Senin, 20 Juni 2011

Kita Membenci Korupsi Nggak Sih?

Oleh : Nanang Fahrudin
(Dimuat di Koran Sindo Jatim Minggu 19 Juni 2011)

“Sebab utama korupsi adalah nafsu untuk hidup mewah dalam kelompok yang memerintah”. Demikian kata Ibn Kholdun (1332-1406), seorang pemikir muslim yang juga dikenal sebagai “penemu” sosiologi. Menurut dia, untuk memenuhi kebutuhan mewahnya itulah kelompok yang memerintah selalu terpikat oleh korupsi.

Saya membaca kalimat itu dalam buku “Sosiologi Korupsi” karya Syed Hussein Alatas (terj. 1981), seorang guru besar kajian Melayu di Universitas Singapura. Selang beberapa waktu kemudian, saya tertarik membaca buku lain dengan tema korupsi juga, yakni “Bunga Rampai Korupsi” yang disunting Mochtar Lubis dan James C. Scott (terbit 1985). Buku tentang korupsi memang cukup banyak, meski kalah banyak jika dibandingkan dengan sering munculnya ulasan tentang korupsi di televisi, koran, majalah, radio, dan diskusi warung kopi.

Ya, perbincangan tentang korupsi selalu menjadi topik hangat di negeri ini. Apalagi merujuk data “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) di Hongkong, pada periode 2008-2010, negeri ini berada di peringkat paling bawah untuk pemberantasan korupsi se-Asia Pasifik. Artinya, Indonesia menjadi negara terkorup se-Asia Pasifik di bawah negara Kamboja dan Vietnam. Hmm….

“Prestasi” itu beriringan dengan gelombang reformasi. Ironis memang. Padahal, negara memiliki Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), bahkan memiliki hakim khusus tindak pidana korupsi (Tipikor). NGO selalu berteriak menolak korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) dan lembaga sejenis sampai tingkat daerah selalu menyuarakan itu.

Tapi seperti tembok yang sulit tertembus, korupsi tetap jaya. Negeri ini tetap saja dicengkeram korupsi. Jika Syed Hussein Alatas membagi tiga tingkatan korupsi (terbatas, menembus segala kehidupan, dan menghancurkan masyarakat), sudah sejauh mana tingkat korupsi di Indonesia saat ini?. Entahlah. Mungkin sudah tahap ke-3, yakni menghancurkan masa depan kehidupan masyarakat.

Jangan-jangan (sekali lagi jangan-jangan), bangsa ini (semua yang ada di negeri ini mulai pejabat, NGO, masyarakat biasa, polisi, pengusaha, politikus, wartawan, dan siapapun termasuk saya) dalam diri paling dalam tidaklah membenci korupsi. Jangan-jangan bangsa ini bisa tetap bertahan sampai sekarang karena adanya korupsi tersebut. Andai korupsi tidak ada, mungkin bangsa ini sudah lebih dulu hancur.

Coba kita amati. Hakim bisa disuap, jaksa disuap, polisi disuap. Jika kita terjerat kasus hukum, kita lebih senang jika menyelesaikannya dengan “cara damai”. Biar cepat ngurus SIM, Paspor, KTP atau kartu identitas lain kita lebih senang menitipkannya lewat calo. Karena jika mencoba ngurus sendiri, begitu ribetnya. Ketika pengusaha mengurus izin ini izin itu, lebih memilih “jalan pintas”. Karena birokrasinya begitu rumit. Bisa-bisa kalau sesuai prosedur melewati beberapa meja, maka pengusaha tidak juga bisa memulai usahanya. Pada akhirnya, bisnis jalan dulu izin ini-itu diurus belakangan. Sisi positifnya, pengangguran cepat terkurangi.

“Jalan pintas” maupun “cara damai” itulah yang terkadang pada sisi tertentu telah menggerakkan roda ekonomi, sosial, dan politik negeri ini. Dan cara penyelesaian seperti itu sebenarnya sudah menjadi tradisi di masyarakat, meski seringkali tak disadari kehadirannya.

Saya sering mengibaratkan negara ini sedang pada posisi terjepit. Pada sisi historis bangsa ini lama tercengkeram dalam pola pemerintahan yang “melegalkan” suap. Pada masa kerajaan Mataram misalnya, seseorang harus memberikan upeti untuk mendapatkan lelungguhan (jabatan). Orang yang “lungguh” itu memiliki cacah yang juga harus menyetor upeti kepada dirinya dalam kapasitas sebagai abdi.

Tapi pada sisi lain, negeri ini dihantam budaya konsumerisme. Siapapun tergoda untuk hidup mewah. Ketika dorongan itu begitu kuat, dan dia seorang pejabat atau pengusaha maka sangat mudah tergelincir ke korupsi. Saat ini, pejabat “dipaksa” memiliki mobil mewah berplat nomor khusus. Istrinya belanja ke Singapura, dan anaknya kuliah di Amerika.

Maaf, mungkin saya memandang sesuatu terlalu mengerikan. Saya ingin menutup tulisan ini dengan syair tentang masa kegelapan karya Ronggowarsito : Amenangi jaman edan/ Ewuh aya hing pambudi/ Melu edan nora tahan/ Yen tan melu anglakoni/ Boya kaduman melik/ Kaliren wekasanipun.

Selasa, 14 Juni 2011

Anak Kita Menyanyi Lagu Apa?



Oleh : Nanang Fahrudin
(Dimuat di Koran SINDO edisi Jatim, Minggu 12 Juni 2011)

Suatu siang keponakan saya pulang dari sekolah dengan wajah senang. Ia kelas 1 SD di kampung. Wajahnya bulat dengan rambut agak keriting. Dengan wajah masih merah kepanasan, ia bercerita akan tampil menyanyi di panggung sekolah. Saya pun senang karena keponakan itu begitu riang. Saya pun bertanya lagu apa yang akan dinyanyikan. Dia menjawab dengan suara mantab : cinta satu malam.

Dek. Saya pun kaget dan kembali bertanya siapa yang memilih lagu itu. Dengan polos ia menjawab : saya dan bu guru, tadi diajari jogetnya sama bu guru. Ingatan saya pun langsung nempel pada seorang anak kecil usia enam tahunan saat perayaan tahun baru di atas kapal yang melaju dari Tanjung Priok hingga Tanjung Perak beberapa waktu lalu. Si anak itu begitu hafal dengan lagu-lagu Cinta Satu Malam, Keong Racun, dan lagu-lagu dangdut lain. Tak ketinggalan sambil bernyanyi ia berjoget dengan gaya joget patah-patah, ngebor, dan entah apa lagi.

Ya, dunia anak kecil memang semakin terdesak di pojokan dunia orang dewasa yang egois. Coba kita amati dunia anak sekeliling kita. Bisakah mereka bermain dalam waktu lama bersama teman-teman sebayanya, menikmati dunia kanak-kanak. Anak-anak kini dipaksa hidup dengan cara orang dewasa, mengikuti irama kehidupan orang tua. Pagi hari, mereka berangkat ke sekolah. Siang mereka diwajibkan les privat pelajaran. Waktu ujian nasional mereka “dipaksa” oleh sistem untuk mulai contek-mencontek.

Ketika anak berada di rumah, mereka lebih asyik menonton televisi yang acaranya lebih banyak didesain untuk kalangan orang dewasa. Tapi mereka pun pada akhirnya dibawa ikut menikmati tayangan-tayangan itu. Tak heran jika anak usia SD sudah hafal lagu-lagu orang dewasa.

Kita pun sulit menemukan anak-anak di sekitar kita yang asyik melantunkan lirik : Kuambil buluh sebatang/ kupotong sama panjang/ kuraut dan kutimbang dengan benang/
kujadikan layang-layang….Bermain berlari/ bermain layang-layang/ berlari kubawa ke tanah lapang/ hatiku riang dan senang.

Atau dengan riang menyanyikan lagu : pada hari Minggu ku turut ayah ke kota/ naik delman istimewa ku duduk di muka/ ku duduk samping pak kusir yang sedang bekerja/ mengendarai kuda supaya baik jalannya/ tuk-tik-tak-tik-tuk tik-tak-tik-tuk tik-tak-tik-tuk/tuk-tik-tak-tik-tuk tik-tak suara s'patu kuda. Tapi kita akan mudah mendengar di sekitar kita anak-anak menyanyikan : cinta satu malam oh indahnya/ cinta satu malam membuatku melayang….dst.

Entahlah. Siapa yang harus disalahkan. Atau saya yang mempertanyakan itulah yang keliru. Terlalu bernostalgia. Toh anak-anak sekarang juga begitu enjoy menyanyikan lagu orang dewasa plus gayanya tersebut. Tak ada lagi idola anak seperti pada tahun 1980-1990 an. Pada era itu kita menemukan penyanyi cilik Boneka Suzan (Eri Suzan), Bondan Prakoso, Eno Lerian, Trio Kwek-Kwek dan penyanyi cilik lain. Lingkungan benar-benar sudah menjauhnya dunia anak tersebut dari mereka.

***

Ketika lagu menjadi (hanya) sebuah produk industri massal, sebagian orang menempatkan dirinya juga hanya sebagai konsumen dan penikmat saja. Tak ada sikap kritis yang mempertanyakan apakah lagu itu memiliki nilai positif atau negatif, terutama bagi anak. Lagu pada akhirnya hanya dimaknai sebagai suatu hiburan, tanpa ada efek apapaun. Jarang sekali (mungkin tak pernah) lirik lagu disensor akibat makna yang terkandung memiliki nilai yang tidak selaras dengan pendidikan atau moralitas. Sebut saja lirik lagu Cinta Satu Malam, atau lagu Mari Bercinta. Kita hanya melihat adanya sensor lirik lagu karena dianggap secara estetika tidak bagus seperti lagu berjudul Udin dan lagu yang dinyanyikan Wali karena ada kata : Bajingan.

Ya, negeri ini memang sedang dilanda miskin lagu anak. Generasi yang 20 tahun lagi akan menjadi mahasiswa, pemuda-pemuda kampung, atau politisi-politisi itu telah menjadi dewasa sebelum ia dewasa, dengan lagu-lagu yang setiap hari dinikmatinya dari televisi, radio, maupun lingkungan sekitar. Kini tak ada lagi sosok pencipta lagu seperti AT Ahmadi yang menciptakan lagu Ambilkan Bulan Bu, atau Papa T Bob yang menciptakan lagu Semut-semut Kecil dan lagu Si Lumba-lumba. Semakin sedikit yang peduli jika lagu anak akan mempengaruhi psikologis, cara berpikir dan cara berperilaku anak.

Senin, 06 Juni 2011

Dunia Bungkus Membungkus


(Dimuat di Harian Seputar Indonesia Jawa Timur, Minggu 5 Juni 2011)
Oleh : Nanang Fahrudin

Jika anda kebetulan naik bus jurusan Surabaya-Bojonegoro, anda mungkin akan bertemu dengan grup pengamen di dalam bus yang melaju kencang. Saya sebut grup karena terdiri dari seorang pemuda (mungkin bapak), perempuan muda (mungkin ibu), dan bayi usia satu tahunan (mungkin anak) dalam gendongan sang perempuan. Suara “artis” perempuan itu melengking sahdu dengan genjrengan gitar bernada musik dangdut. Sesekali si bayi (sambil ngedot susu) ikut menggerakkan tangan seperti orang menari.

Dalam hitung-hitungan matematis, lagu sahdu ditambah bayi yang lusuh dan kotor pastilah akan berbuah rasa iba. Ya, dan itulah memang yang diharapkan oleh grup itu. Usai dua lagu, pemuda itu mengatakan “nyuwun sak ikhlase, damel nedo lare alit niki” dengan sopannya. Setelah itu, giliran tugas perempuan dengan bayi dalam gendongan berjalan ke deretan kursi bus menyodorkan bungkus permen. Sepuluh orang dilewati hanya satu dua yang menyemplungkan uang ke plastik itu. Pemuda itu pun marah “nek dijaluki wong gawe mendem ae diwenehi, ooo…” dengan galaknya.

Ya. Begitulah. Dunia ini penuh dengan “bungkus”. Apa yang ditunjukkan (tampak) tak selalu merujuk pada apa yang sebenarnya. Dan semua orang memaklumi begitu saja, tak terkecuali grup pengamen tadi. Seakan bungkus membungkus itu adalah bersifat naluriah manusia. Pengamen membutuhkan bungkus agar penumpang merasa iba. Seorang pejabat butuh bungkus agar mendapat dukungan ekonomi dan politik. Parpol butuh bungkus agar konstituen bertambah saat pemilu. Sekolah memerlukan bungkus untuk berebut siswa. Begitu seterusnya.

Bungkus membuat yang cantik menjadi lebih cantik, yang tidak pantas menjadi lebih pantas, yang jelek menjadi bagus. Semua bidang memerlukan bungkus agar bisa terlihat bagus. Sayangnya bungkus kotor ataupun bersih seringkali bercampur baur dan sulit dibedakan jika hanya dilihat sekilas. Jasa membungkus pun kini banyak dicari orang. Karena membungkus membutuhkna tips dan trik yang jitu. Soal isi, nanti sajalah.

Ketika Soeharto nangkring di puncak kekuasaan dibuatlah ribuan bungkus nan indah. Disebutnya era itu sebagai orde baru, sebuah harapan baru. Ketika orde baru berakhir, kaum reformis mengganti bungkus menjadi orde reformasi, era menuju kebebasan. Dua bungkus yang berbeda, tapi nasib rakyat tetaplah sama. Modal asing tetap mencengkeram negeri ini, kemiskinan tetap menjadi masalah besar bangsa.

Kini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) getol memberantas korupsi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lantang menyuarakan pemerintahan yang bersih. Parpol-parpol berteriak siap mensejahterakan rakyat. Sekolah murah, biaya kesehatan murah, tak ada pungutan liar (pungli) saat warga mengurus KTP, atau pengusaha kecil mendapat akses bantuan dengan bunga rendah. Semua pejabat mulai tingkat gubernur, bupati, wali kota, hingga kepala desa terus berkampanye demi kepentingan rakyat. Ya, semua demi rakyat. Dan semoga itu bukan bungkus doang.

Pada sisi lain, masyarakat sudah begitu terbiasa dengan bungkus-bungkus yang seringkali kosong tanpa isi itu. Mereka akhirnya tak lagi mempercayai semuanya. Karena semua terlanjur disebutnya bungkus. Dan ketika negara tak lagi dipercaya mampu menjamin kehidupan mereka akan lebih baik, masyarakat menjadi sangat individualis dan sak karebe dewe. Mencari selamat sendiri. Berusaha menjamin kehidupannya sendiri. Persaingan pun menjadi tidak sehat karena tidak ada aturan yang tegas dari negara.

Seorang terjerat hukum lebih memilih menyuap hakim, karena tidak lagi percaya ia akan mendapatkan keadilan ketika sidang berjalan “normal”. Peserta tes CPNS memilih membayar uang sogokan agar bisa diterima menjadi PNS, karena yakin jika dengan “cara normal” ia tak akan lolos tes. Seorang guru harus lebih sibuk dari siswanya saat Ujian Nasional (UN) digelar, karena mempersiapkan jawaban.

Ya, dunia bungkus membungkus ini memang sedang nyandung nylimpet di setiap langkah bangsa ini. Dunia topeng, dunia pencitraan, dunia permukaan. Lalu di mana isinya?. Munkinkah kita harus membuka satu persatu bungkus-bungkus itu agar mengetahui isinya. Apakah berisi kemanusiaan, atau kebinatangan. Mari kita diskusikan bersama.
 
© Copyright 2035 godongpring