Selasa, 21 Februari 2017

Jalan Berliku Menerbitkan Buku (Bagian Ketiga)

Oleh: Nanang Fahrudin

Saya bukan satu-satunya orang yang menerbitkan buku di Bojonegoro. Orang-orang sebelum saya, terutama para penulis berbahasa Jawa sudah lama menerbitkan buku, mungkin saat saya baru mengenal huruf mereka sudah menerbitkan buku. Diantaranya JFX Hoery, Djajus Pete, Nono Warnono, Yonathan Rahardjo dan penulis-penulis lain.

Tapi izinkan saya berbagi kisah tentang bagaimana pergulatan saya menelorkan buku. Saya bukan hendak membesarkan diri, namun sekadar berbagi. Semoga ada bagian kecil dari tulisan ini yang bisa memberi inspirasi pembaca untuk menerbitkan buku. Yakni ketika Bojonegoro membutuhkan penulis-penulis untuk berbagai tujuan kemajuan ke depan.

Kemajuan teknologi mempermudah penerbitan buku. Yakni dengan percetakan print on demand (PoD). Sistem PoD belum banyak dikenal di Bojonegoro. Masyarakat literasi di Kota Ledre kenalnya dengan sistem percetakan offset yang mencetak dengan jumlah minimal 500-1.000 eksemplar. Artinya sistem offset mengharuskan penulis berkantong tebal jika hendak menerbitkan karyanya. Memang ada cara mudah, yakni mengirim naskah ke penerbit, tapi tak semua karya bisa masuk ke percetakan penerbit besar.

Menerbitkan buku dengan jumlah sedikit (minimal 1 eksemplar) baru saya kenal ketika hendak menerbitkan buku untuk hadiah ulang tahun istriku. Yakni tahun 2012 silam. Saya lupa informasi dari siapa, karena yang jelas saya menemukan percetakan di Surabaya. Saya mencetak 2 eksemplar buku kecil bejudul “Puisi Sederhana untuk Perempuan Tak Sederhana”. Saya sebut buku karena bentuknya memang buku. Meski sebagian orang akan menyebutnya “buku-bukuan”.

Lalu, saya menerbitkan buku lagi berjudul “Membaca untuk Bojonegoro” yang disambut hangat oleh teman-teman di Bojonegoro (hehe kepedean). Saya selalu menjelaskan kepada semua bahwa menerbitkaan buku tidaklah sulit. Asal ada naskah yang akan diterbitkan saja. Buku saya ini pun dibeli 50 eksemplar oleh mas Agus Susanto Rismanto yang waktu itu duduk di DPRD Bojonegoro.

Lalu mas Agus mempunyai ide untuk membantu penulis-penulis Bojonegoro yang kesulitan dana untuk menerbitkan buku. Saya menyambutnya dengan gembira, karena Bojonegoro memang harus dikenal lewat karya bukan hanya lewat migas dan banjirnya saja. Maka lahirlah GusRis Foundation, dan saya dipercaya memegangnya. Awalnya tiga buku diterbitkan, yakni karya Mohammad Roqib (wartawan Sindo) berjudul Cerita dari Mojodelik, karya Djajus Pete berjudul Gara-Gara Kagiri-Giri, dan karya Anas AG berjudul Catatan Kecil Sastra dan Cerita Lainnya.

Tiga buku itu kemudian di-launching di Hotel Griya Dharma Kusuma, hotel paling mewah saat itu. Meja kursi berlapis kain putih ditata dengan apik. Banyak orang datang untuk mengikuti acara peluncuran buku yang berjalan meriah itu. Empat orang duduk di depan, yakni tiga penulis dan saya sebagai moderator.

Masing-masing judul buku dicetak 100 eksemplar dengan sepenuhnya biaya ditanggung oleh mas Agus. Penulis benar-benar dihormati. Karena begitulah keinginan Mas Agus: menghormati penulis lokal. Tak hanya itu, masing-masing penulis juga mendapatkan uang Rp 3 juta sebagai penghargaan atas karyanya. Jadi penulis mendapatkan 100 eksemplar dan uang tunai. Selain itu, semua penjualan dari buku tersebut sepenuhnya milik penulis. Jika penulis setelah itu hendak menerbitkan lagi dengan penerbit lain, maka sepenuhnya hak penulis. GusRis Foundation mempersilakan.

Untuk pra cetak, sampul buku dibikin oleh Erfan Effendie. Saya bagian mengurus ISBN nya. Waktu itu ISBN diurus via email, bukan login seperti sekarang. Setelah ISBN keluar dari Perpusnas, maka buku segera masuk ke percetakan. Buku tercetak pada waktu yang mepet, sehingga saya harus mengambil sendiri ke Surabaya naik bus lanjut angkutan kota. Sampai rumah malam, dan paginya langsung saya bawa ke tempat acara.

Sukses menerbitkan tiga buku tersebut, langkah menerbitkan buku dilanjutkan. Bedanya adalah tidak ada uang tunai lagi bagi penulis. Harapannya, uang untuk penulis bisa dibuat untuk menerbitkan buku-buku lainnya karya penulis Bojonegoro. Hasilnya, total ada 10 judul buku yang akhirnya bisa diterbitkan oleh GusRis Foundation. Salah satunya adalah buku karya Yonathan Rahardjo berupa novel bahasa Jawa.



Waktu terus berjalan. Ada banyak perubahan terjadi. Tak terkecuali perubahan di diri GusRis Foundation. Setelah 10 buku terbit, kemudian mandek. Tapi semangat menerbitkan buku tak pernah padam. Terus menggelora. Karena menerbitkan buku adalah kebahagiaan yang tak terkira. Kau tak akan bisa merasakan bagaimana bahagianya bisa membantu menerbitkan buku atau menerbitkan buku kita sendiri.

Buku yang kemudian saya terbitkan adalah kumpulan tulisan saya sendiri, yakni buku “Lampu Merah Cap Indonesia”. Buku itu kumpulan tulisan saya sejak menjadi redaktur Koran Sindo hingga editor di blokBojonegoro. Layout saya biayai sendiri, saya sunting sendiri, saya urus ISBN sendiri, dan saya bawa ke percetakan sendiri juga. Saya yakin begitulah dunia buku berjalan di daerah. Apalagi penulis-penulis di daerah tidak banyak dikenal masyarakat pembaca buku. Saya misalnya, bukan siapa-siapa. Tulisan saya mentok muncul di Jawa Pos berupa resensi buku.

Lama vakum tak menerbitkan buku, rasanya kok bagaimana gitu. Hendak menerbitkan buku orang lain, jelas tak ada modal. Kebanyakan penulis di Bojonegoro berharap bukunya diterbitkan oleh penerbit besar, mungkin lebih keren. Tapi itu wajar sih. Meski penerbit besar hanya menang di distribusi saja.

Setelah itu banyak muncul buku yang diterbitkan oleh penulis Bojonegoro dengan sistem cetak PoD. Pak Susanto, guru SMAN 3 Bojonegoro membuat penerbitan sendiri dan beberapa kali menerbitkan buku karya siswanya. Bu Emi dari SMPN 1 Baureno juga banyak menerbitkan buku karya siswa. Buku menjadi lebih hidup oleh penerbit-penerbit lokal. Prawoto, seorang guru pelosok di Kecamatan Gondang juga beberapa kali menerbitkan buku penulis lokal Bojonegoro.

Saya pun demikian, berusaha terus menyemarakkan dunia buku Bojonegoro. Maka lahirlah penerbit Nun Buku yang saya gawangi bersama Mohamad Tohir. Lantaran tanpa modal, maka buku yang diterbitkan lagi-lagi kumpulan tulisan saya. Ada dua buku yang sudah terbit yakni “Orang Bojonegoro Berdarah Bugis? Dan Esai-esai lainnya”. Sedang buku satunya saya tulis bersama Ahmad Yakub wartawan Media Indonesia. Buku itu berjudul “Angin Jenogoro; Dari Kerajinan Kayu Jati Hingga Kesenian Langen Tayub”.

Sungguh, sebuah kebahagiaan bisa menerbitkan buku. Dan setelah ini entah apa lagi yang harus saya lakukan untuk tetap setia dengan buku.(bersambung)

Teks Foto: 

1. Tiga dari 10 buku yang diterbitkan GusRis Foundation        
2. Buku novel Wayang Urip karya Yonathan Rahardjo

Rabu, 15 Februari 2017

Menelusuri Lapak-lapak Buku Tua (Bagian Kedua)

Oleh: Nanang Fahrudin

Tuhan Maha Baik. Saya selalu bersyukur bisa dipertemukan dengan buku. Perjalanan hidup tak bisa ditebak. Terkadang kita ingin sekali dekat dengan sesuatu, tapi oleh Tuhan malah dijauhkan. Tapi sebaliknya, kita kadang tak ingin dekat dengannya, malah didekatkan kepada kita. Begitulah. Tapi saya benar-benar bersyukur. Buku menjadi sesuatu yang selalu hadir. Benar-benar menjadi pelepas, menjadi objek wisata, menjadi kawan. Padahal, di masa kecil saya, buku hanyalah impian belaka.

Tapi kenapa harus buku-buku bekas dan tua? Saya tak bisa menjawab pasti. Mungkin karena saya menyukai segala hal yang bernuansa tempo doeloe. Saya menyukai mengumpulkan perabot rumah yang jadul-jadul. Meja jadul, kursi tua, almari tua, setrika arang, dan barang-barang lain yang mungkin usianya 100 tahun. Nah, mungkin itu kemudian juga terjadi pada buku.

Ketika menjadi redaktur koran Sindo tahun 2010 an di Jakarta, saya sering ke Pasar Senen untuk mencari buku-buku bekas murah. Lapak-lapak buku bekas saya sambangi hampir setiap hari. Berharap surprise ketika saya menemukan satu buku langka dari tumpukan buku bekas tersebut. Seingat saya, pertama kali ke Senen saya diantar oleh kawan Helmi Firdaus (almarhum), sesama jurnalis Sindo yang kemudian pindah ke CNN Indonesia dan kemudian dipanggil Tuhan lebih dulu.

Memang lapak buku bekas memiliki nilai lebih dibandingkan dengan toko buku macam Gramedia atau Togamas. Di toko buku modern, kita tinggal search di komputer untuk mencari buku yang kita cari. Tapi di lapak buku bekas, kita harus mencari sendiri buku-buku yang cocok dengan kita. Terkadang, saya sudah muter mencari, membongkar-bongkar, namun tetap saja tak mendapatkan “buku bagus”. Kecewa, tapi mau bagaimana lagi. Saya meyakini hari itu bukan rejeki saya.

Di Senen ada dua tempat lapak-lapak buku bekas. Yakni di lantai 4 gedung Atrium Senen dan di pinggir terminal Senen. Jarak antara keduanya tinggal jalan kaki saja. Ada buku-buku lawas yang saya dapatkan di dua tempat ini. Saya tak bisa menyebutkan semuanya. Namun, salah satu yang saya ingat adalah buku tertalogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Lumayan, harganya cuma Rp50.000/eks.

Di Jakarta, saya juga jadi kecanduan belanja buku online. Hampir tiap malam, selepas ngedit berita, saya berselancar mencari buku. Saya membeli di Stalinebook, Bukukita, Khatulistiwa, Bukabuku, dan entah mana lagi. Saya tak ingat semua. Siang, sering saya mencari-cari info, menelpon Solichan Arif (wartawan Sindo di Blitar) dan teman-teman lain mengobrol tentang buku-buku hits dan buku-buku langka yang berkualitas. Lalu, saya hunting buku-buku yang kami obrolkan tersebut. Hampir semua buku Iwan Simatupang dan Mochtar Lubis saya dapatkan dari berburu di lapak-lapak online tersebut.

Saya semakin sadar bahwa dunia buku sangat luas. Sangat sangat luas. Kau hendak membaca buku apa, tinggal cari. Hanya duit yang bisa membatasi kehendakmu. Kau pasti setuju kan?

Lalu, ketika pindah ke Kota Surabaya, intensitas saya berjumpa dengan buku lawas semakin tinggi. Seperti sudah menjadi jadwal rutin, saya setiap hari pergi ke Jalan Semarang dekat stasiun Pasar Turi, masuk ke Kampung Ilmu dan memesan kopi di warkop tengah. Satu persatu tumpukan buku saya sambangi, saya bongkar, lalu saya pilih-pilih. Tak butuh lama, buku-buku itu tertumpuk di kamar kos. Manfaat lain berburu buku di Surabaya adalah saya kenal hampir semua pedagang di Kampung Ilmu. Setidaknya kami saling menyapa saat berpapasan dan kalau dia punya buku baggus pasti ditawarkan.

Lantaran banyak mendapatkan buku dan dipesan teman-teman, akhirnya saya didorong seorang teman untuk sekalian berjualan buku. Saya pun membuka lapak buku bekas online tahun 2011. Saya lebih banyak menjual via blogspot: bukulawasonline.blogspot.com. Lantaran saya gaptek alias gagap teknologi, blogspot dan template dibuatkan oleh seorang sahabat Sofian J. Anom. Saya tahunya dapat pasword dan cara mengoperasikannya. Terimakasih Kang!

Seingat saya, waktu 2011 belum banyak penjual buku online yang lawasan. Dan buku-buku di Jalan Semarang Surabaya dan Kampung Ilmu Surabaya begitu banyak. Saya tiga kali mendapatkan buku Abangan, Santri dan Priyayi karya Clifford Geertz terbitan Pustaka Jaya yang hard cover. Dua diantaranya saya jual. Kalau tidak salah, saya menjual dibawah Rp100.000. Buku-buku Pramoedya Ananta Toer banyak saya dapatkan dari hunting di Surabaya.

Sekitar tahun 2013, pedagang buku online sudah cukup ramai. Saya mulai berjalan mundur, tak terlalu serius di online. Lalu membuka lapak buku offline di Bojonegoro. Lapak buku itu bernama “Kobuku”, sebuah bangunan kotak kecil ukuran sekitar 6 x 3 meter. Tapi, Kobuku tidak berumur panjang. Mungkin hanya setahun saja, lalu tutup. Mengurus Kobuku, saya sangat dibantu oleh seorang kawan, Mohamad Tohir. Meski Kobuku tutup, saya senang pernah memilikinya. Dan masih menyimpan mimpi untuk membukanya kembali.

Punya Kobuku dan berada di Bojonegoro, tak lantas membuat saya menutup toko online. Saya tetap mempertahankannya. Meski kalau soal persaingan, saya tentu kalah dengan penjual-penjual online yang tinggal di kota besar. Karena mereka lebih dekat dengan sumber buku. Kebanyakan buku berada di Surabaya, Malang, Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Sedang saya berada di Bojonegoro, 100 km dari Surabaya. Tapi, saya seperti tak mempedulikan itu. Saya tetap lanjut saja. Karena hobi saja.

Dengan uang pas-pasan, saya sering ke Lamongan, menuju lapak-lapak buku bekas di dekat kantor Samsat. Di sana, saya beberapa kali menemukan buku bagus. Diantaranya buku Menunggu Godot terbitan Bentang sebanyak 10 eksemplar. Terkadang, hanya mengantongi uang Rp 300.000, saya nekat ke Surabaya untuk mencari buku-buku lawas untuk saya jual kembali. Saya tidak tahu hitung-hitungan bisnis, karena saya hanya tahu bahwa saya menyukai buku. Itu saja.

Menulusuri lapak-lapak buku lawas di Jakarta, Lamongan, dan Surabaya sepertinya kurang lengkap jika tak ke Malang. Beruntung saya mempunyai keponakan yang mondok di Malang. Dan saat menjemput keponakan atau saat mengambil raport, saya yang akan berangkat. Saya pun selalu menyempatkan mampir di lapak-lapak buku di Jalan Wilis. Hampir semua pedagang buku bekas mempunyai karakter sama, yakni harga tak ada patokan. Ada pedagang yang melepas bukunya dengan harga murah, ada yang mematok harga selangit. Dan itu wajar di dunia buku bekas.

Guna melengkapi jalan-jalan di lapak buku bekas, saya juga ke Pusat Buku Taman Pintar. Orang-orang menyebutnya Shoping. Terlebih saat saya banyak beraktivitas di Yogyakarta akhir-akhir ini. Bangunan Shoping hampir sama dengan Pusat Buku Wilis di Malang. Yakni berupa toko-toko kecil mirip pasar modern. Kebetulan sejak Februari 2016 saya bekerja di kawasan Umbulharjo, dan lokasinya dekat dengan lokasi shoping.

Namun, dari semua tempat jualan buku bekas, sepertinya Surabaya paling berkesan. Lokasinya yang luas dan penataan mirip taman membuat saya betah berlama-lama di Kampung Ilmu. Ditambah pada waktu-waktu tertentu di pendopo ada latihan tari, membuat suasana semakin memikat. Terkadang terbersit keinginan untuk berumah di Kampung Ilmu. Alangkah indahnya. (Haha....angan-angan tak kesampaian)

Ya, buku selalu menarik untuk dikunjungi. Di manapun saya tinggal, saya selalu berusaha menemukan buku di daerah terdekat. Kalau lapak buku bekas tidak ada, toko modern macam Gramedia pun tak apa-apa. Setidaknya hal itu mengobati rasa ingin melihat buku. Seperti saat di Tangerang. Meski tak lama singgah, namun entah kenapa dorongan melihat toko buku selalu lebih besar. Saya pun ke Teras Kota dan masuk ke Gramedia. Buku berjudul Out of The Truck Box karya Iqbal Aji Daryono saya beli di mall ini.

Ah, sudah dulu. Menelusuri buku dan membincangnya tak pernah selesai. Saya menambahi sedikit saja sebagai akhir tulisan ini. Saya pernah bekerja di tengah laut jawa hampir dua tahun. Hal itu membuat saya benar-benar berhenti dari berjualan buku. Saya hanya menjadi konsumen, dan banyak membeli buku via online. Buku-buku itu menumpuk di rumah, dan sebagian tak sempat saya baca. Dan kini, ketika di Jogja, saya mencoba menata ulang berjualan buku via blogspot maupun facebook: nun buku.


Dan ini bagian paling akhir. Begini, dari semua tempat lapak buku yang saya datangi, Surabaya, Malang, Jakarta, Yogyakarta, ternyata saya tetap menyukai Surabaya. Kenapa? Tempat ngopine luwih enak. Haha. (bersambung)

Selasa, 14 Februari 2017

Aku dan Buku, Sebuah Perjumpaan Tak Selesai (Bagian Pertama)

Oleh: Nanang Fahrudin 

Sejak kapan menyukai buku? Saya bukan penulis terkenal atau orang-orang yang punya masa lalu indah di dunia buku. Saya sering mendengar seseorang berujar, bahwa dirinya mengenal cerita ini dan cerita itu saat masih SD. Atau sudah membaca buku ini dan buku itu waktu masih kecil. Saya sangat menyukai cerita-cerita macam itu.

Kenapa? Lebih disebabkan masa kecil saya jauh dari dunia buku. Tak ada tradisi membaca buku di keluarga saya. Jangankan beli buku, untuk kebutuhan makan saja keteteran. Memori saya hanya mencatat masa kecil memegang majalah Bobo, yakni ketika saya merengek meminta dibelikan majalah Bobo saat di angkutan umum sepulang dari Pasar Babat. Dan itu satu-satunya bacaan yang terbeli. Seingat saya, selain Bobo yang 1 eksemplar itu, tak pernah lagi saya dibelikan buku.

Perjumpaan dengan buku kemudian digantikan dengan tradisi membawa kitab. Di sekolah Tsanawiyah dan Aliyah di Attanwir, saya diwajibkan membacai kitab-kitab. Seperti Bulughul Marom, Nahwu, Sorof, Al-Adyan, Tafsir Jalalain, dan kitab-kitab lain. Saya menyebut kitab sekedar untuk membedakan dengan buku-buku umum. Kitab-kitab tersebut lebih banyak berbahasa Arab.

Tak hanya di sekolah, saya banyak berjumpa dengan kitab-kitab lain seperti Irsyadul Ibad dan tafsir Al-Iqlil saat mengaji di langgar Al-Misbah. Kitab-kitab itu didaras pada waktu-waktu tertentu, yakni sehabis salat Magrib, Isya, dan Subuh. Saya masih ingat pulang pergi menggunakan onthel unta kepunyaan mbah. Guru mengajinya Pak Hamim Sanadi. Entah kenapa, sampai sekarang, orang yang paling saya hormati adalah beliau.

Masa itu adalah masa-masa penuh kebahagiaan. Pagi jam 04.00, saya sudah dibangunkan oleh ibu saya. Lalu mengambil air wudlu dan berangkat ke langgar dengan sepeda onthel. Pagi selalu masih gelap, tapi semua menjadi biasa begitu saja. Di langgar, usai salat subuh akan dilanjut mengaji kitab. Lalu pulang dan bersiap berangkat sekolah. Begitulah. Kitab-kitab itu menemani keseharian saya.

Lulus sekolah, tak pernah terbersit hendak menjadi manusia yang bagaimana. Kuliah di Universitas Muhammadiyah Malang jurusan Ilmu Komunikasi bukan pilihan utama. Karena keinginan awal adalah bekerja, mendapatkan uang. Tapi Tuhan membuatkan jalan kuliah di Malang. Dan akhirnya lulus setelah 4 tahun.

Di Malang, kitab-kitab yang biasa saya baca tiba-tiba tertutup. Saya tidak tahu kenapa. Mungkin karena lingkungan saya yang hampir tak ada tradisi membaca kitab kuning. Apalagi fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, dimana saya berada tak ada hubungannya sama sekali dengan kitab kuning. Saya menjadi terasing di dunia itu. Saya yang terbiasa diminta memaknai kitab gundul dengan membedakan ini mubtada' dan ini khobar, atau ini maf'ul bih, kini dihadapkan pada buku-buku pengantar ilmu sosial, pengantar ilmu politik, dan sebagainya. Padahal, ilmu kitab-kitab itu belum ada yang tuntas saya pelajari.

Saya memohon ampun pada Tuhan. Saya yakin ini jalan Nya yang diberikan pada saya. Saya lalu mencoba mengakrabi buku-buku, dan pemikiran-pemikiran barat itu. Sesuatu yang sangat baru bagi saya. Saya membaca Dunia Shopie, novel filsafat itu sampai dua kali. Dan saya masih tak begitu paham isinya. Saya hanya mengamini bahwa dunia ini sangat luas. Bahwa bahan bacaan juga sangat banyak pilihan.

Di PMII Rayon Fisip, Universitas Muhammadiyah Malang, kami mendirikan LSE, yakni Lingkar Studi Epistemologi (bagaimana nasib LSE sekarang ya). Di sana ada Ghozi Mufarrihin, Sofian J. Anom, Wahfudi Hidayat, dan teman-teman lain. Ada yang lucu di sini, yakni kami sama-sama pembaca pemula tentang filsafat, jadi kami berlomba-lomba mencari literarur untuk diskusi. Sudah ada tema, tapi kami belum pernah baca di buku manapun.

Lalu bersama teman-teman lain lagi mendirikan Lembaga Studi Ilmu Islam dan Transformasi Sosial (elsits)- yang ini sedang mati suri dalam waktu sangat lama. Hehe. elsits menjadi lembaga yang lebih mengakrabkan kami dengan buku-buku sosial. 

Gairah membaca buku makin tinggi saat ada seorang teman (Siswanto) mendirikan Ibnu 'Araby Club. Saya pun berusaha mengikuti ritme hari-hari macam itu. Saya memaksakan diri mengikuti kegiatan-kegiatan diskusi buku atau membaca pemikiran, seperti diskusi di Kebun Teh Lawang tentang filsafat. Saya ingat ikut berkemah di antara kebun teh dengan kurikulum diskusi filsafat. Namun, dengan ikut kegiatan-kegiatan diskusi itu bukan berarti saya paham semuanya. Bukan. Saya hanya berusaha mengakrabi sedikit buku-buku tersebut.

Membaca, berdiskusi, minum kopi, merokok, membaca lagi, dan sesekali menulis (Yang jelek-jelek tidak saya tulis, hehe) menjadi keseharian. Obrolan buku menjadi keseharian. Kami (saya dan teman-teman) membangun tradisi mengobrol buku. Terkadang menemukan buku bagus di perpustakaan, lalu kami foto copy bareng. Di lain waktu, kami bedah buku per bab. Satu buku bisa berhari-hari dibedah.

Hampir semua buku yang saya baca saat kuliah adalah buku perpustakaan, atau buku pinjaman. Sangat sedikit yang saya beli. Saat kuliah, saya memang diwanti-wanti tidak membeli buku di luar kebutuhan kuliah. Maklum, orang tua bukan konglomerat atau seorang pejabat. Jika ada buku di rumah, ibu saya pasti bertanya ini kamu beli? Buku kuliah atau tidak? Ibu saya hanya tamatan MI, dan ingin anaknya lulus kuliah. Membaca dan membeli buku diluar kebutuhan kuliah dilihatnya mengganggu perkuliahan.

Jalan-jalan paling menyenangkan adalah ketika ke blok M dan menyambangi buku-buku bekas di lapak-lapak kecil. Lalu tawar menawar harga. Juga jalan ke lapak buku Sriwijaya, seingat saya ada di depan stasiun Malang agak kesamping, tepat di depan kantor Malang Post. Di situ banyak sekali buku-buku tua yang dijual murah.

Di akhir masa kuliah, saya sering meresensi buku dan dimuat di Malang Post. Dari kampus dapat uang Rp 50.000/tulisan. Namun saya jarang membeli buku. Karena buku yang saya resensi, kebanyakan buku kepunyaan teman. Tujuan saya hanya satu: dapat uang. Karena orang tua sudah jarang mengirimi uang. Sebagian tulisan saya di Malang Post masih tersimpan di sebuah map, berkumpul dengan klipingan-klipingan lain.


Selain memaksakan diri menulis resensi dan artikel, saya juga membantu teman yang punya rental komputer yang berada di belakang kampus UMM. Saya menjadi “buruh ketik” saat ada mahasiswa yang merentalkan ketikan tugas kuliah atau skripsi. Saya akan dapat fee dari pekerjaan itu. Seringkali saya mengerjakan hingga menjelang pagi lantaran kejar setoran. Masa-masa itu, praktis saya tak pernah membeli buku. Namun hanya meminjam saja. (bersambung)

Senin, 23 Januari 2017

Menjual, Menumpuk, dan Membaca

Oleh: Nanang Fahrudin

Buku-buku itu tertata tak rapi di empat lemari beda ukuran dan bentuk. Semua lemari berpintu dan berkaca. Karena memang sejak awal lemari itu dibikin bukan bukan untuk menyimpan buku. Lemari pertama awalnya untuk menyimpan barang-barang pajangan. Saya memesan pada seorang tetangga yang biasa mengolah kayu. Lantaran tak ada barang yang bisa dipajang di ruang tamu, akhirnya buku saya masukkan ke sana. Jadilah deretan buku dua saf. Tidak rapi tentunya. 

Lemari kedua adalah lemari jadul yang dulu adalah lemari pakaian. Lantaran tak dipakai, akhirnya lemari itu saya plitur ulang dan diganti kaca depan. Buku-buku pun masuk kesana. Dan lagi-lagi buku tak bisa rapi. Paling atas saya paki menyimpan klipingan koran. Yang ketiga adalah lemari dari membeli ke tetangga. Lemari itu awalnya di gudang rumah jogjlo yang isinya satu persatu dijual. Saya membeli dua barang. Lemari dan sketsel bergambar Pangeran Diponegoro. Lemari itulah yang kemudian menampung buku-buku saya. 

Lemari keempat saya peroleh dari gudang. Dulu lemari di dapur untuk menyimpan cobek, piring, dan lainnya. Lemari rongsokan itu kemudian saya perbaiki dengan dicat dan diganti kaca. Jadilah seperti baru. Sekarang lemari itu menampung buku-buku saya campur denga buku sekolah dua anak saya. Begitulah informasi tak penting ini saya sampaikan dengan singkat.

Lalu, darimana saya mendapat buku-buku itu?

Saya awalnya bukan pembaca yang baik. Sampai sekarang pun saya merasa bukan pembaca yang baik. Keluarga saya tak ada yang benar-benar menyukai membaca. Kalau sekadar membaca, semua orang pasti membaca. Waktu kecil, saya hampir menangis hanya gara-gara minta dibelikan majalah Bobo, yang akhirnya dibelikan juga. Dan seingat saya, itu adalah satu-satunya majalah yang terbeli oleh ibu saya. 

Kuliah di Malang tahun 1997-2002, lalu berteman dengan teman-teman PMII, memaksa saya membaca. Lalu, dimulailah “petualangan” mencari buku. Ke perpustakaan kampus atau ke Blok M (sebelum digusur), dan ke Jalan Sriwijaya depan kantor Malang Post.  Di lapak-lapak kecil di Sriwijaya, saya membeli beberapa buku bekas, diantaranya setumpuk majalah Horison lawas yang harganya 1.000 an. Saya juga sering menyambangi toko-toko buku kecil di sekitar kampus Unisma ataupun STAIN waktu itu.

Melompat ke tahun 2010, ketika di Jakarta, saya sering jalan ke Jalan Kwitang yang sudah digusur dan menyisakan beberapa pedagang. Juga ke Pasa Senen di lantai 4 yang berderet-deret penjual buku bekas. Di setiap lapak selalu ada kursi kecil untuk kita bisa duduk dan berlama-lama memilih buku. Lain waktu saya ke lapak-lapak buku bekas yang menempel di terminal Pasar Senen.  Satu-persatu buku kubawa pulang.

Tahun 2011-2013 adalah tahun yang menyenangkan untuk berburu buku. Saya berada di Surabaya dan tiap hari blusukan di Jalan Semarang. Kampung Ilmu sudah seperti “kantor” kedua. Warung kopi di tengah-tengah deretan lapak adalah langganan menghabiskan waktu siang sebelum ngantor. Pada tahun-tahun itulah saya nyambi buka lapak online buku bekas. Meski ternyata lebih banyak yang saya masukkan ke lemari sendiri.

Buku-buku Pramoedya Ananta Toer seperti Arus Balik, Gadis Pantai, Tetralogi Buru, Hoa Kiau di Indonesia, Cerita dari Blora, dan buku-buku Pram lain saya kumpulkan dari lapak-lapak di Surabaya ini. Buku lain semacam Abangan, Santri, Priyayi karya Clifford Geertz saya simpan satu dan beberapa eksemplar saya jual. 

Waktu mengumpulkan buku-buku itu, kemudian sebagian saya jual, saya tak berpikir bahwa buku-buku itu di kemudian hari akan sulit diperoleh. Beruntung saya menyimpan beberapa dan tidak menjualnya. Seperti buku Kitab Lupa dan Gelak Tawa terbitan Bentang, buku-buku karya Emha Ainun Nadjib, dan buku-buku sastra terbitan Pustaka Jaya. Juga buku cerita anak seperti Komponis Ketjil karya Susilo Toer yang kemudian hari dicetak ulang. Saya menyimpannya dan kini merasa beruntung.

Kini, pedagang online sangat banyak. Pemburu buku-buku lama terus bermunculan. Dan sejak awal tahun 2016, saya tinggal di Jogja yang konon menjadi gudangnya buku lawas. Sayang, saya tak banyak waktu lagi untuk berburu sebagaimana yang saya lakukan sebelumnya. Saya kini hanya mencari buku ala kadarnya saja dan mencoba mengerem langkah.  Keyakinan saya masih tetap sama bahwa buku akan berjodoh dengan pemiliknya. Begitulah.

Sedikit-sedikit saya masih kangen untuk menjual buku dan itu tetap saya lunasi. Berburu buku juga tetap saya lakukan dengan langkah diperpendek. Dan mengumpulkan buku menjadi hiburan yang menyenangkan di tengah dunia yang bising oleh kebencian dan tindakan-tindakan intoleransi. Di tengah budaya sweeping buku, dan sebagainya.  Apa ada lagi hiburan seorang penyuka buku, selain memburunya, menumpuknya, membacanya, dan menciumnya. 

Melihat tumpukan buku selalu menghadirkan obsesi besar saya tentang buku. Angan-angan meninggi dan setumpuk harap bertunas setiap waktu setelah memegangi buku. Saya mengangankan punya penerbit di tempat kelahiran saya, Bojonegoro, yang selalu tak dilirik oleh pecinta buku. Saya harus membuktikan bahwa Bojonegoro juga kaya buku. Begitulah angan, begitulah harap, yang harus dilunasi.

Duh, banyak sekali yang hendak saya tulis. Tapi saya sudahi saja.  Selamat berburu buku, menumpuknya, membacanya, dan menciumnya. 

Jogja, 16 Januari 2017


Senin, 16 Januari 2017

Tragedi Hidup Leany dan George

Oleh: Nanang Fahrudin

Catatan Pendek Membaca Buku “Of Mice and Men” karya John Steinbeck

Kita akan bertemu Leany. Kita juga akan bertemu George. Dimana? Tentu di sekitar kita. Kita akan bertemu dengan kecerdasan, kebodohan, rasa takut, kemarahan, merasa sangat hina, dan juga bertemu dengan mimpi yang indah. Ya. Bukankah dunia ini adalah jalan yang selalu terbuka akan banyak kemungkinan?

Ah, jangan bingung. Maaf jika saya membingungkan anda. Siapa Leany dan George? Dua orang ini adalah tokoh fiksi dalam novel Of Mice and Men John Steinbeck.  Steinbeck begitu mahir membangun kisah yang satir, tragis, dan sesekali penuh kelucuan. Leany dan George adalah sebuah tragedi kehidupan.

Begini kisah singkatnya (dipadu dengan imajinasi saya). Leany dan George adalah dua laki-laki pekerja kasar di sebuah peternaakan di Amerika tahun 1900 an. (Steinbeck tak menyebut tahun, tapi biarlah tahun itu yang menjadi bayangan saya). Mereka adalah kaum miskin Amerika yang hidup dengan cara menjual tenaga dari satu peternakan ke peternakan lainnya. Mereka melarikan diri dari sebuah peternakan  di Weed karena Leany melakukan kesalahan. George adalah teman baik dan selalu melindunginya.

Leany adalah laki-laki berbadan besar tapi otaknya kosong. Bahkan, ia selalu lupa apa yang dikatakan George atau siapapun. Tenaganya kuat seperti banteng. George selalu meyakinkan siapapun bahwa Leany tidak gila, melainkan hanya bodoh. Tapi dia bisa diperintah untuk mengangkat beban berat, jadi cocok untuk pekerja kasar.

Sedang George adalah laki-laki kecil, lincah dan cerdik. Panjang akal. Dia sudah lama bersama dengan Leany dan selalu melindunginya. Seringkali ia memarahi Leany karena perilaku-perilakunya yang aneh. Diantaranya kesukaan Leany mengantongi tikus mati dan mengelus-elusnya. George ingin bekerja, mengumpulkan uang, lalu membeli sebidang tanah dan rumah. Ia ingin hidup tenteram dengan hak milik.

Setelah melarikan diri dari peternakan Weed, mereka diterima bekerja di sebuah peternakan lain. Ada banyak pekerja di sana. Sebagaimana kehidupan masyarakat miskin, mereka tinggal di kamar-kamar khusus pekerja. George selalu mengkhawatirkan Leany, sehingga siapapun yang bertanya ke Leany, George lah yang menjawab. George tak ingin Leany menemui masalah dengan kebodohannya.

Mereka kemudian membangun mimpi bersama. George selalu diminta untuk mengatakan mimpi itu berulang-ulang. Itulah kesenangan Leany: mendengar mimpi-mimpi diucapkan. “Kita akan membangun rumah kecil, ada kebun buah, kelinci-kelinci kecil yang lucu,” kata George. “Lanjutkan ceritanya George. Aku mohon George,” kata Leany. Ya, Leany akan sangat bahagia saat George selalu mengulang mimpi-mimpi itu, seakan mimpi itulah kehidupan nyatanya yang patut disyukuri.

Hingga pada malam, semua pekerja keluar untuk bersenang-senang. Leany tinggal sendiri di lumbung besar penuh jerami. Ia mengelus-elus anak anjing yang sudah mati. Secara tak sengaja, Leany telah membunuh anak anjing itu. Karena tenaganya yang besar, meski ia bermaksud mengelus-elus, tapi tangannya bisa mencekik atau melukai. Begitulah.

Lalu datang istri Curley mendekat dan menggodanya. Curley adalah anak bos peternakan. Sedang istrinya dikenal sebagai perempuan nakal, suka keluyuran ke kamar-kamar pekerja. Dan sekarang, ia datang ke Leany untuk sekadar ngobrol. Tapi Leany menolaknya. “George melarangku berbicara denganmu,,” kata Leany yang diulang-ulang terus.

Tapi istri Curley terus bercerita dan mendekat. Puncaknya adalah tangan Leany diminta membelai rambut perempuan itu. Leany yang memang menyukai sesuatu yang lembut, tak menolaknya. Ia terus membelai. Tapi lama kelamaan belaian itu seperti cengkeraman, dan perempuan itu menyingkirkan tangan Leany. Tangan Leany menyangkut rambut, dan perempuan itu terus berteriak. Leany panik dan memintanya tidak berteriak. Dia sangat takut kalau George mendengar dan akan marah, dan dia dilarang mengelus-ngelus kelinci.

Perempuan itu makin teriak dan takut, sedang Leany makin takut dan bingung. Cengkeraman makin kuat. Dan tangan Leany membekap mulut perempuan itu hanya bermaksud agar dia tidak berteriak dan didengan George. Sampai akhirnya perempuan itu tak bergerak dengan leher terpelintir hampir putus. Peternakan gempar, Leany melarikan diri.

Kisah ini ditutup dengan sebuah tragedi. Leany yang mengalami delusi, membayangkan bertemu dengan Bibi Clara, berada di rumah impian dengan kelinci-kelinci, dan terakhir bertemu dengan George yang tak memarahinya. Ia meracau di tepi sungai tempatnya bersembunyi menunggu George. Lalu, Leany rubuh bersimbah darah. Pistol masih di tangan George. Ya, George telah mengakhiri mimpi Leany. George yang bertahun-tahun melindunginya.

*** 

Ada semacam perasaan haru dan sedih setelah membaca buku ini. Selalu ada derita dalam bahagia. Selalu ada harap dalam ketidakberdayaan. Selalu ada akhir dalam sebuah permulaan. Bagaimanapun, kita sering dihimpit oleh ketidakberdayaan, namun akan selalu bisa keluar dengan jalan yang kita yakini benar.  Kisah dalam buku ini bukan sedang berkhutbah, tetapi memberi cermin bagi kehidupan kita.

Apa yang dilakukan Leany dengan aksi kekerasannya, bisa dipandang sebagai sebuah luapan ketakutan. Dia tidak pernah berniat atau dengan sengaja membunuh. Dia hanya sangat takut dan tak tahu apa yang harus dilakukan. Persis ketika kita diliputi rasa takut, lalu melakukan hal-hal yang melewati batas.

Seseorang takut dengan “yang lain” lalu melindungi diri dengan cara menerkam “yang lain”. Seseorang takut miskin di masa depan, dia akan mengumpulkan uang sebanyak mungkin dan kalau perlu korupsi. Ketakutan dan kekerasan seringkali menjadi sebab-akibat yang saling tumpang tinduh. Studi tentang ini bisa dibaca di buku Memahami Negativitas karya F. Budi Hardiman. Ketakutan bisa membawa kekerasan.

Ah, sudahlah. Silahkah anda membacanya sendiri. Salam untuk Leany dan George.

Ohya, saya membaca buku yang versi bahasa Indonesia terbitan Ufuk tahun 2006. Jadi bukan buku bahasa Inggris atau terbitan Lenter Dipantara yang terjemahan Pramoedya Ananta Toer itu. Tapi tidak apa-apa. Tetap mendebarkan.


Jogja, 17 Januari 2017 

Minggu, 15 Januari 2017

Wedang Kopi Mas Guru


Oleh: Nanang Fahrudin

“Wedang kopi panas disajikan dengan cangkir putih kembang-kembang. Jian, kenapa kok rasanya beda ya. Wedang yang begini lebih terasa nikmat dibandingkan dengan wedang yang disajikan dengan gelas bening”.

Aku mengatakan itu kepada Kang Tolib sambil jegrang di warung Mak Ni. Kang Tolib yang kuajak ngobrol malah cengar-cengir sambil tatapannya mengarah ke perempuan seksi penjual rokok. Haduh ini jelas-jelas maksiat dan melecehkan teman. Wong diajak ngobrol malah matanya kemana-mana.

“Kang!” kataku sambil neblek bahunya.

“Eh, kowe ki mengagetkan saja. Jantungku ki lemah lho,” katanya sambil membetulkan posisi pantatnya seperti orang sedang menahan kentut.

“Lha kowe ki dijak ngomong malah matanya piknik kemana-mana. Hayo apa yang kubicarakan tadi,” kataku agak marah.

“Halah, kowe ki kok mudah sekali marah to. Wong begitu saja kok marah. Mbok dadi wong itu yang sabaran dikit. Masa aku harus memperhatikan dirimu dan melewatkan perempuan tadi. Kan aneh jadinya. Haha.”

“Sekarepem wes.”

“Lho. Mbok jangan mudah marah begitu. Apa kamu sekarang sudah seperti orang-orang itu. Yang mudah marah, mengumbarnya di media sosial, merasa paling benar sendiri,” kata Kang Tolib.
Aku tidak melanjutkan obrolan itu. Dan kebetulan Mas Guru lewat. Langsung saja kusapa dan kupersilahkan ikut ngopi. Bersyukur dia berkenan. Maka jadilah kita bertiga ngopi sambil ngobrol kemari kesana.

Mas Guru adalah orang yang baik. Kami mengenalnya sebagai orang yang  tidak ngetok-ngetokno ilmunya. Rendah hati. Aku dan Kang Tolib selalu senang kalau ngopi bareng dia. Selalu ada saja ada yang menarik untuk dibicarakan, dan itu berbeda ketika aku dan Kang Tolib ngobrol.   

“Mas Guru, menurutmu kenapa orang sekarang mudah sekali marah ya. Dan perbedaan seperti sesuatu yang mengancam kehidupan kita,”  tanya Kang Tolib sambil nyomot pisang goreng anget. Di warung, makin banyak orang yang datang. Rata-rata pegawai negeri yang korupsi waktu kerja.

“Ah sampean terlalu banyak melihat dunia dari media sosial saja. Saya juga tidak tahu, media sosial dipenuhi dengan orang-orang yang marah-marah melulu. Tapi, coba lihat juga masyarakat yang berada di sawah, pasar tradisional, warung kopi begini, kan adem ayem saja. Ya sebenarnya yang mudah marah itu yang orang-orang gede itu, yang kemudian mengajak orang-orang kecil seperti kita,” katanya.

“Tapi, di medsos kan tidak semua orang gede. Banyak wong cilik juga seperti kita ini. Tapi mereka juga sering marah-marah,” kataku. Wedang kusruput lagi dikit.

“Ya, medsos macam fesbuk memang unik. Fesbuk adalah produk dari modernitas, yang seharusnya mengarahkan manusia kepada kesetaraan dan kebebasan sebagaimana watak modernitas. Tapi kenyataannya, fesbuk malah membawa orang pada kepicikan berpikir, pemutlakkan identitas, dan sangat yakin bahwa dirinya adalah paling benar. Akibatnya orang mudah tersulut emosinya, meski gara-gara kabar tak benar. Yang penting marah dulu,”

“Dan orang-orang yang marah itu seakan-akan yakin bahwa Tuhan juga marah kepada orang yang dimarahi. Sehingga, mereka meyakini telah menjadi wakil Tuhan untuk marah.  Saya ingat wejangan Gus Mus. Begini kata beliau. Bahwa kita seringkali merasa ketika kita marah, Tuhan juga sama marahnya. Jadi kita menyamakan diri kita dengan Tuhan. Padahal kita adalah ciptaannya yang sama-sama keciiiiilllll banget. Kita hanya sama-sama makhluk Tuhan”.

“Terus gimana Mas Guru?” tanya Kang Tolib.

“Apanya yang gimana,” kataku. Entah kenapa aku selalu bengkerengan kalo sama Kang Tolib. Tapi ya kami tetap cengengas cengenges gitu. Mungkin gaya persahabatan kami model begitu. Lebih asyik.

“Ya ndak gimana-gimana. Kita perlu pandai-pandai menjaga diri. Jangan ikut-ikutan marah. Tidak perlu ngeshare apa-apa di fesbuk yang berujung pada kebencian. Biarkan mereka begitu. Kita berdoa saja semoga semua baik-baik saja,”  kata Mas Guru.

Aku dan Kang Tolib beradu tatap. Aku tahu apa yang dipikirkan Kang Tolib. Pasti dia minta wedang kopinya dibayari Mas Guru. Jian kurang ajar banget kok pancen.

Jogja, 15 Januari 2017

Senin, 19 September 2016

Kawabata dan Kisah Cinta yang Menyedihkan

(Catatan Pendek membaca buku Kecantikan dan Kesedihan karya Kawabata)

Oleh: Nanang Fahrudin

“Kisah cinta yang dihadirkan terlalu menyedihkan. Dan balas dendam itu sungguh mengerikan,” kataku dalam hati saat menutup halaman terakhir buku Kecantikan dan Kesedihan karya Kawabata.  Kereta Pramex terus melaju meninggalkan Surakarta jauh di belakang, bergerak menuju Yogyakarta.  Aku duduk di salah satu bangku dekat pintu. Buku kututup. Pandangan kualihkan keluar, lewat jendela kaca.

Pikiranku masih terbawa oleh kisah-kisah yang dihadirkan oleh Kawabata. Aku mengagumi cara penceritaannya yang indah. Meski yang diiceritakan adalah sesuatu yang mengerikan. Bagiku, buku ini lebih menemukan bentuk ceritanya dibandingkan dengan dua buku lain yang sebelumnya kubaca (Rumah Perawan, dan Daerah Salju).

Kecantikan dan Kesedihan berkisah tentang hubungan cinta antara Oki dan Otoko. Oki adalah laki-laki yang sudah berumahtangga dan punya anak, sedang Otoko adalah gadis berusia 16 tahun. Otoko lalu hamil dan melahirkan bayi. Sayang, bayinya meninggal sesaat setelah dilahirkan. Otoko sakit dan lemah. Oki merawatnya hingga ia sembuh. Namun, ketika Otoko sembuh, ia dipaksa menjauhi Oki dan pindah rumah. Beberapa kali Otoko hendak bunuh diri.  Mereka pun berpisah.

Namun, perpisahan itu bukan akhir cerita. Oki kembali kepada istrinya. Sedang Otoko tinggal di Tokyo. Dan kisah pun berlanjut. Oki menulis sebuah novel yang diinspirasi oleh kisah cintanya dengan Otoko. Novel itu berjudul ‘Gadis Enam Belas Tahun’ dan laris di pasaran. Oki kemudian menjadi penulis terkenal.

Sedang Otoko menjadi seorang pelukis terkenal dan punya beberapa murid. Salah satu muridnya bernama Keiko, gadis cantik namun sifatnya penuh misteri. Otoko dan Keiko hidup serumah. Mereka menjalin hubungan kasih. Tidur bersama, mandi bersama, meski sama-sama perempuan. Dan sepanjang pembacaanku (entah kalau terlewat), Kawabata tak pernah menyebut mereka lesbian. Seakan ia membiarkan pembaca menyimpulkan sendiri hubungan Otoko-Keiko tersebut.

Singkat cerita, Keiko lah yang hendak membalas dendam  terhadap Oki dan keluarganya. Balas dendam yang didasari oleh rasa cintanya yang tak terbatas kepada Otoko. Otoko sendiri sudah beberapa kali melarang balas dendam itu. Karena baginya Oki adalah sebuah cinta yang tak bisa dijabarkan. Ia yang membuat dirinya hancur, tapi tak pernah ada rasa benci di hatinya.

Tapi Keiko adalah gadis yang keras dan penuh misteri. Ia pun mendekati Oki sekaligus mendekati Taichiro, anak laki-laki Oki. Pada sebuah sore, Taichiro diajak Keiko berwisata di danau. Kisah berakhir dengan kematian Taichiro yang mengalami kecelakaan sampan. Keiko sendiri terselamatkan dan dirawat di rumah sakit. Balas dendam yang mengerikan bukan?

Ah sudahlah. Aku harus mencoba untuk keluar dari buku tersebut dan melihatnya dari sisi luar. Pertama-tama, buku itu aku sandingkan dengan Rumah Perawan dan Daerah Salju. Semuanya menawarkan imajinasi yang liar dengan bahasa yang indah memikat. Mungkin itu kepiawaiannya sebagai pengarang Jepang. Membaca karya Kawabata adalah membaca Jepang dengan manusia-manusianya. Banyak sekali cara pandang, budaya, dan istilah Jepang yang masuk.

Kedua, kucoba menyandingkan karya Kawabata dengan karya-karya penulis Jepang lainnya. Seperti Kuil Kencana karya  Yukio Mishima, atau Rahasia Hati karya Natsume Soseki. Kok rasa-rasanya ada napas yang mirip, yakni budaya Jepang yang kental banget. Dan itu...cara menceritakan yang agak lambat. Kawabata di novel Kecantikan dan Kesedihan ini terbilang agak cepat. Tapi di Rumah Perawan dan Daerah Salju, cara menceritakannnya cukup lambat dan tenang.

Wah, pada awalnya aku ingin membikin catatan yang pendek banget. Tapi kok nyatanya lebih dari satu halaman. Ya sudahlah. Buku ini menarik untuk dibaca. Sayang harganya lumayan tinggi untuk ukuran buku kecil 310 halaman. Mungkin karena penerjemahnya adalah Max Arifin dan diterbitkan oleh Mahatari yang membuat buku ini agak mahal. Tapi beruntunglah aku dapat buku ini seharga Rp 15.000. Murah kan?



Rabu, 24 Agustus 2016

Keadilan Adalah Laki-Laki

(Catatan Pendek setelah membaca novel Warisan karya Tsitsi V. Himunyanga-Phiri)


Oleh: Nanang Fahrudin

Namanya bukan Fatimah atau Surti.  Melainkan Moya Mweemba. Jelas ia bukan orang Indonesia, lebih-lebih Jawa. Itu nama Afrika. Sejak kecil ia bersekolah dan bercita-cita menjadi seorang guru, mendidik anak-anak perempuan seperti dirinya. Namun, saat usia lima belas tahun, arah hidupnya berubah. Ia dikawinkan dengan seorang anggota polisi. Pada era tahun 1960 an, begitulah adatnya. Sepertinya tak jauh beda dengan di Jawa.

Moya Mweemba pun hilang, menjadi Nyonya Mudenda. Ia harus melayani suami, tidak membantah, dan tidak bertanya apa-apa. Sebagai sebuah percobaan, sesuai adat ia dan suaminya harus menanggung hidup adik suaminya. Semua keperluan adik suaminya harus dipenuhinya, mulai menyiapkan makan, pakaian, hingga biaya sekolah.

Ba Mudenda, suaminya, jarang di rumah. Ia menghabiskan waktu dengan bekerja, minum bir, bersama perempuan-perempuan yang kerap dibawa ke rumahnya. Nyonya Mudenda tak dibenarkan protes, bahkan ketika ia dilarang ikut naik mobil dinas suaminya sedang perempuan-perempuan muda itu dengan santainya naik mobil itu. Laki-laki punya kehidupan sendiri dan tidak boleh diganggu. Tak mau larut dalam kesedihan, ia mencurahkan kasih sayangnya kepada anak-anaknya.

Demi mencukupi kebutuhan keluarga ia merintis bisnis sayur tanpa sepengetahuan suaminya. Hingga akhirnya bisnis itu besar dan mempunya beberapa pekerja. Suaminya pun tak mau tahu dan menghabiskan waktu bersenang-senang di luar rumah. Terkadang Nyonya Mudenda harus berangkat subuh, naik mobil bak terbuka, menyusuri ladang dan pasar untuk belanja, lalu pulang larut malam membawa barang-barang untuk dijual kembali.

Ia juga disalahkan saat salah satu anaknya ternyata hamil dan dikeluarkan dari sekolah. Sebagai ibu ia terpukul sekali, tapi ia tak kuat jika kesalahan itu semua ditimpakan kepada dirinya. Ia pun mendapat amarah dari suaminya. Bahkan, ketika mendapati anak perempuannya tak menuruti kata—katanya agar bersekolah dan menjadi guru, melainkan lebih menjadi istri simpanan untuk bisa berfoya-foya. Ia kembali menjadi sasaran kemarahan.

Pergolakan perasaan yang campur aduk itu makin memuncak ketika suaminya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan. Keluarga suaminya menuduh dirinya yang merencakan pembunuhan kepada suaminya. Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Kenapa mereka sebegitu tega? Dan tak hanya itu, semua harta benda keluarganya harus diberikan kepada keluarga suaminya. Termasuk harta yang diperoleh dari usahanya berkebun sayur.  Hal itu diperkuat dengan keputusan Kantor Urusan Harta.

Namun Moya Mweemba tak menyerah. Ia menggugat ke pengadilan untuk memperoleh hartanya. Ia masih harus membiayai sekolah dua anaknya. Bagaimana keduanya bersekolah dan hidup tanpa kepastian hanya gara-gara bapaknya meninggal? Ini sangat tidak adil. Keadilan bukan milik laki-laki, melainkan milik semua orang. Harus diperjuangkan. Kisah berakhir bahagia, yakni hakim mengabulkan permohonannya untuk mengelola harta bendanya.


Tarik napas dulu sebentar. Rasakan apa yang dirasakan Moya Mweemba. Novel tipis ini memang sungguh enak dibaca. Moya Mweemba adalah tokoh dalam novel Warisan karya Tsitsi V. Himunyanga-Phiri. Edisi Indonesia diterjemahkan oleh Budi Darma dan diterbitkan Yayasan Obor Indonesia (1996). Kekurangan buku ini saya kira hanya minimnya keterangan tentang penulisnya.  Di halaman terakhir hanya ada satu paragraf saja yang menerangkan tentang penulis. 

22 Agustus 2016

Selasa, 09 Agustus 2016

Antara Pooro dan Hamida

Oleh: Nanang Fahrudin

(Catatan Pendek setelah membaca buku Antara Dua Batas karya Amrita Pritam )

Lama sekali aku tidak membuat catatan pendek (capen) setelah membaca buku. Apa yang beda ya? Padahal menikmati kopi juga masih terus berlanjut, memunguti buku-buku tua juga masih menjadi kegemaran. Ah, sudahlah. Toh itu tak penting banget untuk ditulis di sini.  Ya kan?

Buku yang baru saja kubaca berjudul  Antara Dua Batas (ADB), sebuah novelet yang ditulis oleh Amrita Pritam, seorang penulis India. Dalam buku tipis nan kecil ini hanya ada dua judul saja yakni Antara Dua Batas dan Lelaki Itu.  Aku sudah lupa kapan buku terbitan Yayasan Obor Indonesia ini kudapat. Yang jelas aku membacanya saat di atas bus Sumber Slamet yang melaju kencang. Ya, pasti anda tahu lah seberapa kencang bus ini.

Dan saking asyiknya membacanya, aku pun tak menghiraukan bus yang goyang ke kanan, goyang ke kiri, atau sesekali mengerem mendadak. Pikiranku tertuju pada sosok Pooro, tokoh utama dalam novel pendek ADB.  Tak hanya kisah percintaan Pooro yang dipengaruhi oleh adat dan agama, tapi nuansa sosial-politik India saat Pakistan memisahkan diri dan menjadi negara muslim mengemuka dalam ADB.

Pooro adalah gadis kecil yang manis. Sebagaimana masyarakat Hindu-India waktu itu, anak gadis sudah dijodohkan saat kecil. Begitu juga Pooro dijodohkan dengan Ram Chand.  Dan ketika usianya remaja, ketika payudaranya mulai membentuk, persiapan pernikahan disiapkan. Tapi, pada suatu hari ia dijulik oleh Rashida, seorang pemuda Islam. Pooro disekap di sebuah rumah di tengah kebun. Tapi diperlakukan dengan baik.

Penculikan itu tak lain sebuah skenario saling balas dendam dari dua keluarga besar (Hindu dan Islam) yang saling berseteru. Penculikan Pooro adalah aksi balas dendam, karena keluarga Pooro juga pernah melakukan hal sama beberapa tahun lalu. Pooro berada di tangan Roshida hingga enam bulan, dan akhirnya ia dinikahinya. Pooro pun berubah nama menjadi Hamida.

Hamida hidup tanpa tujuan. Dia seperti tubuh yang mati. Jauh dari orangtuanya, serumah dengan orang yang menculiknya. Tapi Roshida adalah lelaki yang  baik. Ia memperlakukan Hamida dengan sangat baik. Hingga akhirnya mereka dikaruniai anak laki-laki, Javed. Riak-riak ketegangan sesekali muncul dalam perjalanan rumah tangga mereka. Hebatnya, penulis meramunya dalam nuansa isu agama yang memang sangat kental waktu itu.

Seperti saat di desa ada perempuan gila yang selalu mondar-mandir bertelanjang, warga sering memberinya makan. Namun nahasnya perempuan gila itu hamil. Dan pada sebuah pagi ia ditemukan Hamida kaku dan tak bernyawa di kebun. Sedang di kakinya, ada bayi tergeletak. Bayi itu baru saja dilahirkan oleh perempuan gila tersebut. Hamida menjerit dan. Bayi itupun dibawa pulang dan dirawat seperti anak sendiri oleh Hamida. Bayi itu disusui dari payudaranya sendiri.

Setelah enam bulan, tetua Hindu di desa itu memaksa mengambil bayi itu. Alasannya bayi itu Hindu dan tidak boleh dipegang oleh orang Islam. Hamida menangis. Roshida tak bisa berbuat apa-apa. Tapi, belum sebulan bayi itu dikembalikan kepada Hamida dalam keadaan koma. Ia sakit dan sangat pucat. Hamida merawatnya dengan kasih sayang dan bayi itupun sembuh.

Suasana menjadi makin tegang ketika konflik Hindu-Islam meluas. Pakistan merdeka. Desa mereka berada di wilayah Pakistan. Keluarga Roshida-Hamida tak masalah. Tapi orangtua Hamida (Pooro), adik-adiknya semua tercerai-berai. Ada yang menjadi korban penculikan, dibunuh, dan entah bagaimana nasibnya. Hamida pun menyamar menjadi pedagang keliling untuk menemukan Lajo, istri adiknya.

Roshida yang dulu adalah penculik Pooro dan dimusuhi, akhirnya malah sangat berjasa menyelamatkan Lajo. Roshida juga berhubungan baik dengan Ram Chand dan adik Hamida. Di akhir kisah, Ram Chand, Lajo dan adik Pooro harus pindah ke India dan hidup di sana. Sedang Roshida dan Hamida tetap tinggal. Mereka akhirnya menjadi sebuah keluarga besar. Agama tak lagi menjadi pembeda, malah kini negara menjadi masalah dan memisahkan mereka.  Mereka menangis. Tangis bahagia. Mereka berpisah. Perpisahan bahagia.

***  

Aku menutup buku. Menarik napas panjang. Betapa hidup penuh warna. Pooro menjadi Hamida. Ia sangat membenci Roshida pada awalnya, tapi akhirnya bisa menerimanya dalam kehidupannya.  Karena Hamida melihat banyak kesengsaraan hidup orang lain yang lebih parah daripada penderitaannya. Itulah kunci Hamida bersyukur dengan kehidupannya.

Ketika pikiranku masih membayang pada suasana desa Hamida, aku dikejutkan oleh suara kondektur bus di sampingku “Sragen, Sragen. Yang turun Sragen cepat ke depan. Bus nya balapan. Ayo-ayo cepat”. Seorang ibu tergopoh-gopoh bergerak ke depan. Sesekali menabrak bangku karena bus bergerak zig-zag. Dan penupang goyang ke kanan, lalu ke kiri. Aku pun berpegangan erat pada bangku depanku.


Bus Surabaya-Jogja, 9 Agustus 2016
 
© Copyright 2035 godongpring