Oleh
Nanang Fahrudin
Ketika Museum Rajekwesi di
Bojonegoro “digusur” lantaran gedung yang ditempati di Jalan Patimura diambil
oleh pemiliknya, yakni Dinas Pendidikan, tak ada upaya Pemkab untuk menempatkan
benda-benda bersejarah itu di tempat “terhormat”. Benda-benda itupun diletakkan
di salah satu ruang kelas SDN Model Terpadu di Desa Sukowati, Kecamatan Kapas.
Nasib museum Rajekwesi bisa menjadi
gambaran bagaimana kota ini menempatkan sejarah. Apalagi, pemindahan itu
berlangsung pada waktu gegap gempita Pemkab Bojonegoro merayakan Hari Jadi
Bojonegoro (HJB) ke-336. Tak ada pejabat yang melirik nasib museum itu. Bahkan,
lebih lucu lagi, Pemkab menggelar sebuah lomba membuat sketsa Prabu
Anglingdharma, seorang tokoh legenda Raja Kerajaan Malowopati.
Sejarah, sebagaimana yang ditulis
oleh W.H. Frederick dan S. Soeroto (Pemahaman Sejarah Indonesia, LP3ES, 1982:4)
adalah bukan sekadar masa lalu. Karena sejarah adalah perspektif tentang masa
lampau, atau proses pemikiran tentang masa lampau (melalui metodologi) agar
bisa dipahami oleh masyarakat sekarang.
Pemkab Bojonegoro pernah membentuk tim
penggali dan penyusun sejarah hari jadi Bojonegoro tahun 1985, yang hasilnya
kemudian dibukukan dengan judul Sejarah
Kabupaten Bojonegoro (Menyingkap Kehidupan dari Masa ke Masa). Dalam buku
yang diterbitkan pada tahun 1988 itu sudah ada pemisahan tegas antara sejarah
dan legenda. Prabu Anglingdharma disebut sebagai legenda, bukan sejarah. Perlu
diingat, bahwa buku itu terbitan Pemkab Bojonegoro sendiri.
Cerita Anglingdharma dimasukkan di
bagian yang menyangkut kesenian. Cerita rakyat itu ditulis lumayan lengkap,
yakni mulai halaman 467 hingga halaman 488. Bukan masuk pada bagian yang
membahas sejarah Bojonegoro. (Mungkin) generasi sekarang perlu meneliti kapan
cerita rakyat itu dibuat dan begitu merakyat.
Sekadar
perbandingan, di Kerajaan Blambangan dikenal Prabu Menakjinggo, Dayun, Ratu Ayu
Kencana Wungu, Raden Damarwulan, Patih Logender, dan tokoh-tokoh lain. Namun,
setelah diteliti ternyata nama-nama itu hanyalah legenda semata. Pembuat cerita
rakyat tak lain Pemerintah Kolonial Belanda. Karena Belanda memiliki
kepentingan untuk mengaburkan semua sejarah. (lihat Sri Adi Soetomo, Kisah Perjuangan Menegakkan Kerajaan Blambangan, Sinar
Wijaya, 1987).
Saya
bukan hendak membuat tali simpul yang sama atas cerita Prabu Anglingdharma di
Bojonegoro. Namun tidak ada salahnya melakukan penelitian atas (kapan dan untuk
apa) cerita Kerajaan Malowopati tersebut. Apalagi, WH Frederick dan S. Soeroto
mencatat pada abad ke-19 adalah zaman “kejam” bagi sejarah di Indonesia,
khususnya Jawa. Sarana untuk mengumpulkan pemikiran sejarah hampir semuanya di
tangan orang barat (tingkat tertentu orang China).
Campur
Aduk
Masalahnya sebenarnya, bagaimana
Pemkab Bojonegoro dan masyarakat Bojonegoro memahami sejarahnya sendiri. Ketika
museum ditelantarkan sedang pemkab memilih membuat lomba sketsa Prabu
Anglingdharma, sebenarnya hal itu adalah sebuah petunjuk bagaimana pemkab
memandang sejarahnya sendiri.
Ada sekian tokoh dalam sejarah yang
dekat dengan Kerajaan Jipang, lalu berubah menjadi Rajekwesi, dan terakhir
berubah menjadi Bojonegoro. Jika hendak mengambil dari orang-orang yang berada
di puncak pemerintahan, ada lebih dari 30 tokoh sejarah yang berhubungan dengan
Bojonegoro. Mulai Pangeran Mas Tumapel (1677-1705), hinga Bupati Bojonegoro
saat ini, Suyoto. (nama-nama bupati
mudah diketahui).
Jika hendak melihat sejarah yang
heroik, Aria Sasradilaga adalah tokoh paling tepat. Adipati yang menjabat tahun
1827-1828 ini memiliki peran besar pada Perang Diponegoro. Karena perlawanan
Sasradilaga membuat perang melawan Belanda terus meluas di sejumlah tempat.
Juga
ada Adipati Tirtonoto II yang menjabat
tahun 1878-1888. Adipati Tirtonoto II merupakan cucu Adipati Tirtonoto I atau
juga dikenal dengan nama Raden Bei Tirtodipoero. Pada masa Tirtonoto II ini,
hasil produksi tanaman tembakau dikenal luas di mana-mana. Hal ini setelah
dibangun jalur kereta api Surabaya-Semarang tahun 1862 pada masa pemerintahanTirtonoto
I, yang membuat jalur pengiriman tembakau semakin cepat.
Adipati
Tirtonoto II sendiri merupakan kakek dari Tirto Adhie Soerjo (1880-1918) yang
kemudian dikenal sebagai Bapak Pers Nasional dan mendapat gelar Pahlawan
Nasional. Dalam buku Sang Pemula karya Pramoedya Ananta Toer
(Hasta Mitra,1985), istri Tirtonoto I
yang dikenal dengan nama Raden Ayu Tirtonoto yang begitu pemberani.
Raden Ayu pernah menghadap Gubernur Jenderal Otto van Rees agar sesuai aturan,
anak mereka yang akan menjabat Adipati menggantikan suaminya yang meninggal
dunia. Namun, Gubernur Jenderal menolak tuntutan itu. Mendapat penolakan itu,
Raden Ayu Tirtonoto bukan mengemis melainkan berkata “Jika benar pemerintah
bersanggup begitu, maka anak cucu hamba suruh mencari pahala dalam kemiskinan,
artinya tidak dengan pertolongan, hanya tenaganya sendiri”. (Hal: 11).
Lalu, jika hendak mencari tokoh di
luar pemerintahan, jumlahnya akan lebih banyak lagi. Salah satunya adalah Samin
Surosentiko yang lahir tahun 1859 di Desa Ploso Kediren, Randublatung.
Orangtuanya Kiai Keti dari Rajekwesi.
Gerakan Samin dengan penolakannya membayar pajak sangat merepotkan
Pemerintah Hindia Belanda. Selain Samin, tokoh-tokoh kesenian lain, tokoh agama
(pesantren), dan tokoh-tokoh sejarah lain jumlahnya sangat banyak.
Nah, sudah saatnya, sejarah lokal
Bojonegoro mendapat perhatian Pemkab. Sangat wajar ketika sebagian masyarakat
“marah” ketika Pemkab lebih mengenalkan legenda daripada sejarah. Membuat lomba
sketsa Prabu Anglingdharma bukanlah hal yang perlu dianggap nyleneh, tapi yang nyeleneh adalah ketika Pemkab Bojonegoro memosisikan legenda begitu
terhormatnya, tapi menempatkan sejarah pada posisi bawah.
Dalam
sebuah buku berjudul Prabu Anglingdarmo
dan Aji Gineng (terbitan PT Intan, 1985) sendiri disebutkan banyak hal
positif yang bisa dipetik dari cerita Anglingdarma, khususnya bagi anak-anak.
Sang Prabu adalah raja yang bijaksana dan sakti. Namun, bukan saatnya lagi
Bojonegoro diselimuti oleh legenda, ketika sejarah juga perlu dirawat. Oleh
karena itu, pemkab bisa menempatkan legenda maupun sejarah pada porsinya
masing-masing, tanpa harus meniadakan salah satunya. Salam.
*) Tulisan ini dimuat di tabloid blokBojonegoro edisi Oktober 2013