Senin, 26 Maret 2012

Tuhan, Saya Izin Korupsi

Oleh : Nanang Fahrudin

(Dimuat di SINDO Jawa Timur tanggal 26 Maret 2012)

Sejak dikukuhkan menjadi sebuah negara berdaulat, Indonesia tak mengizinkan warganya tak mengimani Tuhan. Sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” membuktikan itu. Sampai-sampai pada salah satu kolom di kartu tanda penduduk (KTP) tertera agama pemegang KTP.

Kenapa harus beragama?. Tentu agar tercipta keteraturan kehidupan, yang pada akhirnya akan menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Tapi benarkah sudah demikian?. Pertanyaan-pertanyaan “nakal” pun berdatangan. Apakah bangsa yang ber-Tuhan telah menjadi bangsa besar?. Apakah masyarakatnya suka tolong menolong, tidak mencuri, mengambil hak orang lain, tidak mengkorup uang negara?.

Mungkin kita tidak perlu langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Tapi mari kita amati apa yang terjadi di sekeliling kita. Ketika seseorang dinyatakan bersalah dan melakukan korupsi, apakah dia tidak beragama?. Kalau dia beragama, bukankah Tuhan melarang umatnya mencuri?.

Jangan-jangan tanpa sadar, kita mengiyakan bahwa agama dan kehidupan sosial ini terputus. Artinya agama berada di wiliayah suci (yakni di masjid, gereja, pura, atau tempat suci lain), sedang dunia ini berada di sisi lain yang kotor alias tidak suci lagi. Dunia ya dunia, agama ya agama.

Dikotomi semacam itu sebenarnya tak lepas dari pemaknaan seseorang akan Tuhan. Penafsiran akan Tuhan termanifestasi pada perbuatan manusia yang kemudian membentuk pola kehidupan sosial, politik, ekonomi sebuah masyarakat. Memaknai Tuhan bukan berarti mengenali esensi Tuhan, karena esensi Tuhan tidak pernah bisa tercapai dengan manusia yang serba terbatas. Sederhananya adalah yang terbatas tidaklah mungkin mengetahui “Sesuatu Yang Tak Terbatas”. Manusia hanya bisa mengenali Tuhannya dengan tanda, yang tanda itu merujuk pada “Adanya” Tuhan. (Audifax, Semiotika Tuhan, 2007).

Dalam sejarah Islam, cara memaknai Tuhan membentuk sebuah aliran teologi, yang pada kemunculannya juga dipengaruhi kondisi sosial, politik waktu itu. Kita bisa menyebut di antaranya kelompok Jabariyah, Qodariyah, Khowarij, Mur’jiah, Asy’ariyah dan seterusnya. Kelompok-kelompok ini mempunyai pemaknaan berbeda terhadap Tuhan.

Nah, beragama adalah sebuah sikap dan keyakinan terhadap keberadaan Tuhan, lalu menerjemahkannya dalam perilaku sehari-hari. Jika dia politisi, maka penerjemahan berkeyakinan atas Tuhan itu adalah kepada rakyat, di gedung dewan, atau di partainya. Jika dia seorang ibu, maka penerjemahannya adalah kepada keluarganya, dan seterusnya dan seterusnya. Tentu saja perilaku itu akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan sekaligus kepada “yang diterjemahi” tersebut. Di sinilah keselarasan hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan manusia.

Kembali ke soal korupsi yang begitu sulit dihilangkan dari negeri ini, kita perlu bertanya ulang. Apakah korupsi tidak dilarang agama?. Apakah korupsi bukan perbuatan mencuri?. Jangan-jangan UU nomor 31 tahun 1999 tentang Tipikor tidak selaras dengan “hukum” dalam sebuah agama?. Atau (pertanyaan “nakal” lagi) apakah sudah tak ada hubungan antara mencuri dengan mempercayai Tuhan?.

Perilaku koruptif, secara sederhana bisa dimaknai sebagai sebuah perilaku yang berpotensi membuat kerugian keuangan negara, sekecil apapun. Makna lebih luasnya adalah perilaku yang berpotensi merugikan orang lain. Ketika iman hanya dimaknai sebagai ritual di masjid, gereja, atau tempat ibadah lainnya maka iman dan perilaku koruptif tak ada hubungannya.

Di catatan ini, saya bukan hendak menjawab semua pertanyaan di atas. Tapi mari kita bertanya pada diri kita sendiri, dan mencoba menjawabnya. Apakah negeri Indonesia yang mengklaim sebagai negara beragama dengan masyarakatnya yang religius, tak ada pejabatnya yang korup?.

Ah entahlah. Buktinya banyak koruptor ditangkapi, dan lebih banyak yang belum ditangkap. Mungkin saja para koruptor (yang semuanya mengaku sebagai orang beragama) itu sebelum melakukan tindak pidana korupsi berujar: Tuhan, saya izin korupsi. Hasil korupsi akan saya gunakan sebaik-baiknya untuk memuliakan keluarga saya, yang mereka juga hamba-Mu. (Wallahu A’lam)

Rabu, 21 Maret 2012

Cerita Kecil tentang Sebuah “Kekalahan”

Oleh : Nanang Fahrudin

Tiada yang lebih berkuasa pada diriku saat ini kecuali buku. Entahlah, seperti tak ada pikiran lurus saja lagi. Atau jangan-jangan buku itulah pikiran lurusnya. Dan sekarang uang tinggal dua puluh ribu saja di kantong. Padahal kopi dan air mineral masih harus kubayar. Jika ada sisa maka itulah yang akan kubawa pulang dari tempat ini, pusat buku bekas Jalan Semarang Surabaya.

Seingatku sebelum sampai di sini, ada uang seratus lima puluh ribu di kantong. Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi tertanggal 25 Juli 2011. Tak sampai satu jam uang tinggal dua puluh ribu. Ha…??

Aku duduk di warung tengah dan membuka laptop mengamati buku-buku yang baru saja kubeli, ditemani secangkir kopi hitam, teman yang selalu setia di sampingku. Mengingat-ngingat apa yang sudah terjadi. Kalau ditulis, beginilah kisahnya.

Semua berawal dari niat jalan-jalan saja. Seperti irama hari-hariku di Kota Surabaya selama ini di luar kerja. Membacai buku dan buku, sesekali masuk ke bisnis buku bekas, dan seringkali menumpuk buku untuk diri sendiri. Saat masuk ke lapak-lapak buku itulah mulai ada peperangan. Berbagai senjata menunjuk ke arahku. Para penjual buku menyodoriku buku-buku nan indah. Aku sebenarnya sudah membangun benteng yang kokoh agar tak tertembus “peluru” para pedagang itu dalam sebuah peperangan singkat ini. Tapi kisah berjalan lain.

(Di tengah menulis catatan ini tiba-tiba ada pengemis datang dan tanpa kuketahui sudah berdiri di belakangku. Seorang ibu tua dengan tangan terbuka ke arahku. Aku pun memberinya uang lima ratus. Ide tulisan sempat terputus dan aku mencoba memungutinya lagi).

Serangan pedagang pertama bisa kutangkis. Tak ada buku yang harus kubeli. Tapi serangan pedagang semakin gencar, dan bentengku runtuh juga. Dua buku dimasukkan ke kantong plastik dan diserahkan kepadaku. Sebagai gantinya, aku menyodorkan uang kepada pedagang itu. “Dua buku ini saja dulu ah. Jangan tergoda yang lain. Toh Godfahter karya Mario Puzo belum usai kubaca,” kataku dalam hati mencoba membangun kembali bentengku yang mulai terkoyak di sana-sini.

Bergerak maju dengan benteng yang sudah sekali jebol, keyakinanku untuk menang dalam peperangan kali ini mulai goyah. Ketika kaki melangkah di kios buku pojok yang bersebalahan dengan kolam renang kecil, sang penjual langsung menyerangku. “Ada novel Ahmad Tohari. Mau?,” katanya menyerangku.

Aku langsung mengutuki diri, kenapa bentengku mudah runtuh kalau soal buku. “Ah, buku itu saya sudah punya,” kataku sambil memegang-megang buku “Orang-orang Proyek” karya Ahmad Tohari, seorang sastrawan yang kusukai. Kata-kataku sebenarnya lebih sebagai upaya membangun benteng saja.

Ee…seperti tahu kelemahanku. Sang penjual menyerangku lagi dengan menyodorkan buku petualangan Karl May. “Aduh” kataku dalam hati. Tawar menawarpun berlangsung dan pindahlah buku itu ke tanganku. Dan ternyata tak hanya buku itu saja, tapi “Folkfor Madura” karya Cak Nun juga ikut sekalian kuangkut.

“Tak apalah. Mungkin salah satunya bisa kujual lagi ke teman, kawan, atau sahabat,” kataku dalam hati yang merasa selalu saja enggan merasa kalah oleh peperangan dengan buku.

Empat buku sudah di tangan, dan oke aku menyerah kalah. Titik. Aku harus mengakhiri kekalahanku dalam peperangan ini dengan melangkah menuju ke tengah, sebuah warung kopi yang mirip sebuah kafe. Angin berhembus sejuk, ada fasilitas wifi, dan musik live dari panggung sederhana samping warung. Dari situ akan terlihat banyak ibu-ibu menyusuri kios-kios di sekitar warung untuk mencari buku pelajaran bagi anak mereka. Aku berpikir, bendera putih harus kukibarkan dan berharap tak ada yang menyerangku lagi. Cukuplah kekalahanku yang menyedihkan sekarang, jangan sampai ditambahi lagi. Uangku sudah hampir habis.

Tapi….ah, tiba-tiba saja aku kebelet pipis. Itu artinya aku harus berjalan lagi dan melewati beberapa kios buku. Ternyata perang sangat sulit juga untuk diakhiri. Menuju toilet aku berjalan gagah. Aku yakin bentengku sudah berdiri kokoh. Deretan buku di kios yang kulewati paling-paling buku biasa yang tidak menarik lagi. Dan aku pun berjalan dengan pandangan tetap fokus ke depan.

Tiba-tiba suara seorang laki-laki memanggil. Aku menoleh. Ia mengangkat setumpuk buku. “Ada buku-buku sastra. Mungkin menarik hati” katanya. Itu benar-benar sebuah serangan terbuka. Pelurunya tepat mengenai otakku yang tanpa sadar menggerakkan kakiku mendekatinya. Apalagi dia menyebut “sastra”, aduh benar-benar kurang ajar. Serangan yang sungguh berkekuatan super.

Aku duduk seperti anak manis mendapatkan permen. Setumpuk buku disodorkan kepadaku dengan ramah. Tapi keramahan itulah serangan yang sebenar-benarnya bagiku. Berbagai edisi majalah sastra kupegang. Kekalahan untuk kesekian kalinya menerjangku.

“Okelah, aku menyerah kalah. Buku benar-benar peluru yang membuatku tak bisa berkutik. Buku begitu mudah menjajahku. Aku berjanji, suatu saat aku akan menyerang balik. Menulis buku sebanyak-banyaknya dan aku sebagai pengarangnya, bukan hanya sebagai pembaca seperti selama ini. Awas kau buku!,” sebuah ancaman yang kudengungkan ke telingaku sendiri.

Dengan rasa malu, aku membawa majalah sastra itu. Seperti prajurit yang pulang membawa kekalahan, aku pun berjalan dengan gontai. Kaki melangkah pelan. Tubuh tercabik-cabik penuh luka. Uang sudah lepas dari tangan. Tinggal buku-buku itu menemaniku. Gajian masih tiga hari lagi. Artinya aku harus mencari pinjaman untuk bertahan hidup. Dan di ujung sana, istriku sms “susu anak kita habis”. Aku pun kembali nyruput kopi sambil menarik nafas panjang.

Nanang Fahrudin
Surabaya, 25 Juli 2011

Kamis, 15 Maret 2012

Karya Sastra Selalu Menemukan Pembacanya Sendiri

Pada awalnya, Mardi Luhung adalah penyair. Ia lebih dikenal dengan puisi-puisinya yang panjang, yang bercakap-cakap. Puncaknya saat ia dinobatkan sebagai peraih Khatulistiwa Literary Award (KLA) tahun 2010, sebuah anugerah bergengsi di dunia kepenyairan nasional. Puisi-puisinya yang memenangkan KLA adalah antologi puisi berjudul Buwun. Buwun adalah kata lain dari Bawean, sebuah pulau kecil yang secara administratif masuk wilayah Kabupaten Gresik.

Dan beberapa waktu lalu, Baca! berbincang dengannya saat dia berada di Jakarta untuk persiapan launching buku kumpulan cerpennya berjudul “Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku”. Berikut perbincangan kami tentang proses kreatifnya dalam dunia sastra:

Bagaimana awal anda menjadi penulis sastra?

Bagi saya, menulis itu selalu dipengaruhi latar belakang. Dan latar belakang setiap orang menyimpan peristiwa yang selalu berbeda antara satu orang dengan orang lain. Dan saya kebetulan memiliki latar belakang yang cukup unik, karena sejak kecil saya selalu menyendiri dan suka membaca komik. Terutama komik Indonesia. Hitam putih yang ditulis komikus-komikus yang sampai kini masih tetap saya ingat. Seperti Yan Mintaraga, Teguh Santosa, Hans Jaladara dan lainnya.

Komik-komik itu bercerita tentang dunia persilatan. Orang yang bisa terbang, mengelak, dan bahkan sesekali berjumpalitan. Dari situlah saya suka menulis cerita dari imajinasi saya setelah membaca cerita-cerita silat itu. Akibatnya, karena begitu tertariknya, maka tak heran ketika saat dewasa sekarang, dalam tulisan saya selalu saja ada gerakan-gerakan tubuh atau percakapan yang masuk. Termasuk di dalam puisi.

Bagi saya, hal itu sangat membahagiakan. Sebab bisa mengingat kenangan dan juga mengekalkan imajinasi. Oh ya, ketika menulis cerita pendek (cerpen), apa yang saya uraikan itupun juga terlihat adanya, bahkan oleh beberapa teman cerpen-cerpen saya tampak muskil. Seperti cerpen berjudul “Sepedaku Menabrak Dinding” (dimuat di Jawa Pos 24 Februari 2009), atau “Pohon Jambu” (dimuat di Memorandum 24 Maret 1996).

Bagaimana anda menemukan ide yang selanjutnya anda tulis dalam puisi maupun cerpen?

Ide biasa berawal dari sebuah kata, atau peristiwa yang kecil di sekitar. Misalnya, ketika saya membeli bibit pohon jambu dan akan menanamnya, saya melihat akar pohon jambu begitu indah. Maka tiba-tiba saja saya menulis cerpen Pohon Jambu yang bercerita tentang bagaimana akar itu berubah menjadi sebatang akar logam yg bergerak-gerak. Atau ketika saya mendengar kata mati. Maka saya membayangkan orang malah tak bisa mati. Akhirnya jadilah cerpen “Lebih Kuat dari Mati” (dimuat di Jawa Pos). Dan itupun juga sama ketika menulis puisi.

Setelah ide anda temukan, lalu bagaimana anda menuangkan dalam karya-karya anda?

Saya secara teknis dalam menulis mengalir bebas saja. Baru setelah tulisan jadi, peristiwa yang tidak bersambung saya perhalus. Meskipun kadang-kadang hasilnya tetap tidak nyambung. Tapi hal itu tidak apa-apa, toh di dalam menulis tidak ada patokan harus begini atau begitu. Kita (saya) harus berani untuk menulis dengan cara kita sendiri.

Bagaimana ceritanya karya pertama anda bisa dimuat di media?

Ketika pertama kali cerpen saya pertama kali dimuat berjudul “Tembok Pabrik” (Surabaya Post, 27 Februari 1994), saya merasa tidak percaya. Padahal awalnya cerpen itu cuma sekedar ujicoba saja. Di mana di dalam ujicoba itu saya ingin berbagi pengalaman dengan yang lainnya. Tapi saya senang sekali.

Berbeda dengan saat saya mencipta puisi. Pengalaman saya lebih dipenuhi rasa kejengkelan. Puisi-puisi yang saya tulis hampir tidak pernah diterima media massa di Jatim. Jumlahnya lebih dari 30-an. Itu terjadi sekitar tahun 1993 an. Dari kejengkelan itu saya mencoba mengirimkan tiga puisi ke sebuah jurnal sastra di Jakarta yang saat itu cukup punya nama di Indonesia. Ternyata dimuat. Judulnya “Dari Jalanan dan Pengantin Pesisir”. Dan itu membuat saya berpikir, bahwa sebuah karya sastra itu kerap memiliki nasibnya sendiri-sendiri, dan mencari pembacanya sendiri-sendiri.

Oleh karenanya, saya berkeyakinan pemublikasian karya sastra terutama bagi penulis pemula itu sangat perlu. Itu bisa digunakan untuk mencari pembacanya.

Selama menulis sastra ada kendala yang anda rasakan?

Kendala saya menulis adalah ketika saya merasa karya yang saya tulis terasa gagal. Dan celakanya, tulisan itu telah terlanjur dikirimkan. Saya pernah mengedit lagi tulisan yang telah saya kirim, bahkan juga menarik kembali tulisan yang saya kirim ke media. Sebab benar-benar saya merasa karya itu sangat buruk. Itu artinya kendala dalam menulis yang paling utama adalah kendala ketika tulisan itu telah terbentuk (jadi), dan bukan ketika sedang ditulis.

Ada tips penulis pemula?

Kita harus berani untuk menuliskan apa saja yang ingin kita tulis. Masalah ini itu, teknik atau bukan, bukanlah hal penting. Misalnya, ketika tulisan kita berbentuk yang tak lazim (cerpen mendekati puisi) atau sebaliknya, marilah kita terima itu apa adanya. Dan kita harus yakin bahwa tulisan-tulisan itu bukanlah hal yang kebetulan. Melainkan sesuatu yang ingin mencari dunianya sendiri sekaligus orang-oang yang juga mencintainya.

Pesan apa sih yang hendak anda sampaikan lewat karya-karya anda?

Pesan yang ingin saya sampaikan dalam karya-karya saya adalah mencoba untuk berbagi bahwa setiap kemungkinan itu selalu terbentang. Termasuk kemungkinan untuk berimajinasi dan mengembangkan pikiran yang berbeda dengan apa yang ada di sekitar kita. Ibarat sebuah hutan, kehidupan kita adalah hutan yang penuh dengan pohon-pohon dan salah sayu dari pohon itu adalah pohon karya-karya kita. Pohon yang mandiri, yang saling meng-ada-kan bagi pohon-pohon yang lain.

*) Mengenal Mardi Luhung

Di sebelah barat Pasar Kota Gresik, tepatnya Jalan Sindujoyo ada sebuah warung kopi. Warung kopi itu tak pernah sepi, apalagi yang nongkrong di sana kebanyakan adalah para seniman. Mardi Luhung salah satunya, karena rumahnya tak jauh dari sana. Jika tidak ngopi di situ, maka tempat favorit lain adalah warung kopi pojok barat alun-alun milik Bung Jepri.

Di sanalah sekitar tahun 2005 an saya sering ngopi bareng dengan Mardi Luhung. Terutama tentang puisinya, kesenian di Gresik, hingga perbincangan tentang siapa sebenarnya yang pantas disebut seniman?. Mardi Luhung memang memiliki pikiran-pikiran “liar”, terutama dalam hal dunia kepengarangan.

Baginya, karya sastra harus mengusik pembacanya. Kalau tidak mengusik, maka karya itu tidak akan dianggap apa-apa oleh pembaca. Mengusik di sini bermakna luas. Artinya, karya harus selalu menunjukkan sesuatu yang selalu baru. Katanya: Bukankah di dunia ini selalu dihadirkan oleh Allah sesuatu yang selalu baru?.

Mardi Luhung lahir di Gresik pada 5 Maret 1965. Dia lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Jember. Kini ia mengajar di SMA Nahdlatul Ulama 1 Gresik. Puisinya tersebar di berbagai media massa, di antaranya Kalam, Surabaya Post, Media Indonesia, Koran Tempo, HAI, dan lainnya. Buku puisi tunggalnya Terbelah Sudah Jantungku (1996), Wanita yang Kencing di Semak (2002), Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007), Buwun (2010). Lewat antologi puisinya yang berjudul Buwun itulah ia mendapat penghargaan augerah Khatulistiwa Literaty Award tahun 2010.

Pada Februari 2011 ini, ia menerbitkan kumpulan cerpennya yang berjudul Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku. Kumpulan cerpen ini baru dilaunching Maret 2011, berisi 12 cerpen yang semuanya sudah pernah dipublikasikan di media massa. Dalam halaman awal buku itu tertulis “untuk istriku Mas Indasah si pendamping yang tabah”. Sebuah ungkapan cinta seseorang kepada orang yang ketika hidup bersamanya telah diamanati tiga anak.

Mardi Luhung berpikir kehidupan selalu bergerak maju. Tapi Tuhan tak pernah memutus rantai gerak itu barang sedetikpun, sehingga gerak itu saling berhubungan. Demikian juga gerak maju manusia. Sehingga, ia sejak dulu menyukai berdoa bagi anak cucunya agar diberikan kebaikan dunia-akherat, meski waktu berdoa ia belum memiliki anak ataupun cucu. Salam!.

(Disarikan dari wawancara editor Baca! Nanang Fahrudin dengan Mardi Luhung pada tanggal 26 Februari 2011 lalu di Jakarta)

Dimuat di buletin Baca! terbitan Sindikat Baca Bojonegoro 2011

Rabu, 07 Maret 2012

Ideologi Itu Bernama Kemanusiaan

(Catatan Pendek novel “KUBAH” karya Ahmad Tohari)

Oleh : Nanang Fahrudin

Bagi saya ada kesamaan pada setiap karya Ahmad Tohari. Kesamaan itu adalah bahwa saya tak pernah bisa berhenti lama saat membaca karya-karya beliau. Kisahnya selalu mengejar-ngejar dan “memaksa” saya terus mengikuti kelanjutan cerita pada halaman per halaman.

Saya masih ingat ketika menuntaskan membaca “Ronggeng Dukuh Paruk”, tepatnya bagian buku ketiga “Jantera Bianglala”, tak terasa malam berganti pagi. Dan saya membacanya penuh dengan emosi. Sampai-sampai usai membaca novel trilogi itu saya sangat ingin melihat sosok Srintil, tokoh dalam Ronggeng Dukuh Paruk. Keinginan mustahil yang terlalu emosional.

Dan ketika film “Sang Penari” yang diadopsi dari novel tersebut diputar di bioskop-bioskop, entah kenapa saya tak ingin melihatnya. Saya khawatir imajinasi saya tentang sosok Srintil akan buyar. Biarlah saya mengimajinasikan Srintil dan kehidupan masyarakat Dukuh Paruk lewat buku, bukan lewat visual film.

Ah terlalu panjang kalau puji-pujian terhadap karya Ahmad Tohari saya tulis di sini. Apalagi tanpa dipuji pun karyanya sudah diakui dunia sastra. Seperti novel “Kubah” yang baru saja saya baca. Novel ini dicetak pertama tahun 1995, tapi buku yang saya pegang adalah cetakan ketiga (2005). Buku ini mendapatkan penghargaan Yayasan Buku Utama (1981) dan sudah terbit dalam bahasa Jepang.

Dalam novel ini penulis begitu berani bergelut dalam pertarungan ideologi. Dan posisi penulis jelas, yakni menolak komunis. Komunisme yang diagung-agungkan oleh aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI) diblejeti dengan hal-hal yang sangat sederhana, hal-hal yang berada di sekitar kita, dan mungkin ada pada diri kita sendiri.

Ketika Karman (tokoh utama) menjadi tahanan politik di Pulau B, ia berada pada titik keputusasaan saat menerima sepucuk surat dari Marni, istrinya. Dalam surat itu Marni mengatakan bahwa ia terpaksa menikah lagi dengan laki-laki lain, meski belum resmi berstatus cerai dengan Karman. Marni mengaku tidak kuat membiayai kebutuhan makan setiap hari untuk tiga anak mereka yang masih kecil, sedang Karman diasingkan.

Setelah surat itu datang, Karman melihat dunia berhenti. Ia membiarkan dirinya terbaring sakit di ruang tahanan yang sempit. Hingga akhirnya Kapten Somad menjenguknya dan meyakinkan bahwa ia tak memiliki kekuatan sepenuhnya atas dirinya. Karena ada kekuatan yang maha besar atas dirinya. Oleh sang kapten, Karman dikembalikan kepada Tuhannya yang sudah lama ia tinggalkan.

Hidup Karman sendiri penuh liku. Ayahnya mati saat carut marut awal kemerdekaan. Ia lalu diasuh oleh Haji Bakir yang merasa kasihan dengannya. Karman kecil diberi pekerjaan ringan, menyapu masjid atau memberi makanan ikan di kolam. Karman pun bisa makan nasi yang pada tahun 1950 an tak semua warga Desa Pegaten (salah satu desa di Jawa Tengah) bisa menikmatinya. Ia akrab dengan masjid dan kehidupan agama di desanya.

Karman diam-diam menyukai Rifah (anak Haji Bakir). Tapi cinta itu bertepuk sebelah tangan karena Rifah dinikahkan oleh ayahnya dengan Abdul Rahman. Sebagai anak asuh Haji Bakir, Karman tidak mempermasalahkannya. Namun Margo dan Triman, tokoh PKI, melihat berbeda. Pikiran Karman diracuni untuk membenci Haji Bakir karena dialah tuan tanah penghisap rakyat. Buku-buku Marxisme diberikan secara cuma-cuma. Bahkan saat Karman membutuhkan pekerjaan, cepat-cepat Margo mencarikannya, yakni sebagai juru tulis di kecamatan.

Singkat kisah, Karman terpesona dengan nilai-nilai revolusioner yang ditanamkan Margo dan kawan-kawannya. Ia mulai membenci Haji Bakir dan segala kepatuhan yang dibangun warga Pegaten. Puncaknya bambu tempat wudlu ia rusak, karena baginya agama adalah candu yang membuat masyarakat tidak revolusioner.

Pergolakan politik berubah dan geger 1965 membuat PKI terpojok. Semua aktivis PKI dihabisi. Karman sendiri melarikan diri dan berbulan-bulan pindah dari satu kuburan ke kuburan lain. Sejak saat itu ia tak bertemu dengan Marni dan tiga anaknya. Ia keluar saat malam untuk mencari makan buah mentah dan daun-daunan.

Dalam pelariannya, pada sebuah malam menjelang pagi, ia melihat Kastagethek mencari ikan di sungai. Kastagethek bisa dibilang orang paling miskin di kampungnya. Matapencahariannya adalah mencari ikan atau mengantarkan barang dengan gethek (semacam perahu dari bambu yang ditata). Di keheningan malam, Kastagethek bersujud kepada Tuhan lalu berdzikir.

Karman yang tak kuat lapar keluar dari persembunyiannya. Ia mendekati Kastagethek yang menyambutnya dengan senyum. Karman diajak makan bersama dan minum secangkir kopi. Karman tak habis pikir, dalam partainya, orang seperti Kastagethek lah yang dijadikan simbol rakyat jelata yang dihisap oleh tuan tanah. Tapi kenapa Kastaghetek begitu bersyukur akan hidupnya?. Kenapa ia tidak susah seperti yang digambarkan oleh partainya?.

Keherannya semakin menjadi-jadi tatkala dalam kemelaratannya, Kastagethek membagikan hasil tangkapan ikan ke Karman. Sungguh sebuah rasa kemanusiaan yang cukup tinggi yang ditunjukkan Kastagethek. Ia tak memerlukan ideologi revolusioner seperti di partainya untuk berbagi dengan sesama manusia.

Ah, saya harus menghentikan cerita sampai di sini saja. Anda lebih baik membacanya sendiri. Betapa gamblangnya penggambaran penulis akan suasana pedesaan di Desa Pegaten. Bagaimana lika-liku Karman, terutama saat sudah keluar dari pengasingan dan bertemu dengan Marni (istrinya) yang sudah bersuami Parta. Dan bagaimana Karman memulai kehidupannya saat dipercaya membuat kubah masjid. Salam!



Surabaya, 7 Maret 2012

Selasa, 06 Maret 2012

Secangkir Kopi untuk Kami dan Mereka

Oleh : Nanang Fahrudin
(Dimuat di Harian Seputar Indonesia (SINDO) Jatim Senin 5 Maret 2012)

Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata “kami” bermakna kata ganti orang pertama jamak. Sedang “mereka” adalah kata ganti orang ketiga jamak. Dalam implementasinya dua kata menunjuk pada kelompok berbeda. Kami berada di sini, dan mereka berada di sana. Ada jarak yang memisahkan keduanya.

Di negeri ini banyak “kami-mereka” di mana-mana. Perceraian itu bisa dipicu oleh apa saja. Perbedaan warna bendera parpol, perbedaan pilihan agama, perbedaan keyakinan, perbedaan cara pandang, perbedaan jenis kelamin, dan bahkan perbedaan pilihan tempat di mana mencari makan siang. Perbedaan itu membuat bentangan jarak semakin meneguhkan diri masing-masing orang. Kami berada di sini dengan kebenaran, dan mereka berada di sana dalam sebuah jalan yang salah.

Kami-mereka menjadi identitas yang oleh Amartya Sen disebutnya sebagai identitas palsu. F. Budi Hardiman menyebutnya sebagai “aku” dan “the other”. Sebuah perbedaan yang sebenarnya sangat alami namun bisa memicu berbagai persoalan yang tak ada ujungnya.

Polemik pembubaran Front Pembela Islam (FPI) adalah salah satu bukti begitu meruncingnya perbedaan kami-mereka. Bagi FPI, masyarakat yang menolak mereka berada jauh di (dunia) sana. Sebaliknya bagi masyarakat yang menolak FPI, memandang ormas itu berpijak pada dunia yang jauh di sana. Ada ketidaksamaan saat memandang baik atau buruk, benar atau salah. Karena mereka memiliki standar masing-masing.

Ambil contoh kecil saja kasus bentrokan massa FPI dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB) di Jakarta pada tanggal 1 Juni 2008 silam. Kalau banyak pihak mengkritik aksi kekerasan yang dilakukan FPI, berbeda dengan sikap FPI sendiri. Dalam website www.eramuslim.com, bentrokan tersebut masuk pada berita “Daftar Kebaikan FPI”. Sedang AKK-BB dalam websitenya www.akkbb.wordpress.com/2008, menampilkan artikel-artikel yang sebagian besar anti FPI.

Banyak hal di negeri ini yang semakin mengukuhkan posisi “kami” dan posisi “mereka”. Akibatnya perbedaan itu semakin lebar dan menjurus pada kekerasan fisik. Di mana-mana terjadi aksi kekerasan entah atas nama apa saja. Mulai atas nama negara, atas nama parpol, atas nama agama, dan nama-nama lain. Ketika kami-mereka semakin mengakar, maka proses dialog yang dicoba dibangun hanya selalu berhenti pada formalitas semata. Ujungnya tetap saja kekerasan dan kekerasan.

Nah, seharusnya negara berperan sebagai “kita”. Yakni menjembatani antara “kami” dan “mereka”. Posisi boleh tetap kami atau mereka, tapi ketika menjadi sebuah masyarakat Indonesia bisa mencair menjadi “kita”. Kita bangsa Indonesia, sebagaimana dirasakan oleh para founding father negeri ini. Sayangnya posisi negara tak jarang malah berpihak pada kami atau berada di belakang mereka. Akibatnya proses dialog yang dibangun negara pun berhenti pada formalitas lagi.

Lalu bagaimana?. Entahlah. Otak saya yang sederhana ini tidak nutut pada hal-hal yang begitu besarnya. Saya hanya membayangkan diri kita ini ibarat sebuah rumah. Berikanlah jendela di rumah kita itu, agar orang lain bisa melongok apa isi di dalamnya. Begitu juga kita bisa melihat-lihat isi rumah orang lain. Tentu ada kamar yang memang itu sifatnya sangat privat yang tidak boleh ada orang lain tahu. Saling melihat isi rumah itulah proses dialog tersebut.

Jangan sampai rumah kita tanpa jendela dan tanpa pintu, tak ada orang lain yang bisa melihat apalagi berkunjung. Kenapa “kami” dan “mereka” tidak bisa duduk bersama di teras rumah sambil minum secangkir kopi. Kopi panas yang mengundang keakraban dan kebersamaan. Sama-sama berada di negeri yang sedang miskin karena korupsi. Sama-sama berada di bumi yang mulai rusak. Salam!.

Kamis, 01 Maret 2012

Cerita Terakhir

Oleh: Nanang Fahrudin

Tidak terasa, satu tahun lebih aku tinggal di rumah kontrakan yang sempit di gang buntu. Hari-hari aku lalui bersama keluarga seperti roda. Tanpa berhenti, terus berputar, menggilas semua yang kulewati. Kadang menabrak pagar rumah orang, membawa serta bunga-bunga asri di pekarangannya, serta menyeret semuanya untuk ikut berputar. Tanpa henti. Indah tapi mengerikan.

Isteriku sering menjerit meraung-raung. Katanya rodaku juga menggilas seseorang. Pemilik tubuh itu hanya bisa melambai-lambaikan tangan, karena mulutnya ada di kepala yang terbawa dalam putaran rodaku. Isteriku menangis dan meminta menghentikan roda itu karena iba melihat tubuh tanpa kepala. Tanpa otak, tanpa mata, tanpa telinga, tanpa pikiran. Satu, dua, tiga, dan banyak sekali kepala beserta otak dan pikirannya tergilas dan terbawa putaran rodaku yang sulit berhenti.

Kawanku selalu mengataiku tengah berbohong dengan ceritaku yang tidak masuk akal itu. Meski berulang kali aku mengatakan bahwa ceritaku itu bisa diakal. Bahkan saking marahnya kawanku itu, ia menganggapku sudah tidak waras.

"Tapi tak apalah, bukankah nabi Muhammad awalnya juga dianggap gila oleh orang-orang bangsa Arab. Bukankah Nietzche juga banyak yang menganggap tak waras saat mengatakan tuhan telah mati."

"Tapi aku bukan Nabi dan juga bukan Nietzche?"

Jangan-jangan aku memang sudah tidak waras lagi? Entahlah.

***

Usia 18-an tahun, aku menginjakkan kaki di kampus. Banyak hal baru yang tak ku temui di sekitarku sebelumnya. Banyak kawan baru, kami pun sering saling bercerita. Tentang latar belakang keluarga, adat istiadat, pacar, sampai kebiasaan buang air di sungai Bengawan Solo pun menjadi topik cerita yang menyenangkan kala itu. Maklum, kita berasal dari daerah berbeda-beda. Aku berasal dari pinggiran kota perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Barat, dan rumahku tepatnya berjarak 10 meter sungai Bengawan Solo.

Sejak saat itulah aku menyukai sebuah cerita. Cerita apa saja. Kadang bagiku cerita mempunyai dunianya sendiri. Dunia yang menyenangkan yang selalu hidup. Tapi kadang mengharukan saking sedihnya.Bukankah manusia tahu siapa Sokrates dari cerita Aristoteles dan Plato? Dengan cerita, seseorang bisa berbagi suka maupun duka. Dengan cerita, manusia bisa timbul rasa kasihan, marah, cinta, benci terhadap apa dan siapapun.

Kebiasaan saling bercerita itupun sudah seperti hal yang wajib bagiku dan beberapa teman. Kalau tidak ada cerita seperti makan tanpa minum air rasanya, jadinya sereten. Kalau sudah berkumpul selalu saja ada cerita yang muncul. Terkadang aku juga heran, cerita itu seperti baju di dalam lemari. Tinggal ambil terus dibuka. Kalau semua sudah mengetahuinya, lalu ambil lagi dan dilihat bersama lagi. Begitu terus menerus.

Tiada hari tanpa cerita. Itulah hari-hariku saat menjadi mahasiswa di salah satu kampus di Kota Malang. Bercerita seakan wajib hukumnya. Salah satu teman yang suka pakai sarung, selalu bercerita tentang seluk beluk dunia Islam. Kenapa umat Islam yang banyak di atas muka bumi ini hidupnya terbelakang? Islam, katanya, mesti dipahami tidak hanya sebagai proses penyembahan terhadap Tuhan. Buat apa beragama kalau sukanya nipu orang, mengambil hak orang lain, senang melihat tetangga mati kelaparan.

Itu cerita temanku yang senang pakau sarung. Katanya lagi, kalau pakai celana kalau pipis sulit. Tapi kalau pakai sarung mudah.

Cerita temanku yang lain beda lagi. Dia biasa disebut gudang cerita humor. Aku seingkali dibuat heran, daripada cerita-cerita itu diperolehnya. Dan kebanyakan ceritanya pasti tentang orang Madura. Mulai di Madura tak ada sekolah TK karena di sana disebut Taman Nak Kanak, hingga orang Madura yang suka mengumpulkan besi tua.

Waktu terus berjalan. Lulus kuliah semuanya pergi menjalani garis hidupnya masing-masing. Ada yang menjadi tukang suntik hewan, ada yang jadi pegawai kantor, pedagang ikan, pengusaha jasa warnet hingga wartawan. Bercerita kini tinggal menjadi sebuah cerita.

Aku sendiri kini menjadi pekerja rendahan di salah satu perusahaan kontraktor. Gaji bulanan belum bisa dibilang cukup untuk keperluan sehari-hari. Untuk menutupinya perlu kerja tambahan. Dan pekerjaan itu adalah selalu menyenangkan hati bos. Membantu menyogok sana menyuap sini untuk mendapatkan proyek, lalu dapat komisi. Semakin banyak suap, semakin banyak proyek, semakin banyak pula komisi yang aku terima.

Untuk bisa menyuap, aku harus mempercepat langkah, dan kalau bisa berlari. Berlari kencang tanpa menoleh tetangga kanan yang tergusur, atau tetangga kiri yang tidak kuat bayar rekening listrik. Bahkan hingga terkadang aku lupa jika ada segumpal hati di dalam tubuhku. Ya, tubuhku seperti robot. Berlari dan berlari.

Mungkin karena aku sekarang menjadi pelari. Tak pernah cukup waktu untuk sekedar duduk untuk berhenti. Betapa tidak, pagi sudah harus bangun, memasukkan uang ke dalam amplop, mencatat nama-nama yang perlu didatangi, serta mempersiapkan laporan ke big bos. Sehingga sudah tak ada lagi waktu bercerita, tentang si miskin dan si kaya, cerita si rusa yang baik hati, yang sering aku ceritakan kepada anakku. Putaran hidupku seperti roda yang tak pernah berhenti.

Putaran itupun awalnya tidak masalah bagiku. karena uang terus mengalir. Anak tak nangis lagi saat minta dibelikan mainan. Istri tak cemberut lagi karena bedak dan hand and body lotion selalu tersedia di atas meja. Tapi roda itu kian kencang putarannya. Jangankan bercerita, berhenti untuk berpikir saja rasanya tak sempat. Hidup hanya seperti jalan-jalan yang setiap hari aku lewati. Seperti sungai yang mengalir, tanpa ada kedalaman.

"Sudahlah, hentikan rodamu. Biarkan hidup kita berhenti. Meski hanya sejenak," kata istriku suatu hari.

Aku diam.

"Lihatlah, banyak kepala tersangkut dirodamu. Mereka menjerit-jerit. Suaranya selalu menghantuiku,"

"Percepat larimu. Kamu akan merasa nyaman. Tak kan lagi kau dengar jeritan-jeritan itu. Percayalah sayangku," kataku.

"Aku ingin bercerita..." katamu memelas.

Aku tetap diam dan mempercepat lariku.

"Suamiku. Manusia diciptakan Tuhan ibarat kaca yang retak yang akan direkatkan oleh orang lain. Manusia hanya boleh berlari jika Tuhan menyuruhnya berlari. Tapi untuk apa jika kita berlari malah menjauh dari Tuhan dan manusia ciptaan-Nya. Nafasku sudah tidak kuat lagi untuk terus berlari. Suamiku, seringkali aku bercerita, dan seringkali pula kamu tidak mendengarkannya. Suamiku sayang, ini mungkin ceritaku yang terakhir."

Aku tetap saja diam. Terus berlari dan tak sempat bercerita lagi.

 
© Copyright 2035 godongpring