Selasa, 26 April 2011

Kopi oh..Kopi (bagian pertama)

Oleh : Nanang Fahrudin

Hmm…sepertinya aku harus memulai menulis catatan ini dengan nyruput kopi. Kopi yang masih panas dengan gelas dan lepek bening. Beberapa orang yang duduk di sekitarku juga ditemani kopi, begitu asyik. Ah sebenarnya semua orang di sini tak hanya ditemani kopi, ada juga es teh atau teh panas. Maaf, karena kopi lebih menarik untuk kuamati. Dia begitu menggoda.

Entah kenapa, kopi selalu inspiratif buatku. Kopi bisa menjadi teman, kopi sering mengajakku berimajinasi, kopi banyak mengajariku akan banyak hal. Ngopi (minum kopi) tak sekedar menikmati kopi, melainkan juga menikmati suasana, keakrabannya, menghadirkan kenyamanan, dan dengan kopi hidup menjadi lebih “sehat”.

Bagi masyarakat bawah kopi adalah sebuah “halte” tempat berhenti sementara setelah lelah bekerja seharian. Kopi seperti undangan menghadirkan energi agar bisa kembali bekerja. Di kalangan petani, buruh bangunan, tukang kayu, dan pekerja kasar lainnya, kopi selalu hadir menemani mereka saat istirahat siang. Usai nyruput segelas kopi, mereka tidur sejenak dan teng pukul 13.00 mereka akan mulai bekerja lagi.

Masyarakat kampungku juga minum kopi setiap pagi. Kata mereka kopi adalah pembuka kehidupan. Ibarat tirai pagi dibuka, kopi harus menemani embun-embun yang sebentar lagi kering serta kabut yang tak lama lagi menghilang. Kopi panas dengan suasana sejuk pagi. Aih, begitu indahnya.

Di kota, kopi juga menjadi keseharian. Menemani gerak hidup buruh-buruh pabrik, penjaga toko, tukang becak, tukang ojek dan “manusia bawah” lainnya. Sehingga, warung kopi pun menjamur. Di emperan toko banyak kita temukan warung kopi (warkop), di trotoar, di lahan parkir, di mana pun ada tempat ukuran 3 x 3 meter maka jadilah warkop. Bahkan, di sebuah kantor banyak menyediakan tempat khusus untuk nyruput kopi. Ya, ngopi adalah sebuah halte, berhenti sejenak, mengumpulkan energi untuk kembali beraktifitas.

Masyarakat bawah lebih egaliter soal kopi. Siapapun bisa nongkrong di warung kopi, karena harganya hanya Rp1.000-3.000/gelas. Siapapun bisa menyapa siapa yang ada di warkop tersebut. Akrab dan bersahabat. Kopi di warkop bisa mendekatkan itu semua. Akhirnya kadang kita bisa punya kenalan dari warkop, dapat pekerjaan dari warkop, atau dapan omelan dari warkop.

Kopi pun pada akhirnya menjadi gaya hidup. Masyarakat atas pun menjadikan kopi sebagai “halte” untuk keluar sejenak dari rutinitas bekerja. Atau sekedar bertemu dengan rekan kerja, teman kencan, atau rapat antarkoruptor. Warkop dirubah menjadi café. Negara-negara maju pun menghadirkan kopi dengan stempel modernitas. Harga pun menjadi melambung, karena mereka menjual gaya hidup yang mewah, gaya hidup penghamba modernitas. Segelas kopi bisa Rp50.000 hingga Rp100.000.

Sama halnya dengan masyarakat bawah, ngopi bagi masyarakat kelas atas adalah sebuah keseharian yang inspiratif. Banyak pejabat negara yang rapat di café, pengurus parpol melakukan pertemuan di café, banyak hal diselesaikan di café. Café di kota besar juga sering buka 24 jam. Seperti halnya warkop yang terus buka meski hari menjelang pagi.

Pada akhirnya, kopi adalah milik semua orang. Masyarakat atas ngopi di café yang katanya kopinya kopi pilihan. Sedang masyarakat bawah ngopi cukup di warkop, ditemani kebisingan kendaraan, ditemani penikmat kopi lainnya, membaca koran dan bercakap-cakap kesana kemari. Kopi terkadang membentuk kelasnya sendiri-sendiri.

Ah, kopiku sudah dingin. Tapi tetap enak untuk disruput. Ditemani buku novel sejara Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa karya Yusuf Bilyarta Mangunwijaya. Hmm….kopi memang asyik dan selalu inspiratif. Silahkan kopinya disruput…

Surabaya, 26 April 2011

Minggu, 24 April 2011

Kartini-Kartian Dulu

Oleh : Nanang Fahrudin

Tanggal 21 April 2011. Ketika siang belum puncak, aku membuka fesbuk. Status tentang Kartini banyak diunggah. Ya, hari ini memang Hari Kartini. Sebagian sempat kubaca. Di antaranya “Selamat Hari Kartini 2011. Jayalah Terus Kartini-Kartini Masa Kini.....” yang diunggah oleh Subairi, sahabat dari Madura. Atau status teman lain yang agak kocak “Kartono sedang mengucapkan hari kartini..kartono berharap pada kartini agar tetap menjadi perempuan Indonesia” yang ditulis oleh Birumu Badai. Kawan lain lagi menulis “Seorang nenek sedang menjual bunga, untuk menyambung hidup yang kian sulit seperti sekarang ini. Selamat Hari Kartini nek,.....teruslah berjuang” yang ditulis oleh Ario Djohar.

Ya, hari Kartini. Banyak yang merayakannya. Hiruk pikuk siswi memakai kebaya membuat acara di tiap sekolah. Orang tua sibuk pergi ke salon pagi-pagi sekali untuk mendandani anaknya mengenakan kebaya dan sanggul. “Kartini-Kartinian” katanya. Hari yang sibuk, sibuk dengan segala sesuatu yang dianggap berbau Kartini.

Semua sibuk, semua gembira. Media massa (terutama koran) menyajikan berita-berita perempuan yang mempunyai semangat, prestasi, dan keunggulan di bidangnya masing-masing. Katanya, inilah Kartini-Kartini modern. Penyanyi-penyanyi perempuan nan seksi tampil di layar kaca untuk memperingati Hari Kartini tersebut. Ya, Hari Kartini yang menyenangkan.

Dan ketika aku menyaksikan, membaca, mendengarkan semua tentang Hari Kartini hari ini, ingatanku malah nemplek di tiga perempuan tetanggaku di desa di Bojonegoro. Daerah kaya minyak. Tiga perempuan yang sudah berusia rata-rata 50 an tahun. Perempuan pertama punya dua anak. Satu perempuan, satu laki-laki. Anak pertama sudah menikah dan kini sebagai penjual kue keliling kampung pagi hari. Sedang anak kedua, sudah empat tahun pamit kerja tapi tak juga balik ke rumah. Perempuan pertama ini sering menangis jika datang ke rumah saya saat ingat anaknya. Dan suaminya bertahun-tahun sakit linu dan tidak bisa lagi bekerja. Perempuan pertama ini sendiri menjadi pembantu rumah tangga.

Sedang perempuan kedua, rumahnya di sebelah rumah perempuan pertama pas. Setahun yang lalu suaminya meninggal setelah sakit keras. Anak-anaknya sudah “hidup mandiri” jauh dari perempuan kedua ini. Ia makan dari mencari padi sisa (ngasak) saat ada orang panen. Jika tak musim panen, ia menjual apa saja yang biasa dijual. Kadang jarik, ayam, telur ayam, piring, atau barang-barang lain. Sering istri ditawari barang-barangnya, yang akhirnya uang diberikan tapi barangnya tetap dibiarkan ada pada perempuan kedua ini. Kasihan, kata istriku.

Nah, cerita perempuan ketiga lain lagi. Ia punya dua anak, dua-duanya perempuan. Semuanya bekerja di Surabaya. Jadi dia hanya sendirian di rumah. Nasibnya lebih beruntung karena selalu mendapat kiriman uang dari anaknya yang bekerja.

Perempuan pertama yang saya ceritakan awal lebih “kaya” karena bisa membeli pesawat televisi dan memasang listrik. Sedang perempuan kedua dan ketiga tidak memiliki pesawat televisi atau aliran listrik sendiri. Rumah tiga perempuan itu berdempetan, mirip tiga rumah kembar siam. Bentuk dan ukurannya sama. Dinding anyaman bambu, lantai tanah, tak ada jendela. Oh ya, tidak punya wc dan kamar mandi permanen.

**

Tiga perempuan itu tak mengenal perjuangan Kartini. Mungkin karena ia merasakan beban hidup yang begitu berat. Satu-satunya “hiburan” adalah ketika besok mereka tidak diributkan dengan beras yang habis dan uang yang tidak ada. Jurus selanjutnya, mereka menjual barang-barang yang masih mereka miliki. Untuk sekedar makan.

Pada Hari Kartini pun mereka tetap melanjutkan hidupnya seperti biasa. Tak ada yang berbeda. Mereka hanya tahu jika anak-anak usia SD pulang dari sekolah dengan berpakaian kebaya dan diberitahu ada “Kartini-Kartinian”. Mereka bukan Kartini. Tapi semangat hidup mereka sebesar Kartini yang memimpikan perempuan pribumi yang cerdas.

Kartini dikenal dengan pikiran-pikirannya yang menggugat kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Pikiran-pikiran itu tercermin dalam surat-suratnya yang kemudian banyak dibukukan. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar.

Ia lahir pada 21 April 1879 dan meninggal pada usia 25 tahun, tepatnya tanggal 17 September 1904. Jika pada masa itu, masyarakat kita dikungkung dengan feodalisme ala Jawa, Kartini melawan dengan mendirikan sekolah. Tapi apakah feodalisme yang mengungkung masyarakat kita saat ini?. Jangan-jangan bukan feodalisme, melainkan modernitas yang mengungkung.

**

Siapa Kartini masa kini?. Banyak yang memberikan definisi bahwa Kartini masa kini adalah para perempuan yang produktif, punya jabatan atau profesi yang sejajar dengan laki-laki. Kartini masa kini adalah mereka yang memiliki semangat perubahan tinggi, atau mereka yang punya mimpi besar memajukan bangsa Indonesia terutama kaum hawa.

Tapi benarkah definisi itu digenggam masyarakat kebanyakan yang tercermin ke dalam perilaku?. Saya tidak bisa memastikan. Tapi mari kita coba melihat keseharian masyarakat perempuan yang ada di sekitar kita. Siapa tahu secara tidak langsung bisa menjawabnya.

Kita awali di keseharian anak-anak perempuan kita. Usia anak-anak, mereka akrab dengan televisi. Di layar kaca itu, sinetron yang menampilkan artis-artis perempuan menjadi makanan keseharian. Mereka pun “kenal banget” dengan nyanyian “cinta satu malam” atau “keong racun”. Hidup mereka juga sudah begitu instant, mainan-mainan semua serba berbau elektronik. Mereka kehilangan dunia anak, tergantikan oleh dunia dewasa.

Sedang usia remaja, mereka begitu mengidolakan Justin Beaber. Mereka menggilai penyanyi Geisha, atau berdandan seperti Cinta Laura. Perilaku dan pakaian pun dibuat-buat seperti mereka para artis perempuan. Kaos ketat, celana pendek ketat, dan sepatu lukis. Ke mana-mana menggenggan ponsel.

Para perempuan kita sekarang lebih asyik menikmati modernitas yang datang tak terbendung. Kekhawatiran yang muncul adalah mereka hanya sebagai penerima, penikmat, konsumen, pengagum modernitas, yang pada akhirnya menumpulkan kreativitas dan kekritisan. Mereka terlalu asyik menikmati dunia permukaan masa kini.

Sementara para perempuan tua (usia 40-50) di pedesaan banyak terperosok dalam kubangan kemiskinan. Mereka hidup hanya menjalani apa yang ada sehari-hari. Tak ada mimpi lagi. Seperti kehidupan tiga perempuan yang saya ceritakan di awal tadi. Tiga perempuan dengan tiga rumah kembar siam.

Pada akhirnya, siapa yang mengagumi Kartini saat ini?. Benarkah sekarang banyak Kartini masa kini?. Anda berhak menjawabnya sendiri. Salam.

Senin, 11 April 2011

Kisah Orang Terkutuk


Catatan Pendek Buku 'Keluarga Pascual Duarte'

Ketika anda membaca karya-karya sastra karangan Habiburrahman El Shirazy, Andrea Herata, Kuntowijoyo, atau mungkin karya Pramoedya Ananta Tour, maka anda akan menemukan nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh penulis. Pramoedya menentang ketidakadilan dengan tokoh Sanikem atau Nyai Ontosoroh dan menantunya Minke dalam tetralogi pulau Buru. Kuntowijoyo membawa obor pencarian makna kehidupan dengan tokoh Barman dalam novel Khotbah di Atas Bukit. Atau nilai-nilai spiritual yang kental dalam karya Habiburrahman El Shirazy dan nilai-nilai keagungan spirit kehidupan dalam novel Andrea Herata.

Semua karya sastra tersebut seperti sebuah khotbah. Menunjukkan pembaca yang “baik” dan yang “buruk”. Pembaca seakan diajak bertamasya dengan nilai-nilai kemanusiaan yang sudah seharusnya dijunjung tinggi oleh manusia itu sendiri. Pembaca diajak berdialog dengan tokoh-tokoh dalam setiap karya sastra. Berdialog dengan nilai-nilai yang dibawa pengarang. Ending nya seperti apa, itu tergantung dengan akhir dialog dan pemaknaan kita terhadap karya sastra tersebut.

Nah, bagaimana kalau anda tiba-tiba dihadapkan pada sebuah karya sastra yang nyaris tak ada nilai-nilai kemanusiaan yang luhur di dalamnya. Jika biasanya karya sastra itu memalingkan diri dari kejahatan, keegoisan, kriminalitas, dan segala sesuatu yang buruk, maka karya sastra itu malah memeluknya erat-erat. Bagaimana rasanya?. Mungkin itulah yang saya rasakan saat membaca novel Keluarga Pascual Duarte karya Camilo Jose Cela, seorang sastrawan besar dari Spanyol.

Cela memang digolongkan sebagai sastrawan yang menganut nihilisme dan anti kepahlawanan. Dalam Keluarga Pascual Duarte, tokoh utama yakni Pascual Duarte adalah sosok yang jahat dan terkutuk. Tak ada yang baik dari dirinya, karena tertutupi oleh kejahatan dan kebiadaban yang dilakukannya berulang-ulang. Hingga akhirnya, ia menunggu hukuman mati yang dijatuhkan oleh pengadilan.

Pascual kecil hidup dalam kemelaratan. Orang tuanya selalu saling memaki, saling memukul, dan saling membenci. Pascual selalu ketakutan saat melihat bapaknya marah dan memukuli ibunya. Ibunya tak kalah bengis, dan selalu melawan secara fisik jika dipukul. Pascual melihat sosok bapaknya sebagai monster yang paling jahat. Bahkan ketika bapaknya mati setelah terkena rabies, ia merasa senang. Tapi di sisi lain dia membenci ibunya karena tertawa lebar saat melihat bapaknya (suaminya) meninggal. Bapak Pascual matinya juga mengenaskan. Ia dikerangkeng di dalam almari berminggu-minggu seperti hewan sampai ajalnya datang. Sangat tidak manusiawi bukan?.

Gambaran kebiadaban perilaku seorang manusia tak berhenti disitu. Pascual dewasa mempunyai sisi psikologis yang “aneh”. Ia menikah dengan Lola yang ia setubuhi di pekuburan usai mengubur bapaknya. Lola hamil tapi keguguran akibat dihempaskan oleh kuda tunggangan dari punggungnya. Tahu akan hal itu, Pascual membunuh kudanya dengan sangat keji, yakni menikamkan pisau berulangkali.

Pascual yang ganjil terus menjalani hidupnya yang juga ganjil. Ia lalu membunuh seorang pria yang menodai adiknya, sekaligus menodai istrinya. Saat semua berlangsung terhadap dua wanita yang dia sayangi, Pascual sedang berada di penjara karena melukai seorang temannya hanya gara-gara saling ejek. Usai membunuh dia dipenjara. Tapi dia bisa menahan emosinya untuk berbuat baik agar masa hukumannya dipotong.

Keluar penjara dia pulang ke rumah. Ia berharap ibunya memeluknya karena kangen. Tapi ibunya ternyata sangat membencinya. Ibunya selalu marah-marah dengan umpatan-umpatan. Hingga tibalah saat yang menegangkan, yakni Pascual membunuh ibunya sendiri dengan tikaman berkali-kali. Saat itu, ibunya sedang tidur nyenyak. Lola istrinya hanya gemetar saat melihat adegan mengerikan itu.

Ah, benar-benar sebuah kisah yang buruk. Kisah orang-orang yang terkutuk. Tak ada nilai-nilai kemanusiaan yang coba dijunjung tinggi. Tak ada khotbah kebaikan seperti novel-novel pada umumnya. Tapi seperti kisah iblis yang menentang Adam, semua bisa berujung pada sisi positif. Karena yang buruk tak selalu berakibat buruk.
Satu hal terpenting adalah kisah Keluarga Pascual Duarte seakan hendak mengatakan “hei jangan seperti ini”. Tak heran jika Anthony Kerrigan saat memberi pengantar dalam novel ini menuturkan “Keluarga Pascual Duarte adalah studi tentag psikologi rasa takut, tentang sikap agresif yang tumbuh dari rasa takut dan rasa malu, dan mengenai rasa bersalah tentang kedua perasaan itu”.

Ketika membaca sampai pada bagian ini, saya langsung teringat studi kekerasan yang dilakukan F Budi Hardiman dalam bukunya Memahami Negativitas. Menurut dia, kekerasan bisa hadir secara liar dalam diri manusia karena berawal dari ketakutan. Dia takut eksistensinya hilang. Dia takut dengan “the other”. Seperti halnya ketika kelompok satu takut jika kelompok lain meniadakan kelompoknya. Ketakutan akan “yang lain” itu bisa berujung pada kekerasan yang mengerikan.
Selamat membaca novel tersebut!. Salam!.

Surabaya, 23 Maret 2011
 
© Copyright 2035 godongpring