Rabu, 24 Agustus 2016

Keadilan Adalah Laki-Laki

(Catatan Pendek setelah membaca novel Warisan karya Tsitsi V. Himunyanga-Phiri)


Oleh: Nanang Fahrudin

Namanya bukan Fatimah atau Surti.  Melainkan Moya Mweemba. Jelas ia bukan orang Indonesia, lebih-lebih Jawa. Itu nama Afrika. Sejak kecil ia bersekolah dan bercita-cita menjadi seorang guru, mendidik anak-anak perempuan seperti dirinya. Namun, saat usia lima belas tahun, arah hidupnya berubah. Ia dikawinkan dengan seorang anggota polisi. Pada era tahun 1960 an, begitulah adatnya. Sepertinya tak jauh beda dengan di Jawa.

Moya Mweemba pun hilang, menjadi Nyonya Mudenda. Ia harus melayani suami, tidak membantah, dan tidak bertanya apa-apa. Sebagai sebuah percobaan, sesuai adat ia dan suaminya harus menanggung hidup adik suaminya. Semua keperluan adik suaminya harus dipenuhinya, mulai menyiapkan makan, pakaian, hingga biaya sekolah.

Ba Mudenda, suaminya, jarang di rumah. Ia menghabiskan waktu dengan bekerja, minum bir, bersama perempuan-perempuan yang kerap dibawa ke rumahnya. Nyonya Mudenda tak dibenarkan protes, bahkan ketika ia dilarang ikut naik mobil dinas suaminya sedang perempuan-perempuan muda itu dengan santainya naik mobil itu. Laki-laki punya kehidupan sendiri dan tidak boleh diganggu. Tak mau larut dalam kesedihan, ia mencurahkan kasih sayangnya kepada anak-anaknya.

Demi mencukupi kebutuhan keluarga ia merintis bisnis sayur tanpa sepengetahuan suaminya. Hingga akhirnya bisnis itu besar dan mempunya beberapa pekerja. Suaminya pun tak mau tahu dan menghabiskan waktu bersenang-senang di luar rumah. Terkadang Nyonya Mudenda harus berangkat subuh, naik mobil bak terbuka, menyusuri ladang dan pasar untuk belanja, lalu pulang larut malam membawa barang-barang untuk dijual kembali.

Ia juga disalahkan saat salah satu anaknya ternyata hamil dan dikeluarkan dari sekolah. Sebagai ibu ia terpukul sekali, tapi ia tak kuat jika kesalahan itu semua ditimpakan kepada dirinya. Ia pun mendapat amarah dari suaminya. Bahkan, ketika mendapati anak perempuannya tak menuruti kata—katanya agar bersekolah dan menjadi guru, melainkan lebih menjadi istri simpanan untuk bisa berfoya-foya. Ia kembali menjadi sasaran kemarahan.

Pergolakan perasaan yang campur aduk itu makin memuncak ketika suaminya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan. Keluarga suaminya menuduh dirinya yang merencakan pembunuhan kepada suaminya. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Kenapa mereka sebegitu tega? Dan tak hanya itu, semua harta benda keluarganya harus diberikan kepada keluarga suaminya. Termasuk harta yang diperoleh dari usahanya berkebun sayur.  Hal itu diperkuat dengan keputusan Kantor Urusan Harta.

Namun Moya Mweemba tak menyerah. Ia menggugat ke pengadilan untuk memperoleh hartanya. Ia masih harus membiayai sekolah dua anaknya. Bagaimana keduanya bersekolah dan hidup tanpa kepastian hanya gara-gara bapaknya meninggal? Ini sangat tidak adil. Keadilan bukan milik laki-laki, melainkan milik semua orang. Harus diperjuangkan. Kisah berakhir bahagia, yakni hakim mengabulkan permohonannya untuk mengelola harta bendanya.


Tarik napas dulu sebentar. Rasakan apa yang dirasakan Moya Mweemba. Novel tipis ini memang sungguh enak dibaca. Moya Mweemba adalah tokoh dalam novel Warisan karya Tsitsi V. Himunyanga-Phiri. Edisi Indonesia diterjemahkan oleh Budi Darma dan diterbitkan Yayasan Obor Indonesia (1996). Kekurangan buku ini saya kira hanya minimnya keterangan tentang penulisnya.  Di halaman terakhir hanya ada satu paragraf saja yang menerangkan tentang penulis. 

22 Agustus 2016

Selasa, 09 Agustus 2016

Antara Pooro dan Hamida

Oleh: Nanang Fahrudin

(Catatan Pendek setelah membaca buku Antara Dua Batas karya Amrita Pritam )

Lama sekali aku tidak membuat catatan pendek (capen) setelah membaca buku. Apa yang beda ya? Padahal menikmati kopi juga masih terus berlanjut, memunguti buku-buku tua juga masih menjadi kegemaran. Ah, sudahlah. Toh itu tak penting banget untuk ditulis di sini.  Ya kan?

Buku yang baru saja kubaca berjudul  Antara Dua Batas (ADB), sebuah novelet yang ditulis oleh Amrita Pritam, seorang penulis India. Dalam buku tipis nan kecil ini hanya ada dua judul saja yakni Antara Dua Batas dan Lelaki Itu.  Aku sudah lupa kapan buku terbitan Yayasan Obor Indonesia ini kudapat. Yang jelas aku membacanya saat di atas bus Sumber Slamet yang melaju kencang. Ya, pasti anda tahu lah seberapa kencang bus ini.

Dan saking asyiknya membacanya, aku pun tak menghiraukan bus yang goyang ke kanan, goyang ke kiri, atau sesekali mengerem mendadak. Pikiranku tertuju pada sosok Pooro, tokoh utama dalam novel pendek ADB.  Tak hanya kisah percintaan Pooro yang dipengaruhi oleh adat dan agama, tapi nuansa sosial-politik India saat Pakistan memisahkan diri dan menjadi negara muslim mengemuka dalam ADB.

Pooro adalah gadis kecil yang manis. Sebagaimana masyarakat Hindu-India waktu itu, anak gadis sudah dijodohkan saat kecil. Begitu juga Pooro dijodohkan dengan Ram Chand.  Dan ketika usianya remaja, ketika payudaranya mulai membentuk, persiapan pernikahan disiapkan. Tapi, pada suatu hari ia dijulik oleh Rashida, seorang pemuda Islam. Pooro disekap di sebuah rumah di tengah kebun. Tapi diperlakukan dengan baik.

Penculikan itu tak lain sebuah skenario saling balas dendam dari dua keluarga besar (Hindu dan Islam) yang saling berseteru. Penculikan Pooro adalah aksi balas dendam, karena keluarga Pooro juga pernah melakukan hal sama beberapa tahun lalu. Pooro berada di tangan Roshida hingga enam bulan, dan akhirnya ia dinikahinya. Pooro pun berubah nama menjadi Hamida.

Hamida hidup tanpa tujuan. Dia seperti tubuh yang mati. Jauh dari orangtuanya, serumah dengan orang yang menculiknya. Tapi Roshida adalah lelaki yang  baik. Ia memperlakukan Hamida dengan sangat baik. Hingga akhirnya mereka dikaruniai anak laki-laki, Javed. Riak-riak ketegangan sesekali muncul dalam perjalanan rumah tangga mereka. Hebatnya, penulis meramunya dalam nuansa isu agama yang memang sangat kental waktu itu.

Seperti saat di desa ada perempuan gila yang selalu mondar-mandir bertelanjang, warga sering memberinya makan. Namun nahasnya perempuan gila itu hamil. Dan pada sebuah pagi ia ditemukan Hamida kaku dan tak bernyawa di kebun. Sedang di kakinya, ada bayi tergeletak. Bayi itu baru saja dilahirkan oleh perempuan gila tersebut. Hamida menjerit dan. Bayi itupun dibawa pulang dan dirawat seperti anak sendiri oleh Hamida. Bayi itu disusui dari payudaranya sendiri.

Setelah enam bulan, tetua Hindu di desa itu memaksa mengambil bayi itu. Alasannya bayi itu Hindu dan tidak boleh dipegang oleh orang Islam. Hamida menangis. Roshida tak bisa berbuat apa-apa. Tapi, belum sebulan bayi itu dikembalikan kepada Hamida dalam keadaan koma. Ia sakit dan sangat pucat. Hamida merawatnya dengan kasih sayang dan bayi itupun sembuh.

Suasana menjadi makin tegang ketika konflik Hindu-Islam meluas. Pakistan merdeka. Desa mereka berada di wilayah Pakistan. Keluarga Roshida-Hamida tak masalah. Tapi orangtua Hamida (Pooro), adik-adiknya semua tercerai-berai. Ada yang menjadi korban penculikan, dibunuh, dan entah bagaimana nasibnya. Hamida pun menyamar menjadi pedagang keliling untuk menemukan Lajo, istri adiknya.

Roshida yang dulu adalah penculik Pooro dan dimusuhi, akhirnya malah sangat berjasa menyelamatkan Lajo. Roshida juga berhubungan baik dengan Ram Chand dan adik Hamida. Di akhir kisah, Ram Chand, Lajo dan adik Pooro harus pindah ke India dan hidup di sana. Sedang Roshida dan Hamida tetap tinggal. Mereka akhirnya menjadi sebuah keluarga besar. Agama tak lagi menjadi pembeda, malah kini negara menjadi masalah dan memisahkan mereka.  Mereka menangis. Tangis bahagia. Mereka berpisah. Perpisahan bahagia.

***  

Aku menutup buku. Menarik napas panjang. Betapa hidup penuh warna. Pooro menjadi Hamida. Ia sangat membenci Roshida pada awalnya, tapi akhirnya bisa menerimanya dalam kehidupannya.  Karena Hamida melihat banyak kesengsaraan hidup orang lain yang lebih parah daripada penderitaannya. Itulah kunci Hamida bersyukur dengan kehidupannya.

Ketika pikiranku masih membayang pada suasana desa Hamida, aku dikejutkan oleh suara kondektur bus di sampingku “Sragen, Sragen. Yang turun Sragen cepat ke depan. Bus nya balapan. Ayo-ayo cepat”. Seorang ibu tergopoh-gopoh bergerak ke depan. Sesekali menabrak bangku karena bus bergerak zig-zag. Dan penupang goyang ke kanan, lalu ke kiri. Aku pun berpegangan erat pada bangku depanku.


Bus Surabaya-Jogja, 9 Agustus 2016
 
© Copyright 2035 godongpring