(Catatan Pendek setelah membaca novel Warisan karya Tsitsi
V. Himunyanga-Phiri)
Oleh: Nanang Fahrudin
Namanya bukan Fatimah atau Surti. Melainkan Moya Mweemba. Jelas ia bukan orang
Indonesia, lebih-lebih Jawa. Itu nama Afrika. Sejak kecil ia bersekolah dan
bercita-cita menjadi seorang guru, mendidik anak-anak perempuan seperti
dirinya. Namun, saat usia lima belas tahun, arah hidupnya berubah. Ia dikawinkan
dengan seorang anggota polisi. Pada era tahun 1960 an, begitulah adatnya.
Sepertinya tak jauh beda dengan di Jawa.
Moya Mweemba pun hilang, menjadi Nyonya Mudenda. Ia harus
melayani suami, tidak membantah, dan tidak bertanya apa-apa. Sebagai sebuah
percobaan, sesuai adat ia dan suaminya harus menanggung hidup adik suaminya.
Semua keperluan adik suaminya harus dipenuhinya, mulai menyiapkan makan,
pakaian, hingga biaya sekolah.
Ba Mudenda, suaminya, jarang di rumah. Ia menghabiskan waktu
dengan bekerja, minum bir, bersama perempuan-perempuan yang kerap dibawa ke
rumahnya. Nyonya Mudenda tak dibenarkan protes, bahkan ketika ia dilarang ikut
naik mobil dinas suaminya sedang perempuan-perempuan muda itu dengan santainya
naik mobil itu. Laki-laki punya kehidupan sendiri dan tidak boleh diganggu. Tak
mau larut dalam kesedihan, ia mencurahkan kasih sayangnya kepada anak-anaknya.
Demi mencukupi kebutuhan keluarga ia merintis bisnis sayur
tanpa sepengetahuan suaminya. Hingga akhirnya bisnis itu besar dan mempunya
beberapa pekerja. Suaminya pun tak mau tahu dan menghabiskan waktu
bersenang-senang di luar rumah. Terkadang Nyonya Mudenda harus berangkat subuh,
naik mobil bak terbuka, menyusuri ladang dan pasar untuk belanja, lalu pulang
larut malam membawa barang-barang untuk dijual kembali.
Ia juga disalahkan saat salah satu anaknya ternyata hamil
dan dikeluarkan dari sekolah. Sebagai ibu ia terpukul sekali, tapi ia tak kuat
jika kesalahan itu semua ditimpakan kepada dirinya. Ia pun mendapat amarah dari
suaminya. Bahkan, ketika mendapati anak perempuannya tak menuruti kata—katanya
agar bersekolah dan menjadi guru, melainkan lebih menjadi istri simpanan untuk
bisa berfoya-foya. Ia kembali menjadi sasaran kemarahan.
Pergolakan perasaan yang campur aduk itu makin memuncak
ketika suaminya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan. Keluarga suaminya
menuduh dirinya yang merencakan pembunuhan kepada suaminya. Bagaimana mungkin
itu bisa terjadi? Kenapa mereka sebegitu tega? Dan tak hanya itu, semua harta
benda keluarganya harus diberikan kepada keluarga suaminya. Termasuk harta yang
diperoleh dari usahanya berkebun sayur.
Hal itu diperkuat dengan keputusan Kantor Urusan Harta.
Namun Moya Mweemba tak menyerah. Ia menggugat ke pengadilan
untuk memperoleh hartanya. Ia masih harus membiayai sekolah dua anaknya.
Bagaimana keduanya bersekolah dan hidup tanpa kepastian hanya gara-gara
bapaknya meninggal? Ini sangat tidak adil. Keadilan bukan milik laki-laki,
melainkan milik semua orang. Harus diperjuangkan. Kisah
berakhir bahagia, yakni hakim mengabulkan permohonannya untuk mengelola harta
bendanya.
Tarik napas dulu sebentar. Rasakan apa yang dirasakan Moya
Mweemba. Novel tipis ini memang sungguh enak dibaca. Moya Mweemba adalah tokoh
dalam novel Warisan karya Tsitsi V. Himunyanga-Phiri. Edisi Indonesia
diterjemahkan oleh Budi Darma dan diterbitkan Yayasan Obor Indonesia (1996).
Kekurangan buku ini saya kira hanya minimnya keterangan tentang
penulisnya. Di halaman terakhir hanya
ada satu paragraf saja yang menerangkan tentang penulis.
22 Agustus 2016