Oleh Nanang Fahrudin
Pertemuanku dengan buku ini sekarang, bukanlah pertemua pertama. Dulu, ketika masih di Jakarta (sekitar 2011), aku melihatnya terselip di antara ribuan buku di salah satu rak toko buku TIM. Tapi, uang selalu membikin banyak perpisahan. Termasuk hubunganku dengan buku itu.
Hari itu, aku hanya memegangnya saja. Sebuah Desa Bernama Po-on. Begitulah judul buku yang dikarang F. Sionil Jose. Po-on adalah kata yang unik, yang tak kutahu apa maknanya. Aku hanya memahami Po-on adalah sebuah desa, sebuah tempat di bagian entah mana di negeri Filipina. Apa benar-benar ada? Tentu aku juga tak tahu. Seperti Dukuh Paruk, asal ronggeng bernama Srintil yang dikarang Ahmad Tohari.
Tapi, sebagaimana yang saya percayai bahwa buku akan selalu bertemu dengan jodohnya. Dan aku pun akhirnya berjodoh. Belum lama ini, seorang kawan memiliki buku itu. Sedang pemiliknya mengincar salah satu buku koleksiku. Maklum, kami sama-sama penjual buku bekas. Lalu, barter buku pun jadi. Buku Po-on berpindah ke tanganku. Jadilah kini ia dalam keluarga besarku. Keluarga besar? Oh maaf, seringkali aku memaknai buku tak sekadar “buku”. (Anda boleh mengatakan itu omong kosong).
****
Ok. Sekarang marilah kita menuju ke Desa Po-on, sebuah desa miskin yang dihuni oleh orang-orang yang buta huruf. Desa itu hanya didiami beberapa rumah saja, yang sebagian besar adalah keluarga Ba-ac. Penduduknya menggarap sawah milik seorang pastor, wakil Spanyol yang menguasai negeri Filipina. Tanah adalah milik negara, yang sewaktu-waktu bisa diberikan kepada petani lain.
Di antara penduduk Po-on ada satu orang yang berbeda. Dia adalah Eustaquio Salvador atau Istak. Dia murid Romo Jose yang bijaksana dan menjadi pembantunya di gereja. Room Jose sangat menyayanginya, dan diajarinya ilmu botani, ilmu falak, dan juga diajarinya membaca dan menulis bahasa Spanyol dan Latin. Tapi Romo Jose terlalu tua untuk terus berada di gereja. Dia digantikan oleh pastor muda Romo Zarraga.
Tapi Istak pada suatu hari harus menerima kenyataan bahwa ia diusir dari “sekolah” nya. Itu setelah ia tak sengaja mengetahui hubungan romo muda itu dengan perempuan, anak Kapten Berong. Dan petaka itu barulah permulaan bagi Istak dan Po-on. Karena setelah itu, penduduk diusir dari Po-on karena dianggap tidak bisa menggarap sawahnya dengan baik.
Ba-ac, ayah Istak, yang merupakan orang paling tua di Po-on suatu hari mengharap pastor muda berkebangsaan Spanyol itu. Ia memohon agar warga tetap diizinkan tinggal. Tapi, orang tua itu ditendang oleh romo yang usianya sebaya anaknya itu. Ba-ac yang miskin itu pun heran, kenapa orang yang dianggapnya suci memiliki kebengisan yang begitu rupa.
Hanya dalam hitungan menit, Ba-ac merampas sesuatu dari tembaga yang dipegang romo itu. Dipukulkan berkali-kali ke wajah romo hingga remuk. Dia lalu meninggalkan gereja itu sebagaimana dia berjalan tenang saat masuk gereja. Tapi, setelah jauh dari gereja, ia berlari kencang, kencang sekali hingga sampai ke Po-on. Di sini, dia langsung meminta seluruh penduduk untuk bersiap-siap untuk pindah. Pasukan keamanan Spanyol pasti sebentar lagi mengejar.
Dan itulah petaka selanjutnya. Mereka menggunakan beberapa cikar berjalan dan berjalan sebagai pelarian, untuk menemukan tanah baru, menghindari kematian. Dalam perjalanan Ba-ac mati dililit ularsanca, dan Manyang (istrinya) hanyut dibawa arus sungai saat berusaha menyeberang.
Dalam pelarian itulah tergambar bagaimana pendiduk dari Po-on itu bertahan hidup. Istak tertembak pasukan dan harus dirawat dalam perjalanan. Pengetahuannya tentang ilmu pengobatan dari Romo Jose membantu menyelamatkan nyawanya sendiri. Karena saat tak sadarkan diri, ia terus mengigau tentang apa yang harus dilakukan untuk menyembuhkan orang sakit seperti dirinya.
Dan…ah, aku tak kan mampu menceritakan ulang sebaik pengarangnya, tentang kelanjutan kisah Istak dan penduduk Po-on lainnya yang melarikan diri. Istak akhirnya menikah dengan Dalin, yang menyelamatkannya. Rombongan itu sampailah di tanah Rosales, setelah diberi kemurahan oleh Don Jacinto. Akhirnya sepuluh tahun mereka hidup tenang di tanah baru yang mereka beri nama Cabugawan. Bukan lagi bernama Po-on.
Singkat kisah, Istak menjadi dukun karena mampu menyembuhkan banyak warga Cabugawan dan warga desa lainnya.
Kisah kembali menegangkan ketika Istak diminta memberi pesan untuk Presiden dan pejuang Filipina ketika dalam pengejaran tentara Amerika. Amerika mengusir Spanyol, dan menjadi penjajah baru di tanah itu. Istak lalu ikut berperang di Gunung Tirad yang heroik. Dia akhirnya tak kembali ke Cabugawan, berkumpul dengan keluarganya.
Buku catatan Istak masih ada di medan perang bersama mayatnya dan mayat-mayat pejuang. Dan catatan itulah yang menjadikan cerita dalam buku ini “ada”. Buku catatan yang ditulis Istak itu berbunyi: “Penaklukan dengan kekerasan tidaklah direstui oleh Tuhan. Orang Amerika itu tidak mempunyai hak untuk datang kemari. Kita akan mengalahkan mereka pada akhirnya, karena tanah yang mereka rampas adalah hak milik kami. Tuhan menciptakannya untuk kami. Sejarah umat manusia membuktikan iman adalah kekal, sedang besi baja habis dimakan karat”. (hal:427)
***
Kau mungkin akan membandingkan karya ini dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer, terutama karya tertralogi Buru. Dan begitu juga denganku. Apalagi Sionil Jose adalah pemenang hadiah Ramon Magsaysay tahun 1980, dan Pramoedya menerima penghargaan serupa pada tahun 1995.
Dalam “Sebuah Desa Bernama Po-on” memang digambarkan bagaimana nasionalisme awal mulai terbentuk di kalangan masyarakat pribumi. Hal itu pun akan mudah kita bandingkan dengan karya-karya Pramoedya yang mengambil tema nasionalisme.
Dan jika kau sewaktu-waktu membaca karya ini, ceritakanlah padaku tentang desa Po-on sekali lagi dan sekali lagi. Aku tak kan pernah bosan mendengar kisahnya. Salam.
Bojonegoro, 1 Februari 2014