Minggu, 19 Agustus 2012
Minggu, 12 Agustus 2012
Mengakrabi Ketidakberesan
Oleh Nanang Fahrudin
Negeri ini sedang bergembira. Dua lembaga penegak hukumnya sedang sibuk mengusut kasus dugaan korupsi alat simulator SIM. Sebagai warga negara yang baik, bolehlah kita senang melihat dua lembaga berlomba-lomba menyidik kasus besar. Dua lembaga tak lain adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
“Kan lucu, dua lembaga menyidik satu kasus yang sama, tersangka juga sama?,” kata seorang kawan. Ah, apanya yang lucu, kataku. Banyak kelucuan lain yang tak kalah heboh, namun luput dari penghilatan kita. Dan kelucuan itu pun menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja.
Kawanku tetap saja marah. Katanya, hukum telah ditumpangi politik. Fenomena cicak vs buaya terulang kembali. Ada sebuah skenario besar untuk menumpulkan pisau KPK yang semakin hari semakin tajam. Ini bukan lagi murni hukum. Apalagi ada kabar, salah satu menteri akan menjadi tersangka. Pasti ada parpol yang panas dan membuat move politik untuk menggagalkannya.
“Sebaiknya kita bisa mengakrabi ketidakberesan di negeri ini,” kataku. Karena mungkin itu salah satu cara kita menikmati hidup di negeri ini. Kalau kita tidak bisa akrab dengan ketidakberesan, maka kita hanya akan menjadi generasi frustasi. Sederhananya, biarkan KPK-Polri ribut, toh harga pendidikan tetap saja tinggi, harga beras terus naik, dan harga BBM tak mungkin turun.
Ketidakberesan demi ketidakberesan itulah yang sedang terjadi di negeri ini. Apa yang terjadi antara KPK dengan Polri adalah satu di antara sekian ketidakberesan. Orang yang dikenal dekat dengan Presiden, diduga terlibat menyuap. Politisi yang dulu sering nongol di televisi berkampanye anti korupsi, ternyata ditangkap KPK gara-gara kasus korupsi. Pendidikan yang menekankan kejujuran, ternyata banyak ditemukan penyimpangan anggaran.
Jika kita urai lagi ketidakberesan ini, maka akan panjang membentang. Negeri dengan sumberdaya alam cukup melimpah, hanya menjadi negara konsumen belaka. Lihat saja, berapa sepeda motor yang seliweran di jalan raya, tak ada satu pun hasil produksi dalam negeri.
Atau, mari kita mengamati hal-hal kecil di sekitar kita. Ketika masyarakat desa mengeluhkan irigasi pertanian yang tidak ada, akan sangat sulit mewujudkan solusi. Tapi ketika sebuah gang menuju rumah pejabat rusak, maka sangat mudah untuk merealisasikan pembangunannya.
Oleh karena itu, mari kita mengakrabi ketidakberesan di negeri ini. Sebagai warga negara, kita memang sedang diajak menjadi warga yang “tidak beres”. Kalau mau cepat mengurus admistrasi, lewatlah jalur khusus. Jika ingin masuk sekolah favorit, bayarlah uang sumbangan paling tinggi. Dan jika kita menjadi orang yang “beres” maka, kejengkelan demi kejengkelan akan menghantui diri kita.
Sayang, sebagai makhluk Tuhan, kita dituntut menjadi orang yang “beres”. Sehingga, kita harus siap dengan kejengkelan demi kejengkelan yang ada di negeri ini. Dan kita bisa melawan dengan cara-cara yang beres. Salam!.
Label:
Esai Warung Kopi
Selasa, 07 Agustus 2012
Kopi Sindikat Baca
Oleh Nanang Fahrudin
Jika kau menyukai kopi sepertiku, sekali-kali mampirlah menikmati secangkir kopi. Kopi Sindikat Baca. Kau pasti akan menemukan sesuatu yang berbeda. Buku-buku berserakan, kain sarung menggantung, lampu ruangan menempel di komputer, dan setumpuk “ketidakberesan” tata ruang.
Tapi jangan keliru, “ketidakberesan” Kopi Sindikat Baca adalah bukan ketidakberesan menata negara. Bukan. Ini hanya soal selera saja. Kadang secangkir kopi yang hadir tanpa ditemani tutup cangkir. Atau piring tiba-tiba menggantikan lepek. Dan aku menyukai selera begini. Ketidakberesan yang hadir dalam suasana minum kopi, menjadikan kopi lebih terasa nikmat.
Di mana Kopi Sindikat Baca?. Bersabarlah kawan. Aku pasti menceritakan semua tentangnya untukmu. Kau tahu kan, aku sangat suka bercerita tentang kopi, seperti dirimu yang menyukai berbincang tentang sastra.
Kopi itu selalu ada. Ia menemani teman-teman di Sindikat Baca. Kopi itu selalu tersedia di Rumah Baca Jalan Monginsidi Gg Baru No 1 Bojonegoro. Datanglah sekali-kali ke alamat ini. Tangan-tangan Awe, Tohir, Ngek, Kuprit, dkk akan ramah menyiapkan kopi untukmu. Kopi kesederhanaan, lengkap dengan “ketidakberesan” tadi.
Dan kopi itu selalu datang bersama obrolan-obrolan ringan tentang buku-buku dan coretan-coretan para sastrawan. Kopi itu juga sering menemani malam yang dingin, siang yang panas, atau sore yang hangat.
“Aku lagi asyik membaca buku-buku pemikiran. Masih kurang berminat dengan buku-buku sastra,” kata Awe. Ia sibuk menata klipingan koran yang memuat karya-karya pegiat Sindikat Baca.
“Buku di Yogya cukup murah. Ada buku Gadis Pantai karya Pram (Pramoedya), tapi khawatir buku itu bajakan,” kata Tohir suatu ketika. Maklum, ia baru saja memborong buku-buku dari Yogyakarta. Sampai-sampai, dia juga membuat perpustakaan pribadi di kamarnya.
Ah, Kopi Sindikat Baca memang inspiratif. Tak ada harga, tak ada transaksi. Karena kopi itu kopi persahabatan. Dan kau pasti tahu, kopi paling enak adalah kopi yang hadir bersama keakraban dan kebersamaan. Dan Kopi Sindikat Baca selalu hadir dengan wajah demikian.
Sekali lagi, jika kau menyukai kopi seperti aku menyukainya, datanglah ke Sindikat Baca. Pesanlah kopi, jangan teh apalagi air putih. Tapi ingat, Sindikat Baca bukan warung kopi. Sindikat Baca adalah sebuah gerakan literasi di Bojonegoro yang “mengada” tahun 2009 lalu. Salam!.
Bojonegoro, 7 Agustus 2012
Label:
Esai Warung Kopi
Langganan:
Postingan (Atom)