Kamis, 22 Desember 2011

Tentang Sebuah Kemesraan

CATATAN PERJALANAN KE SINGAPURA (bagian 2-habis)


Pagi begitu dingin. Matahari terlambat datang setelah terhalang mendung. Tapi waktu tetap berjalan ke depan, tak peduli mendung, tak peduli matahari. Manusia tak lagi melihat perubahan alam untuk menentukan waktu. Karena cukup dengan jarum jam di dinding, lengan, atau di layar ponsel. Mereka yakin, itulah waktu yang sebenarnya.

Dari kaca jendela kamar hotel lantai enam, saya melihat orang-orang sudah mulai beraktivitas. Bukan orangnya yang tampak oleh mata saya, melainkan payung bulat yang menutupi kepala-kepala mereka dari rintik hujan yang mulai turun. Payung-payung itu bergerak, menyusuri pedestrian Orchard Road yang begitu lebar.

Jadwal pesawat pukul 09.00 waktu Singapura memaksa kami segera bersiap-siap. Hari itu, Senin (14/11) kami harus kembali ke tanah air. Beberapa potong kaos, oleh-oleh untuk anakku sudah masuk ke dalam tas, agar tak tertinggal. Setelah semua siap, kami (saya dan kawan jurnalis dari Semarang) turun ke resto untuk sarapan.

Dasar lidah jawa, saya tidak begitu banyak makan. Makanan yang ada, selain namanya sulit diucapkan juga rasanya tak enak. Saya pun hanya mengambil dua sosis, telur mata sapi, dan beberapa potong …(entah apa namanya). Sengaja saya ambil minuman berupa susu segar, agar tubuh ini segar.

Saat makan, di meja samping kanan saya ada dua orang yang juga sedang sarapan. Mereka duduk berhadap-hadapan. Usia keduanya mungkin sudah 50-60 an tahun. Keduanya saling bercakap sambil sesekali mengunyah makanan. Saya tidak faham apa yang dibicarakan karena memakai bahasa China. Tapi dari raut wajah, saya bisa menangkap bahwa mereka begitu mesra. Sesekali mereka tertawa kecil. Dan sesekali saya melirik mereka.

Tak lama kemudian, ada seorang perempuan sekitar usia 20 an tahun. Mungkin dia anaknya. Sambil membawa kamera kecil, keduanya diminta duduk berdekatan, dan ‘klik’ kamera itu mengabadikan gambar kemesraan itu. Sebuah kemesraan yang begitu indah di usia yang sudah lanjut. Setelah beberapa jepretan, mereka melanjutkan makan dengan tetap terus tersenyum. Sang nenek mengusap-usap pipi suaminya saat bercerita. Tapi sekali lagi, sayang saya tidak bisa mengerti apa yang mereka bicarakan. Hanya kemesraan mereka yang bisa saya tangkap. Saya menangkap dengan mata dan hati saya.

Usai sarapan, kami langsung menuju loby hotel menunggu taksi yang akan membawa kami ke Bandara Changi. Tak sampai lima menit, taksi sudah datang siap membawa kami ke bandara. Jalanan Singapura begitu rapi, begitu bersih. Sesekali saya masih bisa melihat sepeda vespa di jalan. Dan pikiran saya ternyata masih tertinggal di resto hotel, melihat pasangan lanjut usia yang begitu mesra.

Lantas saya pun ingat saat berada di pesawat dari Jakarta ke Singapura. Saya duduk di kursi dekat jendela. Di samping saya ada dua orang (sepertinya dari China juga) yang usianya sekitar 50-60 an tahun. Keduanya begitu akrab. Kami tidak mengobrol, tapi kami saling melempar senyum, saat hendak duduk, dan saat hendak keluar pesawat. Ketika pesawat sedang terbang, mereka menawari saya permen. Tapi saya menolak dengan senyuman. Saya berpikir itu tawaran basa-basi yang harus saya tolak. Sang nenek membuka bungkus permen lalu diberikan ke sang kakek. Hmm…dunia sekitar saya memang sedang berdendang lagu kemesraan.

Lamunan saya berhenti saat taksi masuk ke Bandara Changi. Masuk ke bandara pemeriksaan petugas begitu ketat. Laptop harus dikeluarkan dari tas, sabuk harus diperlihatkan, dan kunci motor saya dipelototi karena (mungkin) terbuat dari logam. Baru saat semua beres, kami boleh masuk ke pesawat.

Entah kebetulan atau kenapa, lagi-lagi saya bertemu dengan sepasang manusia. Saya berada di kursi dekat jendela dan ada dua orang duduk di samping saya. Hanya saja, pasangan ini berbeda dari dua pasangan yang saya ceritakan tadi. Pasangan kali ini berasal dari Kanada. Saya membaca dari arrival card yang diisinya. Nama Minni asal Kanada lahir tanggal 3 Desember 1986. Sedang yang laki-laki saya tidak mengetahuinya.

Sepanjang perjalanan mereka tak henti-hentinya menebar kemesraan. Tapi entah kenapa kemesraan kali ini berbeda dengan kemesraan nenek-kakek itu. Pasangan di samping saya terus saja berpelukan, dan saya risih sendiri berada di samping mereka. Mereka juga berfoto bersama. Dan tawanya begitu keras tanpa malu didengar penumpang lain.

Saya pun akhirnya tak tertarik dengan mereka lagi. Ingatan saya masih saja pada dua pasangan usia lanjut, di resto hotel dan di pesawat Jakarta-Singapura. Semuanya berbicara dengan bahasa kemesraan. Tapi entah kenapa kemesraan yang masing-masing mereka tunjukkan begitu berbeda. Di manakah perbedaan itu?. Saya sulit menjelaskan ke anda. Ah, mungkin anda lebih mengetahui jawabannya.

Singapura 12-14 November 2011

Rabu, 21 Desember 2011

High Technology dan Soto Surabaya

CATATAN PERJALANAN KE SINGAPURA (bagian 1)



Oleh : Nanang Fahrudin


Sabtu 12 November 2011. Pesawat Lion Air JT 573 terbang dari Bandara Juanda Surabaya ke Bandara Soekarno-Hatta Jakarta yang dilanjut dengan pesawat lain ke Bandara Changi Singapura. Pesawat pertama menempuh waktu 55 menit, dan pesawat kedua butuh waktu 1,25 jam untuk terbang.

Setelah mendapat masalah kecil karena tas milik seorang kawan tak ditemukan saat mendarat di Bandara Changi, akhirnya kami meluncur menuju Mandarin Orchard Hotel di kawasan Orchard Road. Tentu saja kami meluncur setelah membuat laporan kehilangan tas ke petugas bandara.

Malam baru saja dibasahi hujan. Lalu lintas jalanan kota di Singapura begitu tertib. Polisi jarang berdiri di pinggir jalan, karena rambu lalu lintas sudah begitu ditaati. Hampir 100% jalan raya dihiasi dengan mobil. Gedung-gedung menjulang tinggi seakan berkejaran saat saya lihat dari kaca jendela mobil yang membawa kami. Sopirnya orang India. Dia begitu bersemangat bicara. Dalam perjalanan tak henti-hentinya bercerita ini itu dengan seorang kawan jurnalis dari Brunai Darussalam. Sedang saya dan kawan dari Semarang duduk di belakang tanpa banyak bicara, karena tubuh terasa lelah sekali.

Sesampai di hotel, tak butuh waktu lama kami langsung menyantap makanan di restoran hotel. Tubuh begitu capek. Usai makan malam, kami langsung bergegas ke kamar 108, kamar yang disiapkan untuk kami. Di balik selimut, saya terlelap dengan nyaman. Mata baru terbuka saat pagi sudah mengetuk-ngetuk jendela dengan sinar matahari.

Keesokan harinya, kami berada di lantai 6 hotel bintang lima itu dan mengikuti seminar kesehatan. Seminar yang begitu asing bagiku, karena bertema tentang teknologi kesehatan yang begitu maju. Apalagi seminar menggunakan bahasa Inggris. Maklum, penguasaan bahasa inggrisku tidak begitu cantik.

Para pakar teknologi kesehatan di Singapura hadir di sini. Bisa dibayangkan ketika banyak pasien Indonesia ‘lari’ ke Singapura untuk memperoleh pelayanan kesehatan di sini, dan sekarang para dokter ahli itu sedang berbicara. Berbagai hasil teknologi kesehatan dibeber. Mulai alat yang menggantikan fungsi otot jantung. Otot yang tak lagi mampu memompa jantung bisa digantikan dengan alat itu, sehingga jantung tak sampai berhenti. Sebagian alat itu dipasang di dalam tubuh, sebagian disambungkan ke luar menyatu dengan dua baterai yang dibawa pasien.

Bahkan, ada teknologi kesehatan untuk mendesain bayi. Caranya, sel-sel yang tidak diinginkan oleh orang tua bayi bisa dibuang. Misalnya orang tuanya berambut keriting, dan orang tua menginginkan rambut lurus, maka sel itu diambil. Teknologi mendesain bayi ini memang masih menjadi perdebatan di dunia kesehatan, karena benturan etika. Meski pada mulanya teknologi ini adalah untuk mencegah bayi tertular penyakit semacam HIV/AIDS yang dibawa oleh sel telur dan sperma dari orang tuanya.

Saya memang begitu miskin akan pengetahuan teknologi kesehatan. Tapi tetap saja otakku langsung mengaguminya. Saya pun berpikir, bahwa teknologi memang sebuah keniscayaan di muka bumi. Dan teknologi akan membawa dunia ini pada sebuah puncak kehidupan manusia yang selalu bertanya. Teknologi menjadikan semuanya seakan serba mungkin, salah satunya menunda jantung berhenti berdetak. Satu hal lagi, teknologi sebagai anak modernitas telah menjadi penguasa di dunia ini.

Tapi benarkah teknologi membawa kesejahteraan?. Menjawab itu memang tidak mudah. Sejak zaman Karl Marx, teknologi dinilai menjadi penyebab menurunnya derajat manusia menjadi sama dengan benda. Manusia dipaksa bersaing dengan kemampuan teknologi dalam hal memproduksi barang. Ah, entahlah kok ngelantur ke sana.

Lebih baik saya tidak berbicara soal makna teknologi. Karena saya sendiri bingung antara mengagumi teknologi atau membencinya. Kagum karena begitu hebatnya mengatasi setiap persoalan yang dihadapi manusia. Benci karena teknologi telah merenggut sisi-sisi kemanusiaan manusia. Teknologi selalu hadir tanpa disertai etika. Teknologi hadir dalam bentuk yang sama di manapun berada.

Daripada bingung, saya dan dua orang kawan berjalan keluar hotel. Malam kembali dibasahi hujan deras. Orang-orang berlalu lalang dengan membawa payung. Kami berjalan ke Lucky Plaza yang berjarak sekitar 100 meter dari hotel. Masuk plaza perut mulai keroncongan. Di pojok terpampang tulisan ‘Soto Surabaya’. Aku pun memesannya dan menyerahkan uang 4 dollar Singapura. Lumayan, perut kenyang dan tak lagi pusing dengan teknologi tadi. Dan ternyata ‘rasa lokal’ tetap saya cari saat berada di luar negeri..hmmm.

Singapura, 12-14 November 2011

Minggu, 11 Desember 2011

YANG MUDA, YANG KREATIF?

Oleh: Nanang Fahrudin
(Dimuat di Harian Seputar Indonesia Edisi Jatim 11 Desember 2011)

Membolak-balik halaman buku, mencoba mengenal para tokoh pergerakan nasional pra kemerdekaan. Saya pun ‘bertemu’ dengan sosok Tirto Adhi Soerjo (1880-1918), Bapak Pers Nasional. Di usia 23 tahun, Tirto mendirikan koran yang diberi nama ‘Soenda Berita’. Dan pada usia 25 tahun ia mendirikan ‘Medan Prijaji’ yang di kemudian hari disebut sebagai media pertama dengan pengelola orang-orang pribumi.

Selain Tirto Adhi Soerjo, ada sejumlah nama besar yang ikut mewarnai sejarah bangsa ini. Mereka semua berkiprah pada usia muda. Sebut saja Soekarno (1901-1970) sang proklamator republik ini. Pada usia 25 tahun Bung Karno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Menginjak usia 28 tahun ia mulai merasakan hidup di penjara dan menulis pledoi ‘Indonesia Menggugat’.

Semaoen (1899-1971) sebagai tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah mulai berkiprah di dunia pergerakan pada usia 14 tahun. Saat itu ia masuk di Syarikat Islam (SI) dan usia 19 tahun memimpin SI Semarang. Jenderal Sudirman, pahlawan yang aktif di Hizbul Wathan Muhammadiyah diangkat menjadi panglima dan jenderal pada usia 31 tahun. Sedang pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) memutuskan menimba ilmu di Mekkah pada usia 15 tahun karena merasa resah akan akhlak bangsa.

Dari membolak-balik buku dan mendapati tokoh masa lalu, saya mencoba mengenal para tokoh yang mewarnai kehidupan bernegara saat ini. Entah kenapa, eh.. ‘bertemu’ dengan Gayus Tambunan. Pejabat Ditjen Pajak ini menjadi begitu mewarnai wajah pemberantasan korupsi di tanah air. Di usianya ke-32, Gayus mampu ‘mengacak-acak’ sistem anti korupsi yang dibangun oleh negeri ini. waktu ditahan, dia bisa ke Singapura dan bisa nonton pertandingan tennis di Bali.

Kalau Anda ingin ‘mengenal’ Gayus pun sekarang tidak sulit karena tinggal klik: http://id.wikipedia.org/wiki/Gayus_Tambunan. Semua tentang Gayus bisa diketahui. Maklum, dia adalah salah satu ‘tokoh’ selain Jaksa Urip Tri Gunawan dan Malinda Dee.

Selain Gayus, saya ‘bertemu’ dengan Briptu Norman Kamaru (eh maaf sekarang tanpa Briptu). Mantan anggota Brimob ini kelewat terkenal di dunia artis sehingga memilih meninggalkan polisi. Norman memilih hengkang dari korps Polri karena ingin lebih serius menekuni dunia tarik suara.

Ya, Gayus dan Norman boleh jadi adalah inspirasi bagi remaja dan pemuda saat ini. Gayus berada pada kutub dunia birokrasi negeri ini yang terus dicoreng moreng oleh korupsi. Gayus membuktikan perilaku korupsi tak hanya dilakukan oleh para pejabat usia tua, karena ternyata pejabat usia muda pun (seperti Gayus) begitu ‘menikmati’ melakukan korupsi.

Sedang Norman adalah perwujudan keinginan jiwa muda yang menginginkan eksistensi di dunia hiburan yang begitu hingar bingar dan glamour. Anak-anak muda akan berpikir dua kali jika memilih hidup yang menjauh dari dunia konsumsi yang instan. Anak-anak remaja begitu asyik berdandan ala artis Korea, membikin boy/girl band, dan menjadikan diri mereka ‘sesuatu banget’. Dan memang inilah pilihan hidup anak muda dan remaja saat ini.

Memang, semua kembali pada persoalan pilihan hidup. Gayus memilih mengejar materi dengan caranya meski berakhir di penjara. Sedang Norman memilih keluar dari korps Polri untuk mengejar ketenaran. Tak ada yang salah dalam pilihan hidup, karena semua ada konsekuensinya. Dan ketika sebagian besar para remaja dan pemuda kita memilih jalan seperti Gayus ataupun Norman, kita juga bisa membayangkan ke mana bangsa ini melangkah.

Ah, sebaiknya saya membaca berita-berita di media massa (cetak maupun elektronik) agar tidak ketinggalan zaman. Eh, saya ‘bertemu’ dengan berbagai informasi tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang membidik rekening para PNS muda. Karena para PNS muda banyak yang memiliki rekening di luar kewajaran. Maksud saya tentu isinya yang kelewat banyak yakni miliaran rupiah.

Kawan saya mencolek bahu saya lalu berkata “dulu orang-orang muda berjuang memerdekakan bangsa dan mengusir penjajah. Sekarang orang-orang muda melanjutkan berjuang. Tapi berjuang dengan makna lain, yakni beras, baju, dan uang”. Saya pun menjawab santai “ah, tak semua seperti itu kok”.

Lalu saya membetulkan cara duduk dan memesan secangkir kopi. Kopi pahit yang terasa lebih nikmat. Salam.

Surabaya, 10 Desember 2011
 
© Copyright 2035 godongpring