Catatan Pendek Novel IBUNDA karya Maxim Gorki
Oleh Nanang Fahrudin
Saya sering merasa membaca adalah berziarah. Sunyi. Tapi dalam sunyi itu semua tiba-tiba hadir, berkelebat, berteriak, juga menyapa ramah. Deretan kalimat yang tersentuh dua mata, memanggil-manggil pengalaman, menjahit masa lalu, menubruk pikiran, dan menyisakan desahan panjang. Ya, membaca adalah berziarah dalam sunyi.
Pengalaman membaca ini pun tak jarang menenggelamkan saya ke dasar kesepian. Menjauh dari kebisingan dan mengakrabi secangkir kopi. Saat asyik membaca, ingin rasanya mata sekuat mentari, pikiran seluas samudra. Tapi tidaklah, saya tetap seseorang yang belajar membaca.
Seperti membaca buku Ibunda karya Maxim Gorki terbitan Kalyanamitra 2002. Buku ini sungguh saya sukai karena banyak sebab. Penerjemahnya Pramoedya Ananta Toer, penerbitnya adalah lembaga perempuan, dan Gorki adalah nama sastrawan besar Rusia yang sudah lama saya dengar namun baru kali ini membaca karyanya. Nah, lengkap sudah kehebatan buku ini.
Menyusuri halaman demi halaman buku ini membuat saya lama memejamkan mata lalu membebaskan pikiran agar mengembara. Novel ini berkisah tentang perjuangan buruh di Rusia awal abad 20. Ada tema besar yang digenggam yakni memperjuangkan kemanusiaan, kejujuran, kesejahteraan buruh, yang semua terangkum dalam sosok Ibunda, seorang ibu bernama Pelagia Vlassowa, janda buruh pabrik. Juga pada sosok Pavel Vlassov, anak Ibunda yang seorang aktivis buruh, dipenjara, dan lalu diadili karena aksi unjuk rasa pada Hari Buruh 1 Mei.
Membaca buku ini begitu menyentuh diri paling dalam. Ketika membaca aksi unjuk rasa yang dipimpin Pavel, masa lalu saya hinggap pada saat mahasiswa mengikuti aksi unjuk rasa tiba-tiba berkelebat hadir. Kelebatan masa lalu itu pun mengundang serpihan-serpihan lain yang lalu bertaburan. Saat berdiskusi dengan sahabat, atau saat berdiskusi buku-buku kiri, semua berdatangan.
Ketika Pavel dan teman-temannya berpidato di hadapan hakim, yang kemudian pidato tentang proletar dan borjuis itu dicetak lalu disebar kepada rakyat, pikiran saya tergelincir pada buku-buku tentang Marx dan Marxisme. Lalu pikiran saya ditumbuk oleh realitas demonstrasi yang seringkali berwajah sangar namun dagelan akhir-akhir ini. Belum sampai buku tuntas saya baca, pikiran saya berbelok pada perjuangan-perjuangan buruh yang mulai mendapat kritik sana-sini. Pikiran-pikiran lain pun berdatangan dan berdatangan, seperti titik-titik hujan yang berjatuhan.
Tapi sudahlah. Itu pengalaman saya membaca yang mungkin berbeda dengan pengalaman anda. Karena membaca, bagi saya, adalah aktivitas paling egois dari keegoisan lain yang ada. Tak ada yang bisa menyetir pikiran seseorang ketika dia membaca sebuah teks.
Dan agar tulisan saya ini enak dibaca, saya cerita sedikit tentang isi buku ini. Ibunda, tokoh dalam buku ini, adalah perempuan luar biasa. Saya sempat berpikir, seorang ibu di mana pun berada wajib membaca buku ini. Ia menikah dengan buruh pabrik, yang setiap hari mabuk, lalu memukulinya, menjambaknya, dan mengatainya sundal. Ia pun lupa bahwa ia bisa tersenyum. Dalam kesehariannya, ia melarutkan diri dalam penderitaan yang tak terperi.
Pavel anaknya tak luput dari pukulan dan pukulan. Seperti anak-anak pada zaman itu, yang mabuk, lalu berkelahi, sekarat, dan sebagian mati. Kehidupan buruh begitu sangat keras dan tak beradab. Tapi, semua bukan tanpa sebab. Penyebabnya tak lain penguasa dan orang-orang kaya yang telah memperbudak kaum buruh, lalu mengambil kehidupan mereka, menenggelamkan kehidupan buruh ke dasar paling gelap.
Tapi kehidupan Pavel mulai berubah ketika bertemu dan sering berdiskusi dengan para aktivis buruh sosialis. Pavel menjadi berwatak tenang dan tak beringasan. Satu dua kali pertemuan rahasia dengan para aktivis buruh itu dilakukan di rumahnya. Dari sinilah Ibunda mengenal dunia perjuangan buruh.
Ia pun ikut menenggelamkan diri dalam perjuangan itu, memuji anaknya. Tapi di sisi lain ia takut anaknya akan tersesat, apalagi ketika Pavel selalu mempertanyakan keadilan Tuhan. Tapi rasa kasih sayangnya terhadap Pavel dan temannya begitu besar, membuatnya menjadi kuat. Lalu ia belajar membaca dan membantu perjuangan bawah tanah. Ketika Pavel dipenjara gara-gara menyebarkan selebaran gelap untuk rakyat, Ibunda menggantikan anaknya menyebarkan pamphlet-pamflet dan bacaan-bacaan untuk menyadarkan kaum buruh. Ibunda menyamar sebagai penjual makanan dan bisa keluar-masuk buruh.
Kelemahan fisik lantaran faktor usia tak membuat Ibunda patah. Ia berjalan dari kota-kota untuk mengemban tugas suci menyebarkan bahan bacaan untuk buruh. Puncaknya ketika Pavel diadili dan diputus bersalah dengan ganjaran dibuang ke Siberia untuk kerja paksa, Ibunda menyebarkan bacaan berisi pidato Pavel di hadapan hakim kepada warga Rusia. Ibunda tak pernah gentar, meski akhirnya ia ditangkap oleh polisi-militer, digebuki, dipukul, hingga dia tak sadarkan diri.
Ah, cukup sampai di sini saja. Lebih baik Anda membacanya sendiri langsung. Karya Gorki tak sekadar berapi-api, tapi juga indah penuh untaian kata-kata cantik, yang disulam berbaris rapi. Saya sulit melukiskannya dengan pilihan kata yang saya punya. Baca saja ini: hari pun runtuhlah satu demi satu seperti merjan-merjan dari ikatan tasbih dan membangunkan minggu serta bulan. (hal: 40). Kalimat yang indah bukan?. Salam!
Bojonegoro, 24 September 2012
Oleh Nanang Fahrudin
Saya sering merasa membaca adalah berziarah. Sunyi. Tapi dalam sunyi itu semua tiba-tiba hadir, berkelebat, berteriak, juga menyapa ramah. Deretan kalimat yang tersentuh dua mata, memanggil-manggil pengalaman, menjahit masa lalu, menubruk pikiran, dan menyisakan desahan panjang. Ya, membaca adalah berziarah dalam sunyi.
Pengalaman membaca ini pun tak jarang menenggelamkan saya ke dasar kesepian. Menjauh dari kebisingan dan mengakrabi secangkir kopi. Saat asyik membaca, ingin rasanya mata sekuat mentari, pikiran seluas samudra. Tapi tidaklah, saya tetap seseorang yang belajar membaca.
Seperti membaca buku Ibunda karya Maxim Gorki terbitan Kalyanamitra 2002. Buku ini sungguh saya sukai karena banyak sebab. Penerjemahnya Pramoedya Ananta Toer, penerbitnya adalah lembaga perempuan, dan Gorki adalah nama sastrawan besar Rusia yang sudah lama saya dengar namun baru kali ini membaca karyanya. Nah, lengkap sudah kehebatan buku ini.
Menyusuri halaman demi halaman buku ini membuat saya lama memejamkan mata lalu membebaskan pikiran agar mengembara. Novel ini berkisah tentang perjuangan buruh di Rusia awal abad 20. Ada tema besar yang digenggam yakni memperjuangkan kemanusiaan, kejujuran, kesejahteraan buruh, yang semua terangkum dalam sosok Ibunda, seorang ibu bernama Pelagia Vlassowa, janda buruh pabrik. Juga pada sosok Pavel Vlassov, anak Ibunda yang seorang aktivis buruh, dipenjara, dan lalu diadili karena aksi unjuk rasa pada Hari Buruh 1 Mei.
Membaca buku ini begitu menyentuh diri paling dalam. Ketika membaca aksi unjuk rasa yang dipimpin Pavel, masa lalu saya hinggap pada saat mahasiswa mengikuti aksi unjuk rasa tiba-tiba berkelebat hadir. Kelebatan masa lalu itu pun mengundang serpihan-serpihan lain yang lalu bertaburan. Saat berdiskusi dengan sahabat, atau saat berdiskusi buku-buku kiri, semua berdatangan.
Ketika Pavel dan teman-temannya berpidato di hadapan hakim, yang kemudian pidato tentang proletar dan borjuis itu dicetak lalu disebar kepada rakyat, pikiran saya tergelincir pada buku-buku tentang Marx dan Marxisme. Lalu pikiran saya ditumbuk oleh realitas demonstrasi yang seringkali berwajah sangar namun dagelan akhir-akhir ini. Belum sampai buku tuntas saya baca, pikiran saya berbelok pada perjuangan-perjuangan buruh yang mulai mendapat kritik sana-sini. Pikiran-pikiran lain pun berdatangan dan berdatangan, seperti titik-titik hujan yang berjatuhan.
Tapi sudahlah. Itu pengalaman saya membaca yang mungkin berbeda dengan pengalaman anda. Karena membaca, bagi saya, adalah aktivitas paling egois dari keegoisan lain yang ada. Tak ada yang bisa menyetir pikiran seseorang ketika dia membaca sebuah teks.
Dan agar tulisan saya ini enak dibaca, saya cerita sedikit tentang isi buku ini. Ibunda, tokoh dalam buku ini, adalah perempuan luar biasa. Saya sempat berpikir, seorang ibu di mana pun berada wajib membaca buku ini. Ia menikah dengan buruh pabrik, yang setiap hari mabuk, lalu memukulinya, menjambaknya, dan mengatainya sundal. Ia pun lupa bahwa ia bisa tersenyum. Dalam kesehariannya, ia melarutkan diri dalam penderitaan yang tak terperi.
Pavel anaknya tak luput dari pukulan dan pukulan. Seperti anak-anak pada zaman itu, yang mabuk, lalu berkelahi, sekarat, dan sebagian mati. Kehidupan buruh begitu sangat keras dan tak beradab. Tapi, semua bukan tanpa sebab. Penyebabnya tak lain penguasa dan orang-orang kaya yang telah memperbudak kaum buruh, lalu mengambil kehidupan mereka, menenggelamkan kehidupan buruh ke dasar paling gelap.
Tapi kehidupan Pavel mulai berubah ketika bertemu dan sering berdiskusi dengan para aktivis buruh sosialis. Pavel menjadi berwatak tenang dan tak beringasan. Satu dua kali pertemuan rahasia dengan para aktivis buruh itu dilakukan di rumahnya. Dari sinilah Ibunda mengenal dunia perjuangan buruh.
Ia pun ikut menenggelamkan diri dalam perjuangan itu, memuji anaknya. Tapi di sisi lain ia takut anaknya akan tersesat, apalagi ketika Pavel selalu mempertanyakan keadilan Tuhan. Tapi rasa kasih sayangnya terhadap Pavel dan temannya begitu besar, membuatnya menjadi kuat. Lalu ia belajar membaca dan membantu perjuangan bawah tanah. Ketika Pavel dipenjara gara-gara menyebarkan selebaran gelap untuk rakyat, Ibunda menggantikan anaknya menyebarkan pamphlet-pamflet dan bacaan-bacaan untuk menyadarkan kaum buruh. Ibunda menyamar sebagai penjual makanan dan bisa keluar-masuk buruh.
Kelemahan fisik lantaran faktor usia tak membuat Ibunda patah. Ia berjalan dari kota-kota untuk mengemban tugas suci menyebarkan bahan bacaan untuk buruh. Puncaknya ketika Pavel diadili dan diputus bersalah dengan ganjaran dibuang ke Siberia untuk kerja paksa, Ibunda menyebarkan bacaan berisi pidato Pavel di hadapan hakim kepada warga Rusia. Ibunda tak pernah gentar, meski akhirnya ia ditangkap oleh polisi-militer, digebuki, dipukul, hingga dia tak sadarkan diri.
Ah, cukup sampai di sini saja. Lebih baik Anda membacanya sendiri langsung. Karya Gorki tak sekadar berapi-api, tapi juga indah penuh untaian kata-kata cantik, yang disulam berbaris rapi. Saya sulit melukiskannya dengan pilihan kata yang saya punya. Baca saja ini: hari pun runtuhlah satu demi satu seperti merjan-merjan dari ikatan tasbih dan membangunkan minggu serta bulan. (hal: 40). Kalimat yang indah bukan?. Salam!
Bojonegoro, 24 September 2012