(Sebuah Catatan Sangat Biasa)
Oleh Nanang Fahrudin
September dan geger 1965 adalah tema menarik sepanjang sejarah Indonesia hingga kini. Perbincangan tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan segala hal yang berbau PKI masih terus menggelinding, mulai warung kopi emperan toko hingga kafe di lantai 5 sebuah mal.
Tak hanya PKI secara organisasi yang selalu menarik banyak kalangan, tapi juga para pengendalinya semacam DN Aidit, Muso, H. Misbach, Semaun, Alimin, hingga orang-orang yang “dekat” dengan PKI, macam Henk Ngantung, Sudjodjono, Joebaar Ajoeb hingga Pramoedya Ananta Toer. Segala hal tentang orang-orang tersebut menjadi menarik diperbincangkan.
Bak gayung bersambut, wacana-wacana kiri juga semburat seperti jamur di musim hujan. Ada di mana-mana. Amati saja buku-buku Karl Marx, F. Engels, Tan Malaka, Nietzsche, Ludwig Feuerbach, atau segala pemikiran kaum marxis menjadi buruan para kolektor buku. (Banyak orang yang bangga hafal wacana-wacana kiri seperti ini).
Ada apa dengan fenomena itu? Maaf, saya bukan seorang doktor yang lalu mencari dalili-dalil aqli untuk mencari tahu penyebabnya. Jadi, apa yang saya tulis adalah sekadar timbangan yang dangkal. Meski demikian, setidaknya apa yang saya tulis bisa menjadi teman Anda menikmati secangkir kopi pahit. Kopi pengujung September 2013.
Jika Anda iseng-iseng melihat buku-buku bekas di online (misalnya), sejenak amati saja buku-buku kiri harganya akan melambung. Salah satu indikasi bahwa peminatnya cukup banyak. Buku-buku yang ditulis oleh DN Aidit, Pramoedya Ananta Toer, atau berbau PKI harganya melangit. Segala hal yang berbau kiri selalu menjadi seksi. Di toko-toko buku besar sekelas Gramedia atau Togamas, buku-buku kiri juga banyak diminati.
Soal kiri yang seksi ini, Majalah Tempo selalu menjadikannya laporan khusus. Edisi 1-7 Oktober 2012 lalu majalah ini menerjunkan laporan khusus tentang “Algojo1965”. Lalu September 2013 ini, Tempo juga menghadirkan laporan khusus tentang Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Sayang saya tak memiliki cukup data tentang berapa eksemplar edisi khusus itu terjual, dan berapa rupiah yang diraup Tempo.
Saya masih ingat ketika dulu menjadi mahasiswa, teori sosiologi Talcott Parsons begitu melekat di pikiran saya. Tapi tahun 1998, gelombang reformasi tak sekadar membuat peta politik berubah. Melainkan buku-buku yang dilahap mahasiswa juga banyak yang bergeser ke kiri. Teori Parsons ditertawakan karena dinilai ketinggalan zaman. Maka eranya adalah pikiran-pikiran Marx, tentang materialisme historis, tentang refikiasi, alienasi, hegemoni, independensi, dan lain sebagainya. Istilah-istilah itu menjadi magnit, terutama bagi kalangan mahasiswa baru saat ini.
Tapi benarkah orang-orang yang menyukai kiri itu berarti memiliki jiwa pemberontak? Tunggu dulu. Wacana kiri dan jiwa pemberontak bukan sebab-akibat. Tapi itu dua hal yang berbeda. “Orang-orang kiri” kini banyak yang berada di tanda kutip seperti saya tulis itu. Hitung saja, berapa orang yang memuja wacana kiri, namun memilih hidup dalam sebuah kemapanan yang notabene hendak dihantam keras-keras oleh wacana kiri itu sendiri.
Dan Anda tak perlu bertanya kenapa. Tapi jika Anda bertanya pun tak mengapa. Bagi saya, era sekarang ini, wacana kiri tak lebih sebagai gaya hidup. Hanya segelintir orang yang masih memegang “jiwa pemberontak”dan melaksanakannya dalam kehidupannya. Merekalah kiri sejati.
Modernitas telah menghimpun dari yang kiri sampai kanan. Orang yang pecaya Tuhan bisa bertemu dengan orang yang tidak percaya dengan Tuhan hanya gara-gara sama-sama minum Coca Cola. Kiri dan kanan pun terjebak pada jubah gaya hidup. Dan gaya hidup tersebut berkait erat dengan nilai ekonomi. Itulah zaman kita. Zaman di mana Miss World lebih penting dari harga beras dan kedelai.
Tapi sudahlah. Saya bukan hendak memperpanjang tulisan ini serupa orang yang sedang berorasi waktu demonstrasi. Di era kebebasan ini, Anda dan saya punya hak sama untuk memilih kiri atau kanan. Karena yang tidak boleh adalah Anda memecahkan cangkir kopi di sebuah warkop. Anda harus menggantinya, karena cangkir itu milik pemilik warkop. Atau Anda bisa mencampur yang “kiri” dengan yang “kanan” seperti adonan eskrim yang lezat.
Ah, saya akhiri saja tulisan ini karena saya tak sabar membuka majalah Tempo terbaru. Cover majalah Tempo edisi 30 September-6 Oktober 2013 yang berjudul “Lekra dan Geger 1965” ini, begitu indah dibalut dengan kertas ungu bertuliskan Philips LED. Apa ini serupa eskrim tadi? Anda lebih tahu jawabannya.
Bojonegoro, 30 September 2013
Penulis adalah penjaga toko buku bekas online www.bukulawasonline.blogspot.com
Oleh Nanang Fahrudin
September dan geger 1965 adalah tema menarik sepanjang sejarah Indonesia hingga kini. Perbincangan tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan segala hal yang berbau PKI masih terus menggelinding, mulai warung kopi emperan toko hingga kafe di lantai 5 sebuah mal.
Tak hanya PKI secara organisasi yang selalu menarik banyak kalangan, tapi juga para pengendalinya semacam DN Aidit, Muso, H. Misbach, Semaun, Alimin, hingga orang-orang yang “dekat” dengan PKI, macam Henk Ngantung, Sudjodjono, Joebaar Ajoeb hingga Pramoedya Ananta Toer. Segala hal tentang orang-orang tersebut menjadi menarik diperbincangkan.
Bak gayung bersambut, wacana-wacana kiri juga semburat seperti jamur di musim hujan. Ada di mana-mana. Amati saja buku-buku Karl Marx, F. Engels, Tan Malaka, Nietzsche, Ludwig Feuerbach, atau segala pemikiran kaum marxis menjadi buruan para kolektor buku. (Banyak orang yang bangga hafal wacana-wacana kiri seperti ini).
Ada apa dengan fenomena itu? Maaf, saya bukan seorang doktor yang lalu mencari dalili-dalil aqli untuk mencari tahu penyebabnya. Jadi, apa yang saya tulis adalah sekadar timbangan yang dangkal. Meski demikian, setidaknya apa yang saya tulis bisa menjadi teman Anda menikmati secangkir kopi pahit. Kopi pengujung September 2013.
Jika Anda iseng-iseng melihat buku-buku bekas di online (misalnya), sejenak amati saja buku-buku kiri harganya akan melambung. Salah satu indikasi bahwa peminatnya cukup banyak. Buku-buku yang ditulis oleh DN Aidit, Pramoedya Ananta Toer, atau berbau PKI harganya melangit. Segala hal yang berbau kiri selalu menjadi seksi. Di toko-toko buku besar sekelas Gramedia atau Togamas, buku-buku kiri juga banyak diminati.
Soal kiri yang seksi ini, Majalah Tempo selalu menjadikannya laporan khusus. Edisi 1-7 Oktober 2012 lalu majalah ini menerjunkan laporan khusus tentang “Algojo1965”. Lalu September 2013 ini, Tempo juga menghadirkan laporan khusus tentang Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Sayang saya tak memiliki cukup data tentang berapa eksemplar edisi khusus itu terjual, dan berapa rupiah yang diraup Tempo.
Saya masih ingat ketika dulu menjadi mahasiswa, teori sosiologi Talcott Parsons begitu melekat di pikiran saya. Tapi tahun 1998, gelombang reformasi tak sekadar membuat peta politik berubah. Melainkan buku-buku yang dilahap mahasiswa juga banyak yang bergeser ke kiri. Teori Parsons ditertawakan karena dinilai ketinggalan zaman. Maka eranya adalah pikiran-pikiran Marx, tentang materialisme historis, tentang refikiasi, alienasi, hegemoni, independensi, dan lain sebagainya. Istilah-istilah itu menjadi magnit, terutama bagi kalangan mahasiswa baru saat ini.
Tapi benarkah orang-orang yang menyukai kiri itu berarti memiliki jiwa pemberontak? Tunggu dulu. Wacana kiri dan jiwa pemberontak bukan sebab-akibat. Tapi itu dua hal yang berbeda. “Orang-orang kiri” kini banyak yang berada di tanda kutip seperti saya tulis itu. Hitung saja, berapa orang yang memuja wacana kiri, namun memilih hidup dalam sebuah kemapanan yang notabene hendak dihantam keras-keras oleh wacana kiri itu sendiri.
Dan Anda tak perlu bertanya kenapa. Tapi jika Anda bertanya pun tak mengapa. Bagi saya, era sekarang ini, wacana kiri tak lebih sebagai gaya hidup. Hanya segelintir orang yang masih memegang “jiwa pemberontak”dan melaksanakannya dalam kehidupannya. Merekalah kiri sejati.
Modernitas telah menghimpun dari yang kiri sampai kanan. Orang yang pecaya Tuhan bisa bertemu dengan orang yang tidak percaya dengan Tuhan hanya gara-gara sama-sama minum Coca Cola. Kiri dan kanan pun terjebak pada jubah gaya hidup. Dan gaya hidup tersebut berkait erat dengan nilai ekonomi. Itulah zaman kita. Zaman di mana Miss World lebih penting dari harga beras dan kedelai.
Tapi sudahlah. Saya bukan hendak memperpanjang tulisan ini serupa orang yang sedang berorasi waktu demonstrasi. Di era kebebasan ini, Anda dan saya punya hak sama untuk memilih kiri atau kanan. Karena yang tidak boleh adalah Anda memecahkan cangkir kopi di sebuah warkop. Anda harus menggantinya, karena cangkir itu milik pemilik warkop. Atau Anda bisa mencampur yang “kiri” dengan yang “kanan” seperti adonan eskrim yang lezat.
Ah, saya akhiri saja tulisan ini karena saya tak sabar membuka majalah Tempo terbaru. Cover majalah Tempo edisi 30 September-6 Oktober 2013 yang berjudul “Lekra dan Geger 1965” ini, begitu indah dibalut dengan kertas ungu bertuliskan Philips LED. Apa ini serupa eskrim tadi? Anda lebih tahu jawabannya.
Bojonegoro, 30 September 2013
Penulis adalah penjaga toko buku bekas online www.bukulawasonline.blogspot.com