(Dimuat di Koran SINDO Jatim edisi Minggu 7 Agustus 2011)
Oleh : Nanang Fahrudin
Ketika bangun pagi, kebiasaan anda mungkin duduk di depan teve dan mengobati rasa ingin tahu anda tentang kabar terbaru apa hari ini. Atau memilih duduk di teras rumah sambil membaca koran pagi, dan membuka halaman politik. Di teve maupun koran, berita dipenuhi kasus korupsi, mafia peradilan, nyanyian Nazarudin, atau omongan Marzuki Ali yang orang terhormat itu tentang perlunya memaafkan koruptor.
Kita akan semakin bingung ketika banyak orang berlomba mendirikan parpol baru, meski setiap survei menunjukkan bahwa parpol adalah lembaga paling korup. Saya sebagai bagian dari masyarakat bawah semakin bingung ketika KPK dituntut dibubarkan saja. Satu hal yang menyembul dari pikiran saya yang sederhana ini: kemana negeri ini melangkah?. Saya benar-benar sulit memahami apa yang sedang terjadi.
Saat bingung dan mencoba menerka-nerka gerak bangsa ini, saya membaca novel “The Godfather” karya Mario Puzo. Pada novel itu saya mengenal sosok Don Vito Corleone, sang penguasa dunia mafia di Amerika tahun 1940 an yang menjadi tokoh utama dalam novel 600 an halaman itu. Bisnis keluarganya “menguasai” sebagian kawasan Amerika meski harus bersaing dengan lima kerajaan bisnis keluarga lain. Bagi Don Corleone, negara adalah patner yang menyenangkan untuk diajak berbisnis.
Bisnis ekspor minyak zaitun dari Italia dan bisnis perjudian berkembang pesat di bawah tangan Don. Kerajaan bisnisnya terus berkembang ke perhotelan, kasino dan diskotek dengan tanpa hambatan. Ia memiliki banyak koneksi dengan pihak kepolisian dan para hakim yang sangat membantu gerak roda bisnisnya. Semua bisa diatur oleh tangannya. Tapi, tangan-tangan Don yang memiliki kekuatan besar itu tak pernah diperlihatkan ke publik. Tangan itu bergerak di bawah tanah dengan sistem yang cukup rapi. Sedang tanganya di mata publik adalah tangan yang penuh persahabatan.
Usai membaca “The Godfather” saya teringat roman “Rumah Kaca” yang saya baca beberapa tahun lalu. Karya Pramoedya Ananta Tour tersebut merupakan buku keempat dari Tetralogi Pulau Buru. Buku pertama “Bumi Manusia” lalu disusul buku “Anak Semua Bangsa” dan “Jejak Langkah” serta yang terakhir ditutup dengan “Rumah Kaca”. Buku keempat roman ini memotret dengan apik soal tangan-tangan tak terlihat yang dipakai penguasa mengendalikan warganya, terutama warga yang “tak disukai”.
Melalui tokoh fiksi bernama Minke, Pramoedya menunjukkan dengan tepat bagaimana penguasa meletakkan kaca cermin di setiap sudut kehidupan Minke. Cermin itu hanya bisa dilihat oleh penguasa, sedang Minke tak merasa curiga. Tangan tak terlihat itu mengerti betul kapan Minke sakit dan dokter mana yang akan dituju untuk dimintai tolong, semua sudah terlihat jelas di kaca cermin itu. Hingga akhirnya, Minke meninggal setelah dokter yang hendak memeriksa dirinya sudah diancam agar tidak menangani Minke. Ancaman itu datang persis sesaat sebelum Minke dibawa ke kamar praktek sang dokter. Minke pun dibawa pulang lagi tanpa pengobatan layak di rumahnya, hingga akhirnya tak tertolong. Sebuah kematian yang sudah direncakan dengan bagus kepada seorang tokoh pergerakan nasional.
***
Sambil duduk di teras rumah tanpa ditemani secangkir kopi (karena puasa Ramadan), saya teringat pertanyaan saya di awal tulisan ini : kemana negeri ini melangkah?. Lalu saya bertanya -entah kepada siapa, mungkin kepada anda- adakah tangan-tangan tak terlihat seperti dalam dua karya fiksi yang saya sebutkan di atas, yang menggerakkan bangsa ini dan membawanya entah kemana.
Jika jawabannya “ya”, maka saya sedikit lega. Karena bisa sedikit memahami arah negeri ini. Kelegaan itu bukan soal menyetujui arah langkah negeri ini yang begitu muram, tapi karena terbebas dari kebingungan memahaminya. Jika “ya” berarti negeri ini sekarang berada di tangan-tangan pengendali yang tak terlihat dengan desain yang sudah matang. Dan yang tampak di teve, surat kabar, atau pernyataan di depan publik mungkin hanya pernyataan luaran saja.
Tapi jika jawabannya “tidak”, maka dengan cara bagaimana lagi memahami negeri ini. Apakah Nazarudin adalah benar seorang pahlawan yang hendak menyelamatkan negeri ini dari badai korupsi yang melanda?. Apakah Marzuki Ali adalah orang yang begitu arif dan bijaksana dengan menyerukan pemaafan massal kepada koruptor, ketika semua orang menebarkan kebencian kepada koruptor?. Atau apakah tetangga saya yang miskin sejak kakeknya bukan karena ada tangan-tangan tak terlihat yang merampas haknya untuk hidup berkecukupan?. Entahlah. Salam!.
Oleh : Nanang Fahrudin
Ketika bangun pagi, kebiasaan anda mungkin duduk di depan teve dan mengobati rasa ingin tahu anda tentang kabar terbaru apa hari ini. Atau memilih duduk di teras rumah sambil membaca koran pagi, dan membuka halaman politik. Di teve maupun koran, berita dipenuhi kasus korupsi, mafia peradilan, nyanyian Nazarudin, atau omongan Marzuki Ali yang orang terhormat itu tentang perlunya memaafkan koruptor.
Kita akan semakin bingung ketika banyak orang berlomba mendirikan parpol baru, meski setiap survei menunjukkan bahwa parpol adalah lembaga paling korup. Saya sebagai bagian dari masyarakat bawah semakin bingung ketika KPK dituntut dibubarkan saja. Satu hal yang menyembul dari pikiran saya yang sederhana ini: kemana negeri ini melangkah?. Saya benar-benar sulit memahami apa yang sedang terjadi.
Saat bingung dan mencoba menerka-nerka gerak bangsa ini, saya membaca novel “The Godfather” karya Mario Puzo. Pada novel itu saya mengenal sosok Don Vito Corleone, sang penguasa dunia mafia di Amerika tahun 1940 an yang menjadi tokoh utama dalam novel 600 an halaman itu. Bisnis keluarganya “menguasai” sebagian kawasan Amerika meski harus bersaing dengan lima kerajaan bisnis keluarga lain. Bagi Don Corleone, negara adalah patner yang menyenangkan untuk diajak berbisnis.
Bisnis ekspor minyak zaitun dari Italia dan bisnis perjudian berkembang pesat di bawah tangan Don. Kerajaan bisnisnya terus berkembang ke perhotelan, kasino dan diskotek dengan tanpa hambatan. Ia memiliki banyak koneksi dengan pihak kepolisian dan para hakim yang sangat membantu gerak roda bisnisnya. Semua bisa diatur oleh tangannya. Tapi, tangan-tangan Don yang memiliki kekuatan besar itu tak pernah diperlihatkan ke publik. Tangan itu bergerak di bawah tanah dengan sistem yang cukup rapi. Sedang tanganya di mata publik adalah tangan yang penuh persahabatan.
Usai membaca “The Godfather” saya teringat roman “Rumah Kaca” yang saya baca beberapa tahun lalu. Karya Pramoedya Ananta Tour tersebut merupakan buku keempat dari Tetralogi Pulau Buru. Buku pertama “Bumi Manusia” lalu disusul buku “Anak Semua Bangsa” dan “Jejak Langkah” serta yang terakhir ditutup dengan “Rumah Kaca”. Buku keempat roman ini memotret dengan apik soal tangan-tangan tak terlihat yang dipakai penguasa mengendalikan warganya, terutama warga yang “tak disukai”.
Melalui tokoh fiksi bernama Minke, Pramoedya menunjukkan dengan tepat bagaimana penguasa meletakkan kaca cermin di setiap sudut kehidupan Minke. Cermin itu hanya bisa dilihat oleh penguasa, sedang Minke tak merasa curiga. Tangan tak terlihat itu mengerti betul kapan Minke sakit dan dokter mana yang akan dituju untuk dimintai tolong, semua sudah terlihat jelas di kaca cermin itu. Hingga akhirnya, Minke meninggal setelah dokter yang hendak memeriksa dirinya sudah diancam agar tidak menangani Minke. Ancaman itu datang persis sesaat sebelum Minke dibawa ke kamar praktek sang dokter. Minke pun dibawa pulang lagi tanpa pengobatan layak di rumahnya, hingga akhirnya tak tertolong. Sebuah kematian yang sudah direncakan dengan bagus kepada seorang tokoh pergerakan nasional.
***
Sambil duduk di teras rumah tanpa ditemani secangkir kopi (karena puasa Ramadan), saya teringat pertanyaan saya di awal tulisan ini : kemana negeri ini melangkah?. Lalu saya bertanya -entah kepada siapa, mungkin kepada anda- adakah tangan-tangan tak terlihat seperti dalam dua karya fiksi yang saya sebutkan di atas, yang menggerakkan bangsa ini dan membawanya entah kemana.
Jika jawabannya “ya”, maka saya sedikit lega. Karena bisa sedikit memahami arah negeri ini. Kelegaan itu bukan soal menyetujui arah langkah negeri ini yang begitu muram, tapi karena terbebas dari kebingungan memahaminya. Jika “ya” berarti negeri ini sekarang berada di tangan-tangan pengendali yang tak terlihat dengan desain yang sudah matang. Dan yang tampak di teve, surat kabar, atau pernyataan di depan publik mungkin hanya pernyataan luaran saja.
Tapi jika jawabannya “tidak”, maka dengan cara bagaimana lagi memahami negeri ini. Apakah Nazarudin adalah benar seorang pahlawan yang hendak menyelamatkan negeri ini dari badai korupsi yang melanda?. Apakah Marzuki Ali adalah orang yang begitu arif dan bijaksana dengan menyerukan pemaafan massal kepada koruptor, ketika semua orang menebarkan kebencian kepada koruptor?. Atau apakah tetangga saya yang miskin sejak kakeknya bukan karena ada tangan-tangan tak terlihat yang merampas haknya untuk hidup berkecukupan?. Entahlah. Salam!.