Jumat, 01 November 2013

Bojonegoro dan Sejarah yang Bopeng

Oleh Nanang Fahrudin


            Ketika Museum Rajekwesi di Bojonegoro “digusur” lantaran gedung yang ditempati di Jalan Patimura diambil oleh pemiliknya, yakni Dinas Pendidikan, tak ada upaya Pemkab untuk menempatkan benda-benda bersejarah itu di tempat “terhormat”. Benda-benda itupun diletakkan di salah satu ruang kelas SDN Model Terpadu di Desa Sukowati, Kecamatan Kapas.

            Nasib museum Rajekwesi bisa menjadi gambaran bagaimana kota ini menempatkan sejarah. Apalagi, pemindahan itu berlangsung pada waktu gegap gempita Pemkab Bojonegoro merayakan Hari Jadi Bojonegoro (HJB) ke-336. Tak ada pejabat yang melirik nasib museum itu. Bahkan, lebih lucu lagi, Pemkab menggelar sebuah lomba membuat sketsa Prabu Anglingdharma, seorang tokoh legenda Raja Kerajaan Malowopati.

            Sejarah, sebagaimana yang ditulis oleh W.H. Frederick dan S. Soeroto (Pemahaman Sejarah Indonesia, LP3ES, 1982:4) adalah bukan sekadar masa lalu. Karena sejarah adalah perspektif tentang masa lampau, atau proses pemikiran tentang masa lampau (melalui metodologi) agar bisa dipahami oleh masyarakat sekarang.

            Pemkab Bojonegoro pernah membentuk tim penggali dan penyusun sejarah hari jadi Bojonegoro tahun 1985, yang hasilnya kemudian dibukukan dengan judul Sejarah Kabupaten Bojonegoro (Menyingkap Kehidupan dari Masa ke Masa). Dalam buku yang diterbitkan pada tahun 1988 itu sudah ada pemisahan tegas antara sejarah dan legenda. Prabu Anglingdharma disebut sebagai legenda, bukan sejarah. Perlu diingat, bahwa buku itu terbitan Pemkab Bojonegoro sendiri.

            Cerita Anglingdharma dimasukkan di bagian yang menyangkut kesenian. Cerita rakyat itu ditulis lumayan lengkap, yakni mulai halaman 467 hingga halaman 488. Bukan masuk pada bagian yang membahas sejarah Bojonegoro. (Mungkin) generasi sekarang perlu meneliti kapan cerita rakyat itu dibuat dan begitu merakyat.

Sekadar perbandingan, di Kerajaan Blambangan dikenal Prabu Menakjinggo, Dayun, Ratu Ayu Kencana Wungu, Raden Damarwulan, Patih Logender, dan tokoh-tokoh lain. Namun, setelah diteliti ternyata nama-nama itu hanyalah legenda semata. Pembuat cerita rakyat tak lain Pemerintah Kolonial Belanda. Karena Belanda memiliki kepentingan untuk mengaburkan semua sejarah. (lihat Sri Adi Soetomo, Kisah Perjuangan Menegakkan Kerajaan Blambangan, Sinar Wijaya, 1987).

Saya bukan hendak membuat tali simpul yang sama atas cerita Prabu Anglingdharma di Bojonegoro. Namun tidak ada salahnya melakukan penelitian atas (kapan dan untuk apa) cerita Kerajaan Malowopati tersebut. Apalagi, WH Frederick dan S. Soeroto mencatat pada abad ke-19 adalah zaman “kejam” bagi sejarah di Indonesia, khususnya Jawa. Sarana untuk mengumpulkan pemikiran sejarah hampir semuanya di tangan orang barat (tingkat tertentu orang China).
           
            Campur Aduk 

            Masalahnya sebenarnya, bagaimana Pemkab Bojonegoro dan masyarakat Bojonegoro memahami sejarahnya sendiri. Ketika museum ditelantarkan sedang pemkab memilih membuat lomba sketsa Prabu Anglingdharma, sebenarnya hal itu adalah sebuah petunjuk bagaimana pemkab memandang sejarahnya sendiri.

            Ada sekian tokoh dalam sejarah yang dekat dengan Kerajaan Jipang, lalu berubah menjadi Rajekwesi, dan terakhir berubah menjadi Bojonegoro. Jika hendak mengambil dari orang-orang yang berada di puncak pemerintahan, ada lebih dari 30 tokoh sejarah yang berhubungan dengan Bojonegoro. Mulai Pangeran Mas Tumapel (1677-1705), hinga Bupati Bojonegoro saat ini, Suyoto.  (nama-nama bupati mudah diketahui).

            Jika hendak melihat sejarah yang heroik, Aria Sasradilaga adalah tokoh paling tepat. Adipati yang menjabat tahun 1827-1828 ini memiliki peran besar pada Perang Diponegoro. Karena perlawanan Sasradilaga membuat perang melawan Belanda terus meluas di sejumlah tempat.

Juga ada Adipati Tirtonoto II  yang menjabat tahun 1878-1888. Adipati Tirtonoto II merupakan cucu Adipati Tirtonoto I atau juga dikenal dengan nama Raden Bei Tirtodipoero. Pada masa Tirtonoto II ini, hasil produksi tanaman tembakau dikenal luas di mana-mana. Hal ini setelah dibangun jalur kereta api Surabaya-Semarang tahun 1862 pada masa pemerintahanTirtonoto I, yang membuat jalur pengiriman tembakau semakin cepat.

Adipati Tirtonoto II sendiri merupakan kakek dari Tirto Adhie Soerjo (1880-1918) yang kemudian dikenal sebagai Bapak Pers Nasional dan mendapat gelar Pahlawan Nasional.  Dalam buku Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer (Hasta Mitra,1985), istri Tirtonoto I  yang dikenal dengan nama Raden Ayu Tirtonoto yang begitu pemberani. Raden Ayu pernah menghadap Gubernur Jenderal Otto van Rees agar sesuai aturan, anak mereka yang akan menjabat Adipati menggantikan suaminya yang meninggal dunia. Namun, Gubernur Jenderal menolak tuntutan itu. Mendapat penolakan itu, Raden Ayu Tirtonoto bukan mengemis melainkan berkata “Jika benar pemerintah bersanggup begitu, maka anak cucu hamba suruh mencari pahala dalam kemiskinan, artinya tidak dengan pertolongan, hanya tenaganya sendiri”. (Hal: 11).

Lalu, jika hendak mencari tokoh di luar pemerintahan, jumlahnya akan lebih banyak lagi. Salah satunya adalah Samin Surosentiko yang lahir tahun 1859 di Desa Ploso Kediren, Randublatung. Orangtuanya Kiai Keti dari Rajekwesi.  Gerakan Samin dengan penolakannya membayar pajak sangat merepotkan Pemerintah Hindia Belanda. Selain Samin, tokoh-tokoh kesenian lain, tokoh agama (pesantren), dan tokoh-tokoh sejarah lain jumlahnya sangat banyak.

Nah, sudah saatnya, sejarah lokal Bojonegoro mendapat perhatian Pemkab. Sangat wajar ketika sebagian masyarakat “marah” ketika Pemkab lebih mengenalkan legenda daripada sejarah. Membuat lomba sketsa Prabu Anglingdharma bukanlah hal yang perlu dianggap nyleneh, tapi yang nyeleneh adalah ketika Pemkab Bojonegoro memosisikan legenda begitu terhormatnya, tapi menempatkan sejarah pada posisi bawah. 

Dalam sebuah buku berjudul Prabu Anglingdarmo dan Aji Gineng (terbitan PT Intan, 1985) sendiri disebutkan banyak hal positif yang bisa dipetik dari cerita Anglingdarma, khususnya bagi anak-anak. Sang Prabu adalah raja yang bijaksana dan sakti. Namun, bukan saatnya lagi Bojonegoro diselimuti oleh legenda, ketika sejarah juga perlu dirawat. Oleh karena itu, pemkab bisa menempatkan legenda maupun sejarah pada porsinya masing-masing, tanpa harus meniadakan salah satunya. Salam.

*) Tulisan ini dimuat di tabloid blokBojonegoro edisi Oktober 2013

Minggu, 29 September 2013

September dan Kiri yang Seksi

(Sebuah Catatan Sangat Biasa)

Oleh Nanang Fahrudin

September dan geger 1965 adalah tema menarik sepanjang sejarah Indonesia hingga kini. Perbincangan tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan segala hal yang berbau PKI masih terus menggelinding, mulai warung kopi emperan toko hingga kafe di lantai 5 sebuah mal.

Tak hanya PKI secara organisasi yang selalu menarik banyak kalangan, tapi juga para pengendalinya semacam DN Aidit, Muso, H. Misbach, Semaun, Alimin, hingga orang-orang yang “dekat” dengan PKI, macam Henk Ngantung, Sudjodjono, Joebaar Ajoeb hingga Pramoedya Ananta Toer. Segala hal tentang orang-orang tersebut menjadi menarik diperbincangkan.

Bak gayung bersambut, wacana-wacana kiri juga semburat seperti jamur di musim hujan. Ada di mana-mana. Amati saja buku-buku Karl Marx, F. Engels, Tan Malaka, Nietzsche, Ludwig Feuerbach, atau segala pemikiran kaum marxis menjadi buruan para kolektor buku. (Banyak orang yang bangga hafal wacana-wacana kiri seperti ini).

Ada apa dengan fenomena itu? Maaf, saya bukan seorang doktor yang lalu mencari dalili-dalil aqli untuk mencari tahu penyebabnya. Jadi, apa yang saya tulis adalah sekadar timbangan yang dangkal. Meski demikian, setidaknya apa yang saya tulis bisa menjadi teman Anda menikmati secangkir kopi pahit. Kopi pengujung September 2013.

Jika Anda iseng-iseng melihat buku-buku bekas di online (misalnya), sejenak amati saja buku-buku kiri harganya akan melambung. Salah satu indikasi bahwa peminatnya cukup banyak. Buku-buku yang ditulis oleh DN Aidit, Pramoedya Ananta Toer, atau berbau PKI harganya melangit. Segala hal yang berbau kiri selalu menjadi seksi. Di toko-toko buku besar sekelas Gramedia atau Togamas, buku-buku kiri juga banyak diminati.

Soal kiri yang seksi ini, Majalah Tempo selalu menjadikannya laporan khusus. Edisi 1-7 Oktober 2012 lalu majalah ini menerjunkan laporan khusus tentang “Algojo1965”. Lalu September 2013 ini, Tempo juga menghadirkan laporan khusus tentang Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Sayang saya tak memiliki cukup data tentang berapa eksemplar edisi khusus itu terjual, dan berapa rupiah yang diraup Tempo.

Saya masih ingat ketika dulu menjadi mahasiswa, teori sosiologi Talcott Parsons begitu melekat di pikiran saya. Tapi tahun 1998, gelombang reformasi tak sekadar membuat  peta politik berubah. Melainkan buku-buku yang dilahap mahasiswa juga banyak yang bergeser ke kiri. Teori Parsons ditertawakan karena dinilai ketinggalan zaman. Maka eranya adalah pikiran-pikiran Marx, tentang materialisme historis, tentang refikiasi, alienasi, hegemoni, independensi, dan lain sebagainya. Istilah-istilah itu menjadi magnit, terutama bagi kalangan mahasiswa baru saat ini.

Tapi benarkah orang-orang yang menyukai kiri itu berarti memiliki jiwa pemberontak? Tunggu dulu. Wacana kiri dan jiwa pemberontak bukan sebab-akibat. Tapi itu dua hal yang berbeda. “Orang-orang kiri” kini banyak yang berada di tanda kutip seperti saya tulis itu. Hitung saja, berapa orang yang memuja wacana kiri, namun memilih hidup dalam sebuah kemapanan yang notabene hendak dihantam keras-keras oleh wacana kiri itu sendiri.

Dan Anda tak perlu bertanya kenapa. Tapi jika Anda bertanya pun tak mengapa. Bagi saya, era sekarang ini, wacana kiri tak lebih sebagai gaya hidup. Hanya segelintir orang yang masih memegang “jiwa pemberontak”dan melaksanakannya dalam kehidupannya. Merekalah kiri sejati.

Modernitas telah menghimpun dari yang kiri sampai kanan. Orang yang pecaya Tuhan bisa bertemu dengan orang yang tidak percaya dengan Tuhan hanya gara-gara sama-sama minum Coca Cola. Kiri dan kanan pun terjebak pada jubah gaya hidup. Dan gaya hidup tersebut berkait erat dengan nilai ekonomi. Itulah zaman kita. Zaman di mana Miss World lebih penting dari harga beras dan kedelai.

Tapi sudahlah. Saya bukan hendak memperpanjang tulisan ini serupa orang yang sedang berorasi waktu demonstrasi. Di era kebebasan ini, Anda dan saya punya hak sama untuk memilih kiri atau kanan. Karena yang tidak boleh adalah Anda memecahkan cangkir kopi di sebuah warkop. Anda harus menggantinya, karena cangkir itu milik pemilik warkop. Atau Anda bisa mencampur yang “kiri” dengan yang “kanan” seperti adonan eskrim yang lezat.

Ah, saya akhiri saja tulisan ini karena saya tak sabar membuka majalah Tempo terbaru. Cover majalah Tempo edisi 30 September-6 Oktober 2013 yang berjudul “Lekra dan Geger 1965” ini, begitu indah dibalut dengan kertas ungu bertuliskan Philips LED. Apa ini serupa eskrim tadi? Anda lebih tahu jawabannya.

Bojonegoro, 30 September 2013

Penulis adalah penjaga toko buku bekas online www.bukulawasonline.blogspot.com

Senin, 26 Agustus 2013

Menemukan Bojonegoro dalam Lipatan Sejarah Nasional

Oleh: Nanang Fahrudin

Sejarah berasal dari bahasa Arab “sajaroh” yang bermakna pohon, yang kemudian diadopsi bahasa Indonesia menjadi sejarah. Dan sebagaimana pohon, sejarah juga memiliki akar, dahan, cabang, ranting hingga daun yang menjadi sebuah kesatuan utuh. Namun, seringkali sejarah yang dikenal dan bertahan di ranah publik adalah sejarah tentang pohon-pohon besar saja. Sedang pohon-pohon kecil terlupakan.

Pemaknaan sejarah yang demikian tentu akan mempengaruhi pemahaman terhadap suatu masyarakat. Dalam cara pandang itu, masyarakat kecil hanya dinilai pasif dan menerima apa adanya. Sedang masyarakat elit sebagai pencipta tradisi yang kemudian diikuti oleh masyarakat kecil.

Hal ini merujuk pada dikotomi “tradisi besar” dan “tradisi kecil” yang dikemukakan oleh Robert Redfield (Redfield, 1956). Dikotomi ini menunjukkan adanya tradisi superior dari tradisi lain dengan ukuran-ukuran yang subjektif. Dan pembagian tradisi ini banyak dipakai oleh peneliti, termasuk Clifford Geertz dalam The Religion of Java. Namun dikotomi semacam ini banyak dikritik oleh peneliti termasuk oleh Prof. Dr. M. Bambang Pranowo saat meneliti masyarakat muslim di pesantren yang kemudian dibukukan menjadi Memahami Islam Jawa (2009).

Pesantren sebagai subkultur, sebagaimana diungkapkan oleh Abdurrahman Wahid dalam buku Menggerakkan Tradisi, Esai-esai Pesantren (LKiS, 2001), bahwa pesantren adalah kehidupan yang unik. Pola-pola hidup yang diterapkan berbeda dengan pola hidup masyarakat pada umumnya. Semua serba lentur dan tidak kaku.

Keunikan itu salah satunya adalah betapa dekatnya santri dengan rakyat. Meski ketika di pesantren, seorang santri seperti “terkurung” dalam sebuah sistem. Santri selalu berhubungan langsung dengan rakyat yang ada di sekitarnya. Karena salah satu tujuan mereka nyantri adalah untuk kembali ke masyarakat. Tak mengherankan jika KH Syaifudin Zuhri menyebut santri adalah “anak-anak rakyat” karena begitu dekatnya hubungan keduanya. Dan dengan menanggalkan dikotomi “tradisi besar”dan “tradisi kecil” itu, kita akan melihat dengan objektif posisi pesantren dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.

Konteks Bojonegoro

Kabupaten Bojonegoro bukan basis santri seperti Jombang dengan Ponpes Tebuireng-nya. Namun, bukan berarti tidak ada kaum santri di Bojonegoro. Banyaknya ponpes yang berdiri jauh sebelum masa kemerdekaan, menjadi bukti bahwa Bojonegoro memiliki sejarah panjang dengan kaum santri di dalamnya.
Ponpes Al-Rosyid di Desa Ngumpakdalem, Kecamatan Dander berdiri tahun 1909. Ponpes Al-Rosyid disebut sebagai pesantren tua di Kabupaten Bojonegoro. Al-Rosyid dirintis oleh KH Moh Rosyid anak dari R. Kaki Troenopatie bin Irodipo Dongeng bin Bambang Irawan putra Kanjeng Adipati Haryo Metahun. Lalu 1919 berdiri Ponpes Abu Dzarrin yang didirikan oleh Kiai Abu Dzarrin yang tak lain juga keturunan dari Singojoyo bin Singonoyo. Juga ada Ponpes Attanwir Talun, Sumberrejo yang mulai dirintis tahun 1933.

Semua ponpes memiliki peranan masing-masing dalam upaya perjuangan melawan Belanda. Namun yang pasti mereka menjadi kelompok intelektual organis pada masa itu yang terus menerus mengobarkan semangat perjuangan. Mati syahid saat perang melawan penjajah adalah fatwa para Kyai pada masa itu yang memberi sumbangsih besar pada kemerdekaan.

Di sisi lain, kekayaan alam Bojonegoro (mulai hutan, air bengawan solo, kandungan minyak) menjadi kekuatan Belanda untuk terus menguasai perdagangannya. Dulu sungai Bengawan Solo merupakan jalur transportasi utama untuk perdagangan selain jalur laut. Sehingga, daerah-daerah sekitar sungai dan hutan menjadi incaran Belanda untuk terus menguasainya.

Pelajaran Generasi Sekarang

Banyak sejarah yang terlupakan begitu saja, yakni ketika sejarah itu dipandang sebagai milik lokal. Ia dianggap hanya menjadi “tradisi kecil” yang pasif dan tak memiliki daya gerak menjadi sejarah dalam konteks “tradisi besar”. Padahal, sejarah lokal memiliki makna besar dalam upaya menemukan kearifan lokal. Tak heran jika generasi sekarang (siswa/mahasiswa) yang minim pengetahuan tentang sejarah lokal Bojonegoro, meski hal itu bukan semata-mata kekeliruan siswa/mahasiswa.

Ada beberapa faktor hilangnya sejarah lokal di Bojonegoro. Pertama, gemarnya pemerintah orde baru (waktu itu) membengkokkan sejarah. Sehingga, sejarah memiliki kesan kurang bisa dipercaya, mudah berubah-ubah. Kedua, kesadaran mempelajari sejarah bagi siswa/mahasiswa masih kurang. Karena mereka tidak mengerti untuk apa belajar sejarah.

Ketiga, minimnya literatur tentang sejarah lokal Bojonegoro yang dihubungkan dengan sejarah nasional. Misalnya sejarah kemerdekaan 1945, bagaimana posisi Bojonegoro saat itu. Atau ketika Perang Diponegoro terjadi, bagaimana kondisi Bojonegoro. Apakah ada pengikut-pengikut Sang Pangeran saat perang? Penelitian kearah sana masih sangat minim.

Akibat kelemahan-kelemahan itu, jarang sekali siswa mendapatkan pengetahuan tentang sejarahnya sendiri. Dunia terlanjur menganggap bahwa Bojonegoro adalah Bumi Angling Dharma, yang secara otomatis menenggelamkan cerita-cerita alternatif lain. Jika merujuk sejarah, seharusnya nama Arya Penangsang lebih dekat dengan Bojonegoro yang menjadi wilayah Kerajaan Jipang daripada nama Angling Dharma yang sekadar mitos.

Oleh karena itu, sudah saatnya Bojonegoro mencari jati dirinya melalui sejarah daerahnya yang bisa ditularkan kepada para generasi sekarang. Meski harus dipahami, sejarah bukan mengajak berhenti pada romantisme, melainkan melakukan pemaknaan baru akan masa lalu, untuk “mendesain” masa depan. Bojonegoro akan merugi jika sejarahnya terkubur begitu saja, tanpa ada yang mencoba menggalinya terus menerus, memaknaiknya terus menerus. Dan terpenting perlu ada penelitian serius tentang sejarah masyarakat Bojonegoro. Salam.

*) Tulisan ini dimuat di tabloid blokBojonegoro edisi Agustus 2013

Minggu, 14 April 2013

Kisah Kiai Sadrach


(Tokoh Kristenisasi Jawa Abad XIX)

:: Sebuah catatan pendek (capen) setelah membaca buku Kiai Sadrach

Oleh Nanang Fahrudin

Nama kecilnya Radin. Tak diketahui siapa nama orang tuanya. Catatan sejarah (dari pengetahuan saya yang terbatas) hanya menyebut ia lahir sekitar tahun 1835 (sumber lain menyebut 1837) di sebuah desa di sekitar Demak (sumber lain menyebut Desa Loering Karesidenan Semarang). Ia berasal dari keluarga petani miskin. Sejak kecil ia pergi meninggalkan rumah, mengembara mencari kebenaran, keluar-masuk pesantren di Jawa Timur, hidup dari belas kasihan orang. Ia beberapa kali diambil sebagai anak angkat oleh orang Belanda. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan Kurmen alias Sis Kanoman yang menjadi gurunya belajar ngelmu Jawa.

Setelah belajar ke Sis, Radin melanjutkan perjalanannya untuk menyempurnakan ilmunya. Ia berpindah dari satu pesantren ke pesantren lain di Jawa Timur. Waktu itu pesantren adalah satu-satunya “sekolah” yang terbuka untuk siapa saja, tak peduli asal-usulnya. “Siapa” dia tak dipedulikan oleh pesantren, karena orang yang datang ke pesantren berarti dia hendak menuntut ilmu yang akan diterima dengan pintu terbuka lebar.

Kelak, setelah dari pesantren Radin menambah nama Arab di belakangnya, menjadi Radin Abas. Ia lalu berpindah-pindah tempat, dari Batavia, Jombang, Kutoarjo, dan daerah-daerah lain di Jawa untuk menyebarkan agama. Lalu ia dikenal dengan sebutan Kiai Sadrach (sumber lain menyebut Sadrach Surapranata) dan memiliki banyak murid. Dia meninggal dalam usia 90 tahun. Namun, sumber lain menyebut ia meninggal pada usia 89 tahun.

Sulit menemukan peninggalan sang Kiai. Salah satu peninggalan sang Kiai adalah sebuah buku kecil sekitar 200 halaman yang disimpan oleh ahli warisnya di Karangjoso. Buku itu ditulis tangan dalam bahasa Arab yang berisi tentang tasawuf, silsilah raja Islam, transkripsi mistik dari nama Nabi Muhammad (setiap huruf mengandung satu makna), dan juga sebuah dialog antara Sunan Kalijogo dengan Sunan Bonang mengenai alam kubur.

Sampai di sini, Anda pasti mengira saya sedang mengisahkan seorang kiai Islam. Bukan. Kiai Sadrach adalah misionaris Kristen, pengabar Injil, dijuluki Kiai Rasul Sadrach, Sang Penggembala. Ia bersama Kiai Ibrahim dan Kiai Kasan Mentaram (keduanya Kristen) berperan penting dalam kristenisasi di Jawa. Sayang catatan-catatan tentang Sadrach sulit ditemukan, karena ia sering cekcok dengan para misionaris Belanda (dan asing). Sadrach menjadi pendeta pada tahun 1894-1924.

Kisah sang Kiai ini saya baca dari buku berjudul Kiai Sadrach, Riwayat Kristenisasi di Jawa karya Claude Gulliot. Buku ini terbitan Grafiti Pers tahun 1985. Penerjemahnya adalah Asvi Warman Adam, seorang sejarawan Indonesia terkemuka saat ini. Gulliot (sesuai tertulis di bukunya) lahir tahun 1944. Pernah menjadi dosen bahasa Prancis di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1973-1981). Buku ini berjudul asli L’Affaire Sadrach, Un Esai de Christianitation a Java au XIX e Siecle, yang merupakan buku pertama memperoleh Prix Jeanne Cuisinier (1981), sebuah penghargaan oleh Institut National des Languages et Civilisations Orientales, Paris.

Meski banyak mengkristenkan masyarakat Jawa, Sadrach tidak diakui oleh misionaris Belanda. Bahkan antara Sadrach dengan para misionaris Belanda sering berdebat. Sadrach dianggap mengajarkan kesesatan. Lion-Cachet seorang misionaris Belanda yang lama di Afrika Selatan pada Desember 1891, di Purworejo membuat sebuah pernyataan, di antaranya berbunyi:

Demi kebesaran Tuhan dan keselamatan jiwa para umat termasuk Sadrach, para misionaris harus memisahkan diri dari Sadrach yang telah meracuni lingkungan kerjanya dan menghidupkan suatu agama Kristen Jawa yang tidak member tempat yang seharusnya bagi Kristus…”. (hal:162)

Perselisihan antara Sadrach (dan pengikutnya) dengan misionaris Belanda akhirnya memuncak dan Sadrach memutuskan tidak lagi berhubungan dengan misionaris Belanda. Sadrach sering dinilai sesat karena mengkristenkan orang Jawa dengan caranya sendiri, bukan dengan cara-cara orang Eropa. Bahkan, Sadrach menganggap dirinya sederajat dengan misionaris-misionaris Belanda. Padahal, waktu itu seharusnya posisi Sadrach sebagai pribumi hanya bisa sebagai asisten misionaris.

Meski tak diakui oleh misionaris Belanda, Sadrach terbukti suskes mengkristenkan masyarakat Jawa. Tahun 1898 pengikut Sadrach tercatat lebih dari 7.000 orang. Namun pada tahun 1907 menurun menjadi 2.735 orang. Data pengikut tahun 1907 masih jadi perdebatan apakah benar atau salah. (hal:169-170). Pengikut Sadrach adalah masyarakat di pedesaan.

Kehidupan Sadrach berakhir saat tidur pada malam tanggal 14 (15?) November 1924. Ia dimakamkan di Karangjoso. Makamnya berlokasi sekitar 2 km dari rumahnya dan di atas makamnya terdapat sebuah cungkup, atapnya bertingkat tiga.   

Dalam buku karya Gulliot ini memang tidak menyinggung soal pilihan politik Sadrach. Mungkin karena posisi Kiai Sadrach lebih pada seorang guru spiritual. Anhar Gonggong mencatat pada tahun 1923 Ignatius Joseph Kasimo (1900-1986) mendirikan organisasi bernama Pakempalan Politik Katolik Djawi (PPKD). Pada tahun itu jumlah umat Katolik di Jawa tercatat sebanyak 10.000. Organisasi ini mengusung etno-nasionalisme untuk memerdekakan bangsa. (Basis, nomor 11-12, tahun ke-59, 2010. Hal:30-35). Sayang saya tidak menemukan (atau memang tidak ada?) penelitian tentang adakah hubungan antara Kiai Sadrach dengan Ignatius Joseph Kasimo? Meski Sadrach berada di kelompok Gereja Protestan.

Melihat dua tokoh yang sama-sama berlatar belakang Jawa ini sangat mungkin pernah bertemu. Karena meski Sadrach tidak pernah menggelorakan nasionalisme, namun ia berpendirian sangat teguh bahwa orang Belanda tidak punya perbedaan dengan orang pribumi. Bahkan, Sadrach enggan tunduk di bawah misionaris Belanda, melainkan tetap menapaki jalannya sebagai guru dan penyebar agama Kristen yang kental nuansa Jawa-nya. Sehingga waktu itu muncul istilah Kristen Jowo yang merujuk Sadrach beserta murid-muridnya, dan Kristen Londo yang merujuk pada misionaris Belanda dan pengikutnya.

Dan bukan sebuah kebetulan bahwa Sadrach hidup sezaman dengan penyebar agama Islam KH Ahmad Dahlan di Jogjakarta (1868-1923). Sedang di Jombang KH Hasyim Asy’ari mendirikan pondok pesantren Tebuireng pada 1899. Ponpes Tebuireng ini berada di Kecamatan Diwek, Jombang. KH Hasyim Asy’ari lahir tahun 1875 atau sekitar 40 tahun setelah kelahiran Kiai Sadrach. Waktu itu di Jombang, sebelum Ponpes Tebuireng berdiri, sudah ada desa-desa Kristen yang didirikan oleh misionaris. Di antaranya Ngoro yang didirikan misionaris Coolen yang terletak sekitar 20 km dari kota. Juga ada Desa Kristen Mojowarno yang didirikan Abisai Ditotruno dan Tosari.

Kiai Sadrach memulai kontak dengan orang-orang Kristen berawal dari desa-desa Kristen di Jombang ini. Dia tinggal di Jombang antara tahun 1851-1858 pada usia antara 16 dan 23 tahun. Sebelumnya ia sudah berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren di Jawa Timur untuk memperdalam agama Islam. Artinya, pada tahun 1800-1900 di Jombang ada penyebaran dua agama besar yakni Islam dan Kristen. 

Senin, 18 Maret 2013

Semangkuk Cerita di Krondonan


Oleh Nanang Fahrudin

Alam ini untuk kita kawan. Untuk kita. Dengarkan rintik hujan menubruk atap-atap rumah. Rumah yang tersembunyi di antara gundukan tanah dan barisan pohon jati. Di belakangnya air sungai yang menjerit-jerit setelah berhasil melewati batu-batu besar. Tapi benarkah kita pemilk? Pemilik semuanya?

Kawan! Kau tak perlu bertanya apa yang sedang kulakukan saat ini. Aku bukan sedang memegang buku Cuk dan Cis yang pernah kufoto bersanding dengan secangkir kopi di dekat akuarium. Bukan. Bukan juga sedang melahap buku-buku Kawabata, Eiji Yosikawa, atau sedang tenggelam di aktivitas kerja mengedit berita.  Sama sekali bukan.

Tapi aku sedang berada di kampung jauh dari kota. Kecamatan Krondonan, tepatnya di Dusun Tadahan. Kata orang-orang, jaraknya hampir 60 km dari pusat kota Bojonegoro. Aku sendiri belum pernah memastikan jaraknya. Jauh? Tentu ya. Tapi di sinilah sebagian hidupku berhenti. Aku membayangkan menjadi kabut yang menyapa atap-atap rumah, pucuk-pucuk pohon, batu-batu besar dan hanyut bersama air sungai. Aku juga sering membayangkan menjadi batu besar di halaman SMPN 2 Krondonan, yang di sana para guru naik di atasnya hanya untuk memungut sinyal hape.

Ya, aku sedang di sini kawan. Pada jam sekarang, kau pasti sedang sibuk dengan aktivitasmu. Atau sedang berada di toko buku mencari-cari buku karya Nicoloj Gogol atau novel Pulang karya Lelila S Chudori yang katanya bagus itu. Terus terang aku belum membaca Pulang. Semalam aku masih sempat memegang buku kumpulan Cerpen Kompas Pilihan tahun 2006. Aku membaca dua judul: Ripin dan Caronang. Lalu aku memegang buku karya Mochtar Lubis berjudul Tak Ada Esok terbitan Pustaka Jaya.

Tapi bukan dua buku itu yang hendak kuceritakan kepadamu, kawan. Kau pasti lebih dulu mengenal keduanya sebagaimana kau mengenal lebih dulu buku-buku lain. Buku Dr Zivago karya Boris Pasternak misalnya, atau buku Ziarah karya Iwan Simatupang. Aku sering menjadi pembaca yang terlambat datang. Terlambat menyentuhnya, terlambat menyapanya.

Hari ini, aku dan Prawoto (guru) sedang bersama lima anak kelas jurnalistik SMAN 2 Bojonegoro. Aku duduk di pojok ruang komputer menghadapi laptop. Sedang di sampingku ada  Oliv dan Rosida. Di belakangku ada Nisa, Arum dan Syarifa. Mereka adalah lima siswa yang ikut acara ini. Acara apa? Aku juga tak tahu persis apa nama acara ke Krondonan, Gondang ini. Yang kutahu adalah, mereka harus mengakrabi alam, merasakan paginya, siangnya, malamnya. Dan terakhir: menulis.

Ada setumpuk cerita yang dikantongi oleh mereka. Apalagi selama dua malam, mereka menginap di rumah warga, bergaul bersama masyarakat dan melihat dari dekat kehidupan mereka, yang mungkin saja berbeda dengan keseharian mereka di kota Bojonegoro.

“Aku terenyuh membaca catatan-catatan mereka,” begitu Prawoto berbisik di telinga kiriku. Yang kemudian membuatku harus berdiri sebentar mengamati layar-layar komputer yang seakan-akan di wajahnya itu selalu muncul huruf-huruf. Satu demi satu menjadi rangkaian kalimat. Dan aku harus berkata dalam hati: mereka hebat.

Kau tahu? selama ini aku bertemu mereka di Jumat sore. Kadang di teras masjid sekolah, kadang ruang kelas, kadang di alun-alun dan sekarang di sebuah kampung yang sangat jauh dari kota. Aku sering berpikir, mereka bukan sedang  kami ajari menulis. Tapi kamilah yang sedang belajar dari mereka tentang menulis. Tentang semangat berkarya.  Mereka sudah membaca Totto Chan. Mereka sudah selesai buku Ronggeng Dukuh Paruk. Mereka juga akrab dengan buku-buku Ahmad Tohari, Mangunwijaya, Pramoedya Ananta Toer, Umar Kayam Putu Wijaya dan entah siapa lagi penulis yang sudah diakrabinya. Dan satu lagi: mereka sudah menerbitkan buku bersama berjudul Curhatku. Tentu berkat sentuhan kreatif Prawoto.

Sekarang, pagi beranjak siang, dan mereka masih bercerita lewat tulisan. Entah sudah berapa halaman, aku tidak tahu. Mereka menata huruf seakan tak berujung. Huruf-huruf itu keluar lagi di layar komputer, muncul lagi, muncul terus, dan terus. Suaranya tak-tik-tuk seperti gerimis di siang hari. Aku membayangkan mereka sedang membangun rumah, menata batu bata, memperhalus lantainya, naik ke atap membetulkan genteng yang mencong. Hanya saja rumah itu ada di pikiran mereka, rumah yang seperti surga tentunya.

Oke, biarkan mereka menulis dulu saja…aku tak mau mengganggu mereka…

Kemarin, ketika lima siswi itu berada di rumah Mariyati dan Lilis, aku bertemu dengan Rakijan. Usianya kira-kira 40 tahun. Sudah punya anak dua. Rumahnya kecil, berdinding kayu dan berlantai tanah. Aku mampir ke sana ketika gerimis seperti titik-titik lukisan yang indah. Di depannya ada pohon kelapa yang tinggi dengan buah bergerombol. Sayang, pohon itu licin jadi aku tak sempat mencicipi air kelapa, yang katanya sangat nikmat itu.

Rakijan duduk berjongkok saat berbicara denganku, seperti sedang berbicara dengan seorang tuan. Aku pun ikut duduk sejajar dengan dia. “Monggo pinarak”. Aku dipersilahkan masuk, tapi terasnya yang kecil dan posisi rumah lebih atas dari sekelilingnya membuatku memilih duduk di teras saja.

“Wanci niki kulo mboten wantun nanem brambang”. Dia mulai bercerita. Warga di Dusun Tadahan, Desa Krondonan memang sebagian besar petani brambang. Tapi sayang harga bibit brambang yang selangit membuat mereka urung tanam. Bandingkan saja, kalau biasanya hanya Rp12.000/kg, maka sekarang harga bibit meroket Rp35.000/kg. Ya kalau waktu panen nanti harganya tinggi, kalau anjlok bagaimana? Itu pertanyaan Rakijan dan warga lain, yang kemudian dijawab dengan berdiam diri di rumah, tidak menanam brambang.

Aku jadi teringat istriku yang beberapa hari terakhir mengeluhkan harga bumbu dapur begitu mahal. Terus naik dan naik. Kenapa? Istriku bertanya kepadaku. Kujawab saja bahwa di negeri ini memang melarang warganya untuk miskin. Semua harus berduit agar bisa bertahan hidup. Negeri yang rakus, kataku.  Mengambil sedikit demi sedikit kebahagiaan warganya yang sedikit itu.

Negeri ini mungkin telah dijual, kawan. Dibeli oleh koruptor bersenjatakan keserakahan. Piring-piring penuh dengan air mata dan tangisan di mana-mana. Tapi alam ini tetap indah, bagaimana pun serakahnya manusia. 
Seperti sekarang, di Krondonan, Gondang.

Kawan! Ketika matahari belum muncul dari balik perbukitan, ketika kabut masih menggantung, mereka berjalan kaki menyusuri pematang sawah, menyeberangi sungai tanpa jembatan. Ya, itulah satu-satunya jalan menuju sekolah. Tak ada lain. Aku tahu mereka sangat lelah, tapi mereka begitu riang. Mereka seperti sedang berada di dunia yang baru.  Dunia yang selama ini hanya mereka lihat di layar televisi atau sekadar mendengar cerita dari teman. Ada yang berjalan tanpa alas kaki karena licin, ada yang tetap bersepatu dengan tanah liat menempel di sana-sini. Dan setelah menyusuri jalanan naik-turun bukit sepanjang 3 km, mereka akhirnya sampai di SMPN, mengikuti Mariyati dan Lilis  yang punya langkah cepat.

Aku sangat tersentuh mendengar mereka bercerita tentang apa yang mereka rasakan. Aku tiba-tiba tak mengetahui lagi apa yang ada di sudut-sudut mata mereka, air yang bening. Bening seperti air telaga putri-putri keraton. Air itu menyimpan semangkuk cerita. Cerita yang berjingkat-jingkat di tepian sungai yang mengalirkan air gemericik.

Kawan! Bolehlah aku menyebut hari ini hari yang cukup indah. Sinar matahari berkilauan dipantulkan oleh embun di pucuk pohon jati. Rumah-rumah seperti jatuh dari langit dan berdiri di antara ladang-ladang jagung. Angin berhembus pelan mengusap kulit yang mulai berkeringat. Di jalanan yang sempit, bocah-bocah berseragam sekolah bergerombol, berjalan pelan menenteng tas dan buku. Dan di antara bocah-bocah berseragam itu, lima siswa kelas jurnalistik bergabung. Salam!

Krondonan, 16 Maret 2013
Catatan kecil bersama kelas jurnalistik SMAN 2 Bojonegoro

Minggu, 17 Maret 2013

Ruki Si Manusia Kuli


Catatan Pendek (Capen) setelah Membaca Buku “KULI” karya MH Szekely-Lulofs

Oleh Nanang Fahrudin

I

Ini kisah tentang buku. Buku yang bertahun-tahun berlarian kesana kemari membawa setumpuk kesuraman. Buku yang siapa saja bisa menjumputnya dari rak-rak buku usang. Buku yang mungkin sesesakali berteriak nyaring di kamar gelap, yang siapa saja yang mendengarnya akan berwajah muram. Mungkin semuram kisah di buku itu. 

“Ada sejuta buku yang seperti itu”. Ya, mungkin saja. Tapi buku tetap saja buku, yang serupa kawan menemani duduk di teras rumah dengan guyuran sinar matahari yang panas. Buku yang hadir sekarang, akan membawa suasana yang berbeda pada saat datang esok. Waktu hanya datang sekali, tak akan bisa terulang lagi. Dan apa yang terjadi ketika dua kawan sedang duduk bercengkerama. Semua serba mungkin terjadi. Dua kawan itu adalah buku dengan aku, buku dengan anda, buku dengan kita, buku dengan kami dan buku dengan siapa saja.

Buku itu bernama: KULI

II

Dia bernama Ruki.  Usianya masih belasan tahun ketika bersama kerbau, dia berada di sawah. Punggungnya menghitam dihantam sinar matahari. Tapi sinar matahari itu dirasanya seperti guyuran air hangat. Bukan sesuatu yang asing atau perlu dihindari. 

Ruki adalah satu di antara jutaan anak Sunda. Tahun? Entah tahun berapa, karena Ruki dan tetangganya hanya melihat purnama. Waktu tidak dihitung dengan bulan dan tahun, melainkan berapa kali purnama. Ibu Ruki meninggal ketika Ruki masih kecil, dan ayahnya segera menikah lagi, memiliki anak lagi, dan lagi. Ruki pun harus tinggal bersama neneknya yang bungkuk. Karena kalau neneknya semakin renta, Ruki yang akan mengurus. Begitu alam mengajarkan.

Alam pedesaan menghidupi Ruki dan semua orang. Kerbau dan sawah seperti hadir begitu saja untuk mereka, entah dari mana asalnya. Ruki menyenangi hangat tubuh kerbau yang bercampur lumpur sawah ketika dia naik di punggungnya. Ruki pun tak tahu untuk apa ia ada di desa itu? Ia tak tahu karena tak pernah bertanya apa-apa.  Hidup seperti sebuah pemberian cuma-cuma dari Tuhan. Cuma-cuma? Ah, Ruki tidak tahu juga.

Ruki tak pernah bertanya kenapa begini dan kenapa tidak begitu. Tiada tanya itu juga yang membuat Ruki bersama dua temannya (Sidin dan Karimun) kepincut untuk ikut bersama laki-laki asal Betawi yang malam-malam datang ke kampungnya. Bersama laki-laki itu mereka pergi meninggalkan desanya. Laki-laki itu datang membawa selangit mimpi, yang bahkan belum pernah terpikirkan warga kampung Ruki:  rokok, bebas berjudi, punya emas, beristri wanita muda cantik lebih dari satu. Dan….dan….

Semua berawal dari halaman delapan…

III

Kuli lahir dari penggalan sejarah negeri ini tahun 1900 an, ketika negeri ini masih bernama Hindia Belanda. Penggalan sejarah itu dititipkan pada kata-kata yang diikat cukup kencang oleh M.H. Zhekely-Lulofs (1899-1958) dalam buku bersampul warna hijau lumut. Sebagaimana tertera dalam bagian akhir buku ini bahwa Lulofs menulis pada Juli-November 1931. Dan, hingga 2013 ini, ikatan itu masih cukup kencang. 

“Dalam kamus sejarah penjajahan di tanah air, kuli kontrak identik dengan perbudakan. Masa yang menyedihkan di Deli itu sudah lama berlalu, namun secara polos dan memikat, Lulofs berhasil merekamnya dalam novel yang pendek ini”. Kalimat panjang ini ditulis oleh penerbit Grafiti (1985) di sampul belakang, seakan hendak mencuplik sekilas tentang isi Kuli. 

Kuli tipis? Ya, hanya 115 halaman. Bandingkan dengan Musashi karya Eiji Yosikawa yang 1.000 halaman lebih, atau Tidak Ada Esok karya Mochtar Lubis yang punya 226 halaman. Tapi tebal tipis bukan ukuran bahwa sebuah buku bagus atau tidak bagus. Bahkan cerita pendek yang hanya empat halaman, atau satu halaman saja bisa sangat menarik. 

Tapi jangan sekali-kali kau mencari Kuli di rak-rak toko buku modern. Kau pasti tak akan menemukannya. Karena Kuli hanya terselip di antara buku-buku berdebu, tertumpuk di antara buku-buku lain. Dan ketika buku itu posisi ditumpuk, kau pun sulit mengenalinya karena di punggungnya tak ada tulisan apapun. Polos. 

IV

Halaman delapan menjadi pembatas antara Ruki yang dulu dengan Ruki yang akan datang. Semua adalah pemberian Tuhan. Nasib. Begitulah kelak Ruki memahami semua apa yang terjadi. Pada halaman 12, kehidupan Ruki seakan hendak berubah lebih baik. Tapi apa yang terjadi selanjutnya adalah sebaliknya.

Halaman selanjutnya hingga halaman 115 adalah kesengsaraan….

Ruki meninggalkan desanya naik kereta api. Dalam hidupnya baru kali itu ia merasakan naik besi besar yang bisa berjalan sambil menjerit-jerit. Ruki juga naik kapal menyeberangi selat Sunda menuju hutan Sumatra. Kemana mereka dibawa? Untuk apa naik kapal? Ruki terpisah dari Karimun dan Sidin. Ruki ingat neneknya di rumah yang ditinggal sendirian. Oh…
Di kapal, orang Betawi sudah tidak ada digantikan dengan orang-orang berwajah bengis. Ruki beberapa kali ditampar dan dipukul hanya gara-gara mempertahankan pendapatnya. Sejak saat itu Ruki tak berani menentang. Ia ingat kerbaunya. Ia ingat neneknya. Hidupnya yang damai telah ditukar menjadi orang kapal. 

Orang-orang kapal lalu dibawa menggunakan gerbong kereta api masuk ke hutan belantara. Di sana ada banyak orang-orang yang lebih dulu menyandang sebagai kuli kontrak. Mereka sudah setahun, dua tahun, tiga tahun, dan ada yang sudah 10 tahun. Ruki memulai hidupnya yang baru, bekerja dan bekerja untuk orang asing. Di desa ia bekerja untuk dirinya sendiri. Ruki merindukan neneknya.

Sebagai kuli kontrak membuka lahan perkebunan, Ruki harus bekerja 14 hari dan sehari istirahat. Kerja pagi dimulai dari suara kentongan. Tidak ada kelelahan, tidak ada keluh kesah. Hidup mereka sudah dibeli. Apa mau dikata. Mereka hanya tahu, Tuhan menghendaki. Mereka pun pasrah. 

Kehidupan kuli kontrak telah membentuk tatanan sosial baru yang berlaku hanya untuk para kuli kontrak. Tak ada ikatan suami istri, karena yang ada hanya persetubuhan dengan imbalan. Bagi laki-laki siapa membayar, dia mendapat perempuan. Sedang kuli kontrak perempuan berlaku siapa menjual diri dia mendapat uang. Semua berjalan apa adanya. Dan ketika waktu gajian, hiburan malam dibuka. Para kuli kontrak dibiarkan berjudi. Karena dengan demikian uangnya akan habis dan pasti akan memperpanjang kontrak lagi: 18 bulan. Tidak akan balik ke Jawa.

Ruki pun demikian. Ia membeli perempuan, berjudi, perempuan, berjudi dan begitu saja. Tentu semua dilakukan dalam waktu singkat karena waktu panjang sudah dijualnya untuk bekerja mencangkul ladang. Ruki berkenalan dengan Kromorejo, kuli kontrak yang lebih dulu bekerja. Dia berasal dari Bojonegoro. Lho Bojonegoro? Ya, Kromorejo berasal dari Bojonegoro. (Ssst….itu nama daerahku,yang sekarang juga banyak kuli-kuli)

Sepuluh tahun, dua puluh tahun, dan entah sudah berapa puluh tahun Ruki menjadi kuli kontrak. Keinginannya untuk pulang ke Jawa sudah pupus. Ia malu jika pulang ke Jawa dalam kondisi miskin. Apalagi usianya sudah tua. Orang-orang memanggilnya Pak Ruki. Ia mendapat perempuan untuk dijadikan istri bernama Wiryo. Wiryo sebelumnya istri Sentono, kawannya sesama kuli kontrak. Sentono pulang ke Jawa sehingga Wiryo, oleh mandor, diperbolehkan diambil Ruki. Mereka lalu tinggal serumah. Begitulah mereka mengatur hubungan suami istri.

Hingga para suatu hari, ketika Ruki dan Wiryo begitu tua mereka hendak pulang ke Jawa. Barang-barangnya dijual ke pasar agar pulang ke Jawa cukup membawa uang, bukan barang-barang. Dan terkumpullah uang yang cukup untuk beli sepetak tanah dan seekor kerbau di kampung. Tapi malam hari sebelum pulang ke Jawa, pasar malam begitu ramai. Arena judi dibuka besar-besaran. Ruki tak bisa tidur.

Lalu ia menyelinap keluar rumah membawa uang. Awalnya ia hanya ingin membeli oleh-oleh, tapi melihat meja judi hasratnya berjudi timbul. Ia lalu berjudi seperti orang kesetanan. Uangnya habis dan bajunya juga habis. Ia berjalan pulang dalam keheningan yang benar-benar hening. Wiryo, istrinya, berteriak histeris ketika tahu uangnya habis di meja judi. Meksi pada akhirnya Wiryo hanya pasrah dan meminta suaminya tidur.

Pagi harinya Ruki datang ke Tuan Besar. Ia bukan hendak berpamitan karena hendak berangkat ke Jawa, melainkan Ruki datang untuk meneken surat kontrak lagi sebagai kuli kontrak. Itu artinya ia akan bekerja 18 bulan lagi. Padahal, Ruki tak tahu lagi kapan usianya akan berakhir. Ia sudah terlalu tua. 

Dan itulah halaman akhir…

V

Kuli telah memaksaku menengok jauh ke belakang. Jauh ketika negeri ini belum merdeka. Merdeka? Kapan negeri ini merdeka? Sejarah mencatat pada 17 Agustus 1945 negeri ini merdeka. Tidak ada lagi kuli kontrak sebagaimana dalam Kuli. Ada persamaan hak yang diberi nama hak azazi manusia (HAM). 

Beberapa catatan sejarah menyebut gelombang kuli kontrak dari Jawa ke Deli-Sumatera sangat besar. Ini menyusul aturan beberapa negara yang melarang warganya dibawa ke Sumatera. Seperti China dan Inggris yang membuat persyaratan khusus untuk warganya yang hendak dibawa ke Sumatera. Alhasil, orang Jawa yang dikerahkan setelah dibujuk terlebih dahulu. Tercatat pada tahun 1905, ada 33.961 orang kuli kontrak Jawa. Sebanyak 6.290 orang adalah perempuan.

Para kuli tetap manusia, namun telah kehilangan kemanusiaannya. Kemanusiaan direnggut oleh keserakahan yang tak terkira. Manusia yang pekerja hanya dilihat sebagai alat reproduksi. Karl Marx? Ya, mungkin begitulah apa yang digambarkan oleh Marx dalam struktur dan suprastruktur. Pola produksi telah memengaruhi kesadaran manusia. Persis ketika melihat kehidupan para kuli yang “berbeda” dengan kehidupan masyarakat bebas. Mereka mengetahui bahwa dirinya telah terbeli, namun tak mampu keluar dari lingkaran itu. 

Ah…waktu memang bergerak begitu cepat. Ketika aku membaca Kuli, waktu seakan berputar balik. Dan pada saat buku kututup, waktu seperti melompat lagi ke masa sekarang. Aku bukan Ruki, tapi aku seperti mengenal Ruki. Aku bukan Kromorejo, tapi aku seperti merasakan Kromorejo yang harus diamputasi gara-gara sakit yang tak dirasa. 

Dan sekarang, aku duduk diam…
Aku hanya pembaca yang terlambat datang…


Bojonegoro, 12 Maret 2013
Terimakasih untuk buku-buku yang menemani...

Senin, 04 Maret 2013

Bersama Oeroeg

Catatan pendek (capen) setelah membaca buku Oeroeg karya Hella S. Haasse

Oleh Nanang Fahrudin

Pertama, aku menyukai gambar sampulnya: dua bocah berdiri di tengah rintik hujan, tangan kanan sama-sama memegang “payung”.  Gambar itu sangat menarik mataku karena dua bocah hadir berbeda. Yang satu bersepatu, berkaos dan memegang payung buatan pabrik. Sedang bocah satunya memegang daun pisang sebagai ganti payung, bertelanjang dada dan bertelanjang kaki. Kontras.

Ya, gambar sederhana tapi penuh makna itu ada di sampul buku yang baru saja selesai kubaca. Buku itu berjudul Oeroeg karya Hella S. Haasse. Penulisnya orang Belanda, yang sesuai keterangan di buku, telah banyak mendapatkan penghargaan atas karya-karyanya. Oeroeg adalah pribumi, sedang tokoh aku adalah bocah Belanda yang lahir di Hindia Belanda. Mungkin dua bocah itulah yang hendak digambarkan di sampul buku tersebut.

Buku ini selesai kubaca di sebuah sore yang diselimuti mendung hitam. Deru kendaraan menubruk pendengaranku. Secangkir kopi panas dicampur jahe membuat kisah dalam buku itu semakin hidup dan seakan bercerita kepadaku, seperti seorang kawan. Akrab sekali. “Aku berkisah tentang dua manusia yang berbeda. Setidaknya dianggap berbeda. Pribumi dan non pribumi,” begitu buku itu berkisah tentang dirinya. Maaf, tentu aku sedang mendramatisasi.

Oeroeg dan “aku” lahir  dalam waktu yang hampir bersamaan di daerah Pegunungan Priangan pada masa pra kemerdekaan. Masa-masa kecil sungguh menyenangkan; bermain bersama. Masa-masa itu tak kan terlupakan bagi “aku”, bahkan ketika dunia memaksa mereka harus berbeda. “Aku” adalah anak Administratur Kebon Jati, seorang Belanda. Sedang Oeroeg anak Deppoh, mandor Kebon Jati sekaligus jongos Administratur.  Masa kecil adalah masa-masa indah, ketika mereka dilihat sebagai bocah yang belum mengerti apa-apa.

Tapi, saat beranjak usia sekolah, “aku” dipaksa menjauhi Oeroeg oleh orang tuanya. Karena Oeroeg adalah orang yang “berbeda”. Dia pribumi yang tentu saja lebih rendah. Sedang “aku” adalah manusia yang tinggi. Hingga akhirnya keduanya bisa sekolah, meski dengan perlakuan berbeda. Cerita semakin mendebarkan ketika Oeroeg menjadi siswa kedokteran dan aktif di perkumpulan-perkumpulan pemuda penentang penjajah Belanda. Sedang “aku” tetap orang Belanda yang tak begitu peduli dengan urusan politik. “aku” hanya ingin dia dengan Oeroeg sebagai sesama manusia, sama-sama memiliki masa kecil yang indah.

Oeroeg berpakaian perlente, memakai peci, menyukai Amerika, tidak mau direndahkan hanya karena dia pribumi. Dia nasionalis, memperjuangkan kemerdekaan. Tapi sayang, setelah merdeka sedikit cerita tentang Oeroeg. Ia seperti hilang begitu saja. Kecuali saat “aku” mendatangi Kebon Jati, “aku” bertemu Oeroeg dengan kondisi yang mengenaskan; kulit hitam, kurus, pakaian compang-camping, menggenggam revolver dan menodongkannya ke “aku” seakan sudah tak mengenali “aku” lagi. Oeroeg sudah tak mau lagi kenal dengan “aku”. Padahal “aku” terlanjur  menyukai Jawa, menyukai negeri yang telah berubah nama menjadi Indonesia.

Ah, sudahlah. Buku ini memang hanya berkisah tentang “aku” dan Oeroeg. Cerita yang sederhana. Tapi aku, sebagai pembaca, begitu menyukainya. Dan sebagaimana ketika membaca buku, setumpuk dunia tiba-tiba hadir dalam diriku. Ketika sampai pada kisah Oeroeg bergaul dengan pemuda-pemuda meneriakkan nasionalisme, pikiranku tertuju pada sosok Soekarno. Dalam buku Soekarno Penjambung Lidah Rakjat, Bung Karno bercerita dia sangat marah ketika dianggap tak bisa main sepak bola hanya karena pribumi. Bung Karno juga suka berpakaian perlente, memakai peci, bersepatu dan menyukai film-film Holywood. Tapi apakah Oeroeg sama dengan Soekarno? Aku tidak tahu. Itu hanya pikiranku saja yang berusaha mengkonkritkan gambaran Oeroeg di penggalan sejarah bangsa ini.

***

Menyelesaikan membaca Oeroeg begitu menyenangkan bagiku. Buku-buku lain serupa sungai yang hanya kuarungi separuh saja, dan aku harus keluar sungai dengan berbagai alas an. Oeroeg seperti sebuah permohonan maaf pada sungai-sungai yang belum kusentuh pucuk hilirnya. Dan akhirnya, aku tahu bahwa membaca adalah sebuah kerja keras, seperti sedang mengarungi sungai dan hendak menemukan hilirnya.

Hassee juga membuatku rindu karya-karya penulis masa ketika Indonesia masih bernama Hindia Belanda yang ditulis oleh penulis Belanda. Dan bolehlah aku kini memegang buku Kuli karya Madelon Hermine Szekely-Lulofs terbitan Grafiti 1985.

Bojonegoro, 5 Maret  2013
Bersama pagi berkabut di kampung damai

Minggu, 06 Januari 2013

Membaca dan Saling Membaca

Oleh Mardi Luhung

(Pengantar pada "Buku yang Membaca Buku" karya Nanang Fahrudin)

I

"Sebenarnya aku bukan pembaca sajak atau puisi yang baik. Apalagi sampai harus membuat catatannya segala. Bahkan aku juga tak begitu mengerti apa beda sajak, puisi dan syair. Di mataku semua mirip. Meski aku tahu dalam ilmu sastra ketiganya punya makna berbeda."
Kutipan di atas berasal dari salah-satu tulisan Nanang Fahrudin. Judulnya: Melawan Modernitas (Catatan buku sajak Afrika yang Resah). Dan itu adalah kutipan, yang jika boleh saya sebut, sebagai kejujuran si penulis (Nanang Fahrudin/NF) ketika melakukan pembacaan pada sekian buku. Dan hasil pembacaan itu kini menjadi buku dan sedang berada di tangan Pembaca sekalian.

II

Memang, jika kita mau jujur, banyak di antara kita yang suka membaca buku. Apakah itu buku serius, setengah serius, sastra, resep masakan atau cuma komik. Tapi sayangnya, pembacaan itu kerap cuma menjadi pembacaan belaka. Sehingga, setelah selesai diomongkan dengan teman dekat, lalu besoknya pun menguap. Tinggal detilnya saja. Tapi, hal di atas akan berbeda, jika pembaca itu mau/hendak/ingin/sigap menjadikan hasil bacaannya itu dalam catatan-catatan. Dan dengan catatan-catatan itulah, maka semua gerak hasil pembacaan tetap terekam dan terpelihara. Dan NF melakukan itu.

Dan NF pun menjadikan catatan-catatan hasil pembacaannya itu sebuah buku tersendiri. Sebuah buku yang diberinya tema (jika tak salah): "Buku yang Membaca Buku". Sebuah tema yang mungkin cukup menarik. Sebab di dalam tema itu, kita dapat mendengar sekian suara dan desahan dari dua hal yang saling bersahutan. Bahkan kadang saling menolak dan melepas. Dua hal yang diwakili si buku yang bersemuka dengan NF, sebagai si pembacanya.

III

Lalu, kini apa perlunya buku yang bertema semacam ini bagi kita? Apa tak sebaiknya kita langsung saja membaca buku yang dibaca NF? Tentu saja untuk masalah perlu atau tidak, itu selalu saja dapat dijawab dengan kata: "Perlu". Sebab, lewat buku yang semacam ini (yang di dalamnya berisi hasil pembacaan), kita akan mendapatkan sebuah gambaran dari sebuah pemikiran yang mungkin berbeda dengan pemikiran kita sendiri. Dan lewat perbedaan pemikiran itulah, kita akan memasuki dunia yang saling membaca.

Dunia, di mana, antara aku yang satu dengan aku yang lainnya, bukanlah berdiri dalam situasi yang bertingkat. Melainkan sejajar. Dan saling melambai, meningkap, melepas terus memeluk. Sambil berbisik: "Aku membacamu, kau membacaku, dan kita membaca dia, juga mereka, juga merekanya mereka. Dan itu membuat kita tahu, jika kita memang bukanlah hal yang sama, seragam dan hitam-putih..." Tapi sebaliknya. Saling memiliki keunikan. Dan tak segan-segan untuk berkesimpulan seperti ujran NF di dalam "Kisah Orang Terkutuk (Catatan Pendek buku Keluarga Pascual Duarte)" ini:


... Semua karya sastra tersebut seperti sebuah kotbah. Menunjukkan pembaca yang “baik” dan yang “buruk”. Pembaca seakan diajak bertamasya dengan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah seharusnya dijunjung tinggi oleh manusia itu sendiri. Pembaca diajak berdialog dengan tokoh-tokoh dalam setiap karya sastra. Berdialog dengan nilai-nilai yang dibawa pengarang. Ending nya seperti apa, itu tergantung dengan akhir dialog dan pemaknaan kita terhadap karya sastra tersebut.

Nah, bagaimana kalau anda tiba-tiba dihadapkan pada sebuah karya sastra yang nyaris tak ada nilai-nilai kemanusiaan yang luhur di dalamnya. Jika biasanya karya sastra memalingkan diri dari kejahatan, keegoisan, kriminalitas, dan segala sesuatu yang buruk, maka karya sastra itu malah memeluknya erat-erat. Bagaimana rasanya?. Mungkin itulah yang saya rasakan saat membaca novel “Keluarga Pascual Duarte” karya Camilo Jose Cela, seorang sastrawan besar dari Spanyol...” Sebuah catatan pembacaan yang mungkin begitu berbeda.
(Gresik, 2012)

Mardi Luhung adalah penyair nasional. Buku kumpulan puisinya berjudul Buwun memenangi Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2010
 
© Copyright 2035 godongpring