Jumat, 01 November 2013

Bojonegoro dan Sejarah yang Bopeng

Oleh Nanang Fahrudin


            Ketika Museum Rajekwesi di Bojonegoro “digusur” lantaran gedung yang ditempati di Jalan Patimura diambil oleh pemiliknya, yakni Dinas Pendidikan, tak ada upaya Pemkab untuk menempatkan benda-benda bersejarah itu di tempat “terhormat”. Benda-benda itupun diletakkan di salah satu ruang kelas SDN Model Terpadu di Desa Sukowati, Kecamatan Kapas.

            Nasib museum Rajekwesi bisa menjadi gambaran bagaimana kota ini menempatkan sejarah. Apalagi, pemindahan itu berlangsung pada waktu gegap gempita Pemkab Bojonegoro merayakan Hari Jadi Bojonegoro (HJB) ke-336. Tak ada pejabat yang melirik nasib museum itu. Bahkan, lebih lucu lagi, Pemkab menggelar sebuah lomba membuat sketsa Prabu Anglingdharma, seorang tokoh legenda Raja Kerajaan Malowopati.

            Sejarah, sebagaimana yang ditulis oleh W.H. Frederick dan S. Soeroto (Pemahaman Sejarah Indonesia, LP3ES, 1982:4) adalah bukan sekadar masa lalu. Karena sejarah adalah perspektif tentang masa lampau, atau proses pemikiran tentang masa lampau (melalui metodologi) agar bisa dipahami oleh masyarakat sekarang.

            Pemkab Bojonegoro pernah membentuk tim penggali dan penyusun sejarah hari jadi Bojonegoro tahun 1985, yang hasilnya kemudian dibukukan dengan judul Sejarah Kabupaten Bojonegoro (Menyingkap Kehidupan dari Masa ke Masa). Dalam buku yang diterbitkan pada tahun 1988 itu sudah ada pemisahan tegas antara sejarah dan legenda. Prabu Anglingdharma disebut sebagai legenda, bukan sejarah. Perlu diingat, bahwa buku itu terbitan Pemkab Bojonegoro sendiri.

            Cerita Anglingdharma dimasukkan di bagian yang menyangkut kesenian. Cerita rakyat itu ditulis lumayan lengkap, yakni mulai halaman 467 hingga halaman 488. Bukan masuk pada bagian yang membahas sejarah Bojonegoro. (Mungkin) generasi sekarang perlu meneliti kapan cerita rakyat itu dibuat dan begitu merakyat.

Sekadar perbandingan, di Kerajaan Blambangan dikenal Prabu Menakjinggo, Dayun, Ratu Ayu Kencana Wungu, Raden Damarwulan, Patih Logender, dan tokoh-tokoh lain. Namun, setelah diteliti ternyata nama-nama itu hanyalah legenda semata. Pembuat cerita rakyat tak lain Pemerintah Kolonial Belanda. Karena Belanda memiliki kepentingan untuk mengaburkan semua sejarah. (lihat Sri Adi Soetomo, Kisah Perjuangan Menegakkan Kerajaan Blambangan, Sinar Wijaya, 1987).

Saya bukan hendak membuat tali simpul yang sama atas cerita Prabu Anglingdharma di Bojonegoro. Namun tidak ada salahnya melakukan penelitian atas (kapan dan untuk apa) cerita Kerajaan Malowopati tersebut. Apalagi, WH Frederick dan S. Soeroto mencatat pada abad ke-19 adalah zaman “kejam” bagi sejarah di Indonesia, khususnya Jawa. Sarana untuk mengumpulkan pemikiran sejarah hampir semuanya di tangan orang barat (tingkat tertentu orang China).
           
            Campur Aduk 

            Masalahnya sebenarnya, bagaimana Pemkab Bojonegoro dan masyarakat Bojonegoro memahami sejarahnya sendiri. Ketika museum ditelantarkan sedang pemkab memilih membuat lomba sketsa Prabu Anglingdharma, sebenarnya hal itu adalah sebuah petunjuk bagaimana pemkab memandang sejarahnya sendiri.

            Ada sekian tokoh dalam sejarah yang dekat dengan Kerajaan Jipang, lalu berubah menjadi Rajekwesi, dan terakhir berubah menjadi Bojonegoro. Jika hendak mengambil dari orang-orang yang berada di puncak pemerintahan, ada lebih dari 30 tokoh sejarah yang berhubungan dengan Bojonegoro. Mulai Pangeran Mas Tumapel (1677-1705), hinga Bupati Bojonegoro saat ini, Suyoto.  (nama-nama bupati mudah diketahui).

            Jika hendak melihat sejarah yang heroik, Aria Sasradilaga adalah tokoh paling tepat. Adipati yang menjabat tahun 1827-1828 ini memiliki peran besar pada Perang Diponegoro. Karena perlawanan Sasradilaga membuat perang melawan Belanda terus meluas di sejumlah tempat.

Juga ada Adipati Tirtonoto II  yang menjabat tahun 1878-1888. Adipati Tirtonoto II merupakan cucu Adipati Tirtonoto I atau juga dikenal dengan nama Raden Bei Tirtodipoero. Pada masa Tirtonoto II ini, hasil produksi tanaman tembakau dikenal luas di mana-mana. Hal ini setelah dibangun jalur kereta api Surabaya-Semarang tahun 1862 pada masa pemerintahanTirtonoto I, yang membuat jalur pengiriman tembakau semakin cepat.

Adipati Tirtonoto II sendiri merupakan kakek dari Tirto Adhie Soerjo (1880-1918) yang kemudian dikenal sebagai Bapak Pers Nasional dan mendapat gelar Pahlawan Nasional.  Dalam buku Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer (Hasta Mitra,1985), istri Tirtonoto I  yang dikenal dengan nama Raden Ayu Tirtonoto yang begitu pemberani. Raden Ayu pernah menghadap Gubernur Jenderal Otto van Rees agar sesuai aturan, anak mereka yang akan menjabat Adipati menggantikan suaminya yang meninggal dunia. Namun, Gubernur Jenderal menolak tuntutan itu. Mendapat penolakan itu, Raden Ayu Tirtonoto bukan mengemis melainkan berkata “Jika benar pemerintah bersanggup begitu, maka anak cucu hamba suruh mencari pahala dalam kemiskinan, artinya tidak dengan pertolongan, hanya tenaganya sendiri”. (Hal: 11).

Lalu, jika hendak mencari tokoh di luar pemerintahan, jumlahnya akan lebih banyak lagi. Salah satunya adalah Samin Surosentiko yang lahir tahun 1859 di Desa Ploso Kediren, Randublatung. Orangtuanya Kiai Keti dari Rajekwesi.  Gerakan Samin dengan penolakannya membayar pajak sangat merepotkan Pemerintah Hindia Belanda. Selain Samin, tokoh-tokoh kesenian lain, tokoh agama (pesantren), dan tokoh-tokoh sejarah lain jumlahnya sangat banyak.

Nah, sudah saatnya, sejarah lokal Bojonegoro mendapat perhatian Pemkab. Sangat wajar ketika sebagian masyarakat “marah” ketika Pemkab lebih mengenalkan legenda daripada sejarah. Membuat lomba sketsa Prabu Anglingdharma bukanlah hal yang perlu dianggap nyleneh, tapi yang nyeleneh adalah ketika Pemkab Bojonegoro memosisikan legenda begitu terhormatnya, tapi menempatkan sejarah pada posisi bawah. 

Dalam sebuah buku berjudul Prabu Anglingdarmo dan Aji Gineng (terbitan PT Intan, 1985) sendiri disebutkan banyak hal positif yang bisa dipetik dari cerita Anglingdarma, khususnya bagi anak-anak. Sang Prabu adalah raja yang bijaksana dan sakti. Namun, bukan saatnya lagi Bojonegoro diselimuti oleh legenda, ketika sejarah juga perlu dirawat. Oleh karena itu, pemkab bisa menempatkan legenda maupun sejarah pada porsinya masing-masing, tanpa harus meniadakan salah satunya. Salam.

*) Tulisan ini dimuat di tabloid blokBojonegoro edisi Oktober 2013
 
© Copyright 2035 godongpring