yang tak halus lagi. Aku tersenyum dan istriku ikut tersenyum.

“Besok aku akan mulai kerja” kataku pelan.

“Kerja apa kang?,”

“Aku mau ikut Kang Somad pergi ke kota”

“Kenapa tidak di kampung kita saja”

“Pekerjaannya ada di kota. Jadi aku harus ke sana. Aku sudah bilang sama Kang Somad”

“Kerja apa Kang?”

“Yang penting halal dik!”

“Yang penting sampean kuat Kang”

“Ya dik!”

Kami pun menutup pintu rumah dan mematikan lampu. Kami berjalan pelan ke kamar tidur. Malam begitu damai. Tuhan berbisik lewat angin yang menerobos dari dinding gedhek rumah kami dan menenteramkan jiwa kami. Sesekali terdengar raungan sepeda motor yang lewat di depan rumah kami.

Kami dibangunkan oleh suara adzan subuh. Istriku sudah berada di dapur sedang aku baru menurunkan kaki dari tempat tidur. Tiga anakku masih tidur di kamar sebelah. Kami pun lantas sama-sama menuju langgar Kang Tohir yang hanya berjarak beberapa meter saja dari rumahku.

Usai salat subuh istriku menyiapkan secangkir kopi untukku. Kopi pagi selalu memberi semangat bagi tubuh yang sudah mulai rapuh ini.

“Aku berangkat pagi ini ya,” kataku sambil mengangkat cangkir.

“Kenapa sawah tidak bisa kita garap lagi Kang?”

“Aku tidak tahu dik. Katanya mesin lebih canggih daripada manusia”

“Tapi mesin tak butuh makan Kang. Sedang kita butuh”

“Aku tidak tahu dik”

“Wati sebentar lagi masuk esempe, pasti butuh biaya banyak”

“Tuhan Maha Adil dik”

“Kemarin Dede menangis minta dibelikan sepeda”

“Aku berangkat dulu dik ya”

“Sebentar lagi aku melahirkan”

“Aku berangkat dulu ya”

Tanganku dicium oleh istriku. Aku merasa tanganku basah. Aku melangkah keluar rumah. Di seberang jalan Kang Somad sudah membawa tas kecil di pundak dan melambaikan tangan.

Bojonegoro, Mei 2012

(maaf, gambar belum nyambung dengan tulisan)

Sabtu, 15 September 2012

Koran Minggu dan Secangkir Kopi



Oleh Nanang Fahrudin

Entah sejak kapan, hari Minggu menjadi hari yang menyegarkan. Ada setumpuk semangat membaca dan menulis yang tiba-tiba saja hadir tanpa saya undang. Andai saya tak menghanyutkan diri pada “tradisi Minggu” ini, waktu berjalan seperti tanpa isi seharian. (Mungkin saya terlalu mendramatisir apa yang terjadi).

Seperti pagi ini. Minggu 16 September 2012. Pagi yang cerah dengan angin kering kemarau yang mengusap kulit. Pukul 08.00 WIB, saya berangkat dari rumah menuju ke Pasar Sumbberjo, Bojonegoro. Jaraknya antara rumah dengan pasar ya kira-kira 10 – 15 km. Kalau ditempuh naik kendaraan umum butuh dua kali naik. Pertama naik ojek (Rp10.000), lalu naik angkutan (Rp2.000).

Tapi, pada Minggu pagi saya selalu menempuhnya dengan motor. Maklum, saya sekaligus mengantar istri belanja di pasar. Saya selalu mengelak jika diminta ikut masuk ke dalam pasar. Saya memilih membeli koran lalu duduk di warung kopi. Membaca koran sambil sesekali nyruput secangkir kopi. Hmm..nikmat rasanya.

Sayang, pagi ini saya kurang beruntung. Harian Kompas sudah tidak ada di deretan koran yang dijual. Tinggal Jawa Pos dan Surya. “Ah, keduluan orang,” kata saya dalam hati. Soal pilihan koran Minggu, mohon maaf, saya lebih menyukai Kompas. Dan tak bisa ditawar lagi. Ini hanya soal selera subyektif saya saja, jadi bukan soal penilaian kualitas sebuah media.

Tapi ketika Kompas tidak ada? Apa boleh buat, Jawa Pos sebagai pengganti. Sedang Koran Tempo, biasanya baru saya beli Senin, keesokan harinya. Maklum, Koran Tempo baru datang di kios koran pada Minggu sore. Jadi saya baru bisa menikmatinya pada hari Senin. Sedang Jawa Pos biasanya saya baca Senin juga, saat di kantor di kawasan kota Bojonegoro. Tapi pagi ini, Kompas tidak ada dan Jawa Pos menemani.

Saya sering mengusulkan kepada teman-teman di Sindikat Baca agar membeli koran Minggu. Karena, Koran Minggu serupa buku yang memiliki tema-tema aktual. Juga kalimat-kalimat yang segar. Informasi yang dihadirkan juga tidak basi dan inspiratif. Sehingga Koran Minggu bisa dibaca pada hari Senin, Selasa, dan hari-hari lain.

Koran edisi Minggu ini selalu saja saya nikmati di sebuah warung kopi yang tak pernah sepi. Berada di seberang jalan Polsek Sumberrejo. Saya duduk, buka koran, kopi datang, saya aduk, saya sruput. Asik. Sesekali orang-orang di warung yang kebanyakan tukang ojek, makelar, pedagang kecil di pasar, atau pemuda-pemuda pengangguran kerja ikut membaca koran yang saya bawa.

Di warung kopi, waktu tidak lama. Paling hanya 30 menit. Tapi tetap menyegarkan. Ada kopi, ada koran Minggu. Saya membacai resensi buku, cerpen, puisi, dan laporan-laporan ringan khas koran edisi Minggu. Saya pun merasa, koran edisi Minggu serupa halte kehidupan. Kita bisa berhenti sejenak dari rutinitas kerja, untuk kita lanjutkan perjalanan pada hari-hari setelahnya. Sepertinya, dari isinya, koran edisi Minggu bertujuan untuk menjadi halte. Dan sebagai pembaca, saya menyukainya.

Lalu, setelah menikmati waktu yang sebentar itu di warung kopi, saya kembali ke rumah, membawa barang-barang belanja yang dibeli istri di pasar. Saya seringkali pulang dengan pikiran segar, setelah membaca koran edisi Minggu dan menikmati secangkir kopi. Di rumah, saya melanjutkan membaca bagian lain yang belum sempat saya baca. Dan untuk pagi ini, saya melanjutkan membaca Ibunda karya Maxin Gorki yang belum usai saya jelajahi. Salam!.

Bojonegoro, 16 September 2012


(maaf, gambar untuk tulisan ini tidak nyambung dengan tulisan. Dan ini sebuah kesengajaan saja, yang tak membutuhkan penjelasan...hehe)

Sabtu, 01 September 2012

Selamat Datang Atas Angin!


Oleh Nanang Fahrudin

Sanggar Guna 1 September 2012. Atas Angin mengetuk pintu semua orang yang datang. Siswa, mahasiswa, guru, pengarang, pekerja, dan entah siapa lagi. Mereka menyambut kedatangan Atas Angin dengan bungah. Mungkin seperti menyambut saudara, sahabat, teman, atau kawan yang lama tak bersua.

Atas Angin adalah majalah yang hadir dalam 20 halaman, terbit setiap bulan, berisi tulisan-tulisan sastra dan budaya, digarap oleh anak-anak muda yang kreatif, dengan semangat yang menyala-nyala. Dan Atas Angin, bagi saya, seperti sebuah rumah kreatif, rumah yang bisa melahirkan kreativitas anak-anak muda Bojonegoro.

Edisi pertama Agustus 2012, dilaunching di Sanggar Guna, Bojonegoro. Jonathan Rahardjo, penulis novel sekaligus penyair hadir dan memberi amunisi semangat bagi Atas Angin ke depan. Susanto, seorang guru sekaligus dosen yang banyak melahirkan karya tulis juga hadir. Pak Santo, demikian ia akrab disapa, berujar bahwa Atas Angin harus eksis tidak hanya pada edisi pertama, tapi edisi selanjutnya dan selanjutnya. Dan ada juga Prawoto R. Sujadi, seorang guru, fotografer, sekaligus penulis ikut duduk di depan untuk menyambut kedatangan Atas Angin.

Di Bojonegoro, bahkan di pelosok tanah air ini, media serupa Atas Angin (sepengatahuan saya yang sempit) sangatlah minim. Media yang menggarap dunia budaya, dunia sastra, dunia buku, dan dunia tulis menulis. Apalagi bagi kalangan anak muda, yakni pelajar dan mahasiswa. Mata Baca pernah menyapa pembaca, namun hilang untuk selanjutnya. Horison hadir sampai hari ini, namun untuk wilayah Bojonegoro dan sekitarnya, mencari Horison tidaklah gampang, belum lagi soal harga.

Seabrek media seperti Majalah Basis atau Ulumul Quran sulit diperoleh di Bojonegoro dan sekitarnya. Saya tidak tahu, mungkin Bojonegoro tidak masuk “peta”. Entahlah. Nah, Atas Angin hadir hendak mengisi “ruang kosong” tersebut. Anak muda Bojonegoro perlu “rumah”, dan Atas Angin harus menjadi rumah bersama, untuk membangun kreativitas, membangun tradisi cerdas.

Akibat kegersangan bahan bacaan tentang budaya, tentang sastra, tentang buku, tentang dunia anak muda, membuat Atas Angin memikul banyak “beban” di pundaknya. “Atas Angin harus mengurus ISSN. Penerbitnya, Sindikat Baca harus dicantumkan, juga kredit foto dan naskah harus disertakan, karena ini soal kekayaan intelektual,” kata Jonathan Rahardjo.

“Bulan depan Atas Angin harus hidup. Jangan pernah mencari hidup dari Atas Angin,” kata Pak Santo. “Rubrik harus dievaluasi. Apa rubrik yang ada adalah yang dibutuhkan oleh anak-anak muda?,” kata Prwaoto.

Ya, Atas Angin menjadi bayi yang banyak orang berharap menjadi bayi yang sehat. Menjadi dewasa yang menebarkan tradisi cerdas di Bojonegoro. Tapi Atas Angin bisa saja menjadi hutan yang tandus, rumah yang terbakar, atau sungai kering kerontang. Dan semua berpulang kepada “kita” semua. Kepada redaksi yang mengurus semua, dari a sampai z. Mulai mencari naskah, proses editing, tata letak, cetak, distribusi, dan bahkan soal keuangan. Juga kepada pembaca yang selalu membaca Atas Angin, yang menunggunya, mencacinya, memujinya, mengkritiknya, membuangnya, atau menyimpannya.

Lalu ke mana Atas Angin harus melangkah, bercermin, berpijak, dan ber “ada”?. Saya lebih senang menjawab: Atas Angin harus menjadi Atas Angin. Untuk siapa Atas Angin? Saya lebih senang menjawab: untuk kehidupan. Salam!

Nanang Fahrudin,
Pecinta Atas Angin
 
© Copyright 2035 godongpring